Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi sumpit, penangkal pandemi

31 Juli 2020   18:30 Diperbarui: 31 Juli 2020   18:28 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi photo : https://today.line.me

Jared Mason Diamond, ilmuwan berkebangsaan Amerika; penerima penghargaan Pulitzer di tahun 1997, dalam pidatonya pernah mengatakan bahwa negara seperti Indonesia, Columbia dan Philipina, merupakan beberapa peradaban yang sebentar lagi akan punah.

Apabila peran ibu rumah tangga mulai luntur dan menghilang, para guru yang ikhlas dan berbudi lenyap, serta dan para tokoh panutan masyarakat sudah sirna, maka siapa lagi yang bisa diharapkan dan diandalkan untuk menabur, menanam, merawat, dan menumbuhkembangkan karakter unggul dan merawat peradaban bangsa ke depan?

Filosofi sumpit

Tiongkok telah menjadi kiblat dunia dalam menatap perkembangan ilmu, pengetahuan, dan tekhnologi di masa depan. Pepatah bijak berujar, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Tiongkok". Masyarakat Tionghoa, menggunakan sumpit sebagai peralatan untuk makan. Dimana, makna yang terkandung dalam sumpit mempunyai filosofi kehidupan yang sangat mendalam, yang layak untuk kita renungkan dan pelajari bersama.

Panjang sumpit sekitar 7. 6 inchi, menyimbolkan 7 perasaan dan 6 keinginan. Perasaan senang, marah, sedih, gembira, sengsara, takut, khawatir, dan keinginan yang muncul dari indera mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran. Sumpit ada sepasang, artinya bahwa di dunia ini akan selalu ada dualisme; ada yang positif dan negatif; ada sehat -- sakit, baik - buruk.  

Sumpit ujungnya bulat, pangkalnya kotak sebagai simbol dari langit dan bumi, artinya bahwa agar perbuatan kita harus selaras dengan alam semesta dan kehendak Tuhan.  Cara memegang sumpit bukan di pucuk, tapi agak di tengah, menyimbolkan agar antara langit, bumi dan manusia dapat selalu berada dalam kesetimbangan (harmonis). Cara memakai sumpit pun tidak boleh terlalu kuat, juga tidak boleh terlalu lemah, Bila terlalu kuat sumpit tidak bisa terbuka, terlalu lemah tidak bisa menjepit. Dimaksudkan agar dalam menjalani kehidupan sebagai manusia haruslah luwes; jangan terlalu keras kaku, tapi juga jangan terlalu lemah akibat tak punya prinsip.

Bercermin pada muatan filosofis dari sumpit, kita dapat menggunakan 'sumpit' untuk menangkal penyebaran pandemi. Dengan mengimplementasikan nilai yang terdapat pada sumpit,  maka dinamika perubahan dan ritme kehidupan bersama komunitas dapat dikelola dan disikapi dengan bijaksana.

Pandemi Covid-19 usahlah menjadikan kita panik, namun justru menjadikan kita semakin waspada dan konsisten dalam menerapkan perilaku, norma, dan budaya baru di era kenormalan baru ini;   mengenakan masker, jaga jarak, dan rajin mencuci tangan, lengkap dengan menyertakan dan menjunjung tinggi karakter dan integritas sebagai bangsa yang beradab; peduli dan solider terhadap kondisi kesehatan sesama anak bangsa. Sebagaimana ungkapan jernih dari Hillel, "Kalau aku bukan untuk diriku, lalu untuk siapa aku ini. Tapi, jika aku hanya untuk diriku, lalu untuk apa aku ini."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun