"My mom and dad just got divorce. I don't care where they go," jawabku sambil menyerahkan sekaleng bir padanya.
Sambil matanya tetap fokus pada acara tv di depan kami dia berucap sebuah kalimat yang sebenarnya tidak ingin aku dengar. "Well dude, I can't stay longer, my girl kind a wait for me. I got to be home soon. Maybe after this you can take me to the bus station?"
"Can you stay little bit longer?" Aslinya itu bukan sebuah permintaan tapi sebuah titah yang harus dia turuti.
"Look dude, if I home late ... my girl will pissed." Kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku tersenyum.Â
"Sorry, I can't take you." Pernyataan yang keluar dari mulutku cukup untuk membuat dia untuk bangkit dari sofa.
"Well thank you for the beer ... I must go. Maybe you can show me the direction to the bus station?" Dia berjalan menuju pintu depan.
Yang tidak dia ketahui adalah, aku sudah membawa barbel ditanganku. Aku berjalan di belakangnya lalu ..... Dia pun terjatuh dengan kepala berlumuran darah.
Itu adalah awal kisahku. Sebuah kisah yang membawaku ke sebuah penjara di Milwaukee dan orang-orang menjulukiku Milwaukee Cannibal. Sebuah kisah yang membuat ayahku kecewa tapi dia tetap berada disampingku. Sebuah kisah yang tidak aku sangka menginspirasi banyak kriminal untuk melakukan hal yang kurang lebih sama. Sebuah kejahatan yang menyadarkanku bahwa aku terlalu egois menjadi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H