Mohon tunggu...
Thibbur Ruhany
Thibbur Ruhany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak ada yang menarik dalam kehidupan saya. Tapi ketahuilah, hidup akan lebih menarik ketika bersama saya !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jagadtari Warangganang

26 September 2012   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang waktu terus memburu kisah tentang kehidupan baru. Meninggalkan generasi-generasi terdahulu selagi alam terus membisu. Ini adalah sebuah kisah tentang generasi penari bumi. Berlenggak-lenggok seirama dengan denyut nadi sang alam. Ia mendengar keluh kesah tentang kuasa manusia dan tetes peluh penuh perjuangan. Ialah sang Penari Bumi.

Cahaya sang Kala menyambar-nyambar di perbatasan senja. Ribuan berlian perlahan menerpa dan menghilang diantara tanah pesisir. Meninggalkan guratan yang bergelombang. Sayup-sayup terdengar gemuruh memecah sunyi ketika angin mendorong gelombang hingga bertabrakan di dinding perbukitan terjal. Dari kejauhan, kapal nelayan lengkap dengan bendera kecil yang berkibar di ujung layar membentuk siluet dalam bentangan lembayung senja. Ribuan butir-butir pasir putih terbang bersama sang angin. Buih ombak datang dan pergi, mencoba meraih daratan. Rerumputan liar melambai seolah ingin bercengkrama dengan penari bumi. Tangan-tangan kenes nan manja mengayun lembut, mencoba menggapai angin yang berhembus mesra. Lonceng-lonceng kecil bergemerincing di setiap pijakan kaki. Menghentak seirama dengan sang alam yang melagukan tembang kehidupan. Penari bumi. Teguh bagai tanah, mengalir seperti air.

Sayup terdengar tangisan burung camar yang terbang melintasi langit Trisik, sebuah desa nelayan yang letaknya tak jauh dari pesisir pantai. Sejenak burung camar terbang merendah. Dengan tatapan nanar si camar tua menatap laut biru yang perlahan berubah menjadi warna kelabu. Lautan tak pernah adil ! Si Camar tua memekak, meratapi nasibnya. Teriakkan parau dari kerongkongan si camar tua bergaung pada dinding-dinding kayu di desa Trisik.

Di lautan, angin berhembus kencang, membawa serta awan-awan mendung yang perlahan menyelimuti sinar sang rembulan. Sebentar-sebentar tampak kilatan cahaya mengerjap-ngerjap di kolong langit yang bergemuruh. Gulungan ombak selaba mendekati pesisir tanpa gentar. Dan badai datang tanpa ada perlawanan.

**

Pagi-pagi benar, Warang menguliti debu dan butiran pasir yang melekat pada roda dan rangka sepeda kayuh warisan mbah Datsun - ayah angkatnya. Dengan penuh kehati-hatian ia menyisir jari-jari roda, bagian demi bagian di basuh dengan air. Tak jauh dari tempat Warang membersihkan sepeda, Reswari yang sedang menyapu debu dan sampah dedaunan menghentikan pekerjaannya dan mengamati tingkah laku Warang. Tak seperti biasanya kang Warang merawat sepeda kayuh itu, kata Reswari dalam hati. Ia letakkan sapu lidi yang sejak tadi ada dalam genggaman. Kemudian berjalan menghampiri.

“Hari ini tidak melaut Kang ?”

“Ombak sedang tinggi Res.”

“Lalu apa yang Kakang lakukan dengan sepeda itu ?”

“Aku akan pergi ke kota, menukar ikan dengan beras dan sayur-mayur untuk persediaan makan kita selagi lautan sedang mengamuk. Kulihat juga persediaan beras kita hampir habis,”

“Badai akan bertahan hingga purnama berikutnya,” lanjut Warangganang.

“Jangan lama-lama ya Kang,” ujar Reswari manja.

Warang mendekati istrinya kemudian membelai mesra rambut Reswari, ia tersenyum, “Tunggulah di rumah, nanti akan kubawakan bedak. Biar istriku ini tidak seperti orang pesisir yang hitam.”

Reswari membalas candaan Warang dengan senyuman, “Yang terpenting keselamatanmu Kang.”

Setelah Warang benar-benar hilang dari pandangan mata, Reswari meneruskan pekerjaannya. Sesudah itu ia mengasoh, sembari memijit-mijit kaki dan tangan, Reswari teringat kembali awal perjumpaan dengan Warang. Di matanya, Warang adalah pemuda desa yang tangguh, meski lekuk badan yang ia miliki tidak terlalu bidang apabila dibandingkan dengan pemuda desa lainnya. Ialah Warangganang, sosok penari yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dalam dirinya tersimpan sejuta kepribadian bak kerlingan berlian di lautan. Ketangguhan penuh wibawa terpancar dari sorot matanya. Dan aku ingat saat ia menari dengan hentakan gemerincing lonceng-lonceng kecil di kakinya, tangan yang mengayun lembut, dan kibasan selendang di pinggangnya. Ia bukan seperti Warangganang yang aku kenali. Penduduk menyebut kang Warang sebagai Jagadtari – seorang penari bumi, yang akan menjaga seluruh alam ini. Karena dirinya adalah perantara bagi sang alam untuk mengunjungi peradaban para manusia.

Namun semua ini bukan tanpa pengorbanan. Kang Warang melanggar janji setia sebagai seorang Jagadtari, adalah sebuah pantangan bagi penari bumi untuk berhubungan badan dengan lawan jenisnya. Dan tanpa sepengetahuan siapapun, kang Warang telah membuka hatinya untukku, secara diam-diam kami melangsungkan upacara pernikahan. Hingga suatu ketika, kami mendengar kabar bahwa si kamitua – tetua desa kami mendapat wangsit bahwa sang Penari telah melanggar pantangannya. Sejak saat itu, aku dan kang Warang bersembunyi dari hutan ke hutan menghindari orang-orang suruhan si kamitua. Dukun gila itu mengharuskan kami menjadi tumbal bagi demit-demit yang melindungi desa kami.

Beruntung di sebuah desa kecil di pesisir pantai ini mbah Datsun menerima kami. Dari mbah Datsun-lah, kang Warang mengetahui adat istiadat masyarakat pesisir di Trisik. Dan aku teringat saat terakhir bersatunya jiwa mbah Datsun dengan sang alam. Diulurkannya sebuah selendang kuning kepada kang Warang, “Warangganang, anakku. Jagalah alam ini, kita hidup tak sendiri. Bersiaplah generasi Jagadtari.” Itulah kalimat terakhir mbah Datsun, orangtua kami.

**

Purnama demi purnama menjadi penghias malam di langit Trisik. Dan pesisir belum memberi pertanda bahwa badai akan pulang. Perahu-perahu yang di tambatkan dibiarkan terombang-ambing begitu saja melewati malam-malam tanpa ikan yang menggelepar di buritan. Kala mentari tiba di penghujung malam, satu-dua nelayan duduk terpekur di tepi pantai, memandang sayu lautan biru. Tidak ada ikan berarti tidak ada beras. Saat itu menjadi musim yang benar-benar panjang bagi penduduk desa pesisir Trisik. Keadaan bertambah buruk ketika air di sumur kami bercampur dengan air laut. Asin dan amis.

Pada suatu siang yang tenang, kang Warang mengajakku menyusuri pesisir pantai. Di belakang, kami tanggalkan goresan pijakan-pijakan kaki yang perlahan dihapus oleh buih-buih ombak lautan. Rerumputan liar disekitar pantai bergoyang hebat seolah mencemburui kang Warang, yang dengan mesra mencengkram erat tanganku. Deru ombak di lautan meninggalkan kecipak yang mengisi kebisuan kami. Kang Warang menatap lekat hamparan samudra biru, selekat tatapannya kepadaku. Tatapan mata nanar dan sayu, seakan berharap badai akan cepat pulang. Dari kejauhan nampak seorang bocah berlari-lari kecil dengan kaki mungilnya, mencoba menghalau ombak di antara perahu yang berjajar membisu.

Kang Warang menolehkan pandangan kepada bocah kecil itu.

“Kau lihat dia Res ? Bocah kecil itu.”

“Yang berlari itu ?”

“Bocah itu tidak berlari, ia menari. Lihat pijakan kakinya.”

“Sama seperti dirimu Kang.”

Ia menggelengkan kepala. “Tidak Res, kau salah. Aku bukan penari.”

“Setidaknya untuk saat ini,” lanjutnya.

Bocah kecil itu kemudia berlari menjauh, menghilang dari tatapan kami. Tak berselang lama bocah itu kembali, menghampiri kami dengan keranjang penuh bunga di tangannya. Kang Warang tersenyum penuh arti, tangan si bocah digandengnya mendekati gelombang ombak di tanah pesisir. Aku mengamati dari kejauhan, mereka berdua duduk bersimpuh menebar bunga penuh warna. Mereka masih bersimpuh, hingga angin membawa bunga-bunga itu menjauh dan mengiring mereka ke pangkuan sang badai.

Langit dengan cahaya jingga kekuningan yang menutupinya memanggil kami untuk bergegas pulang. Belum genap kaki melangkah ketika dari kejauhan terdengar suara parau menyeru-nyeru, memanggil kang Warang. Ialah mbah Dharma, salah seorang pemangku adat di desa Trisik. Dengan satu tangan mengapit jarit yang mengikat bagian bawah tubuhnya dan tangan yang lain menahan ikat kepala yagn ia kenakan agar tak terjatuh, mbah Dharma berlari-lari kecil.

“Ada apa Mbah ?” aku memulai percakapan setelah kujabat tangannya dengan penuh rasa hormat.

Mbah Dharma menatap pada Warang, “Menarilah Warangganang!,”

“Tapi apa maksudnya ?,” tanya Warang dengan mimik muka penuh keheranan.

“Ini pesan dari mbah Datsun, Jagadtari. Selendang kuning itu, kenakanlah.”

“Apa maksudnya Mbah ?.” tanya Reswari yang sedari tadi melihat suaminya keheranan menjadi ikut penasaran.

Mbah Dharma tak menggubris pertanyaan Reswari, tatapannya melekat erat pada Warangganang, “Kau yang berlari, kau pula yang akan kembali. Pulanglah Nak,” ujar mbah Dharma pergi, meninggalkan Warangganang yang terdiam tanpa kata-kata.

Sesampainya dirumah, Warang menghampiri sebuah lemari kayu tua, diambilnya selendang kuning peninggalan mbah Datsun. Kain itu masih sama seperti saat dahulu kala, tak ada yang berubah. Selama ini tak ada yang menyentuh kain milik seseorang yang menganggap aku dan kang Warang sebagai anaknya, hanya butiran debu dan puing-puing kecil kayu lapuk yang menyelubungi selendang bermotif bunga di setiap ujung.

“Aku tahu mungkin ini berat untukmu Kang,” Reswari menggenggam erat bahu Warangganang.

“Tidak Res… ”

“Tapi alam memanggil sang Jagadtari, melalui badai, mbah Datsun dan mbah Dharma.”

Warangganang menuntun istrinya duduk di depan rumah kecil mereka, disandarkan kepala Rewari dibahunya sendiri. “Entah apa yang harus aku perbuat Res ? Gelombang air lautan yang meninggi itu seolah memanggilku untuk kembali pada sang bumi. Mbah Datsun dan mbah Dharma, kedua orang itu. Mereka adalah generasi Jagadtari,”

“Menarilah Kang,”

“Menari tidak semudah bayanganmu Res, teguh bagai tanah, mengalir bagai air. Itu yang mereka ajarkan padaku. Kini aku tanah yang tandus dan mengelupas, aku air yang tergenang tak bisa mengalir,” tubuh Warangganang sesenggukan menahan tangis.

Reswari yang tidak tega merasakan gejolak batin yang dialami suaminya meneteskan air mata, “Kakang tahu air di lautan ? Mereka datang dan pergi sesuka hati. Cahaya matahari ini sebentar lagi akan pergi, tergantikan oleh rembulan. Tapi matahari selalu kembali. Jadilah air Kang Warang ! Jadilah matahari ! Jadilah rembulan ! Jadilah Jagadtari, Warangganang yang pernah aku kenal dahulu. Teguh bagai tanah, mengalir bagai air,” ujar Resawri meyakinkan.

Warangganang mengusap linangan air mata yang membasahi pipi Reswari, “Siapkan pakaianku Res, aku akan menari malam ini,” ujar Warangganang sembari memeluk mesra tubuh istrinya, erat dan hangat.

Sayup-sayup deru sang angin melemah, pertanda badai beranjak pulang. Air laut menjauh dari sumur-sumur Trisik, kembali menghampar di laut lepas. Dan di langit, si burung camar tua mengepakkan sayap dengan lemah, memekak menangis, mengais mayat anak si camar tua yang ditaklukkan badai. Namun sang waktu masih memburu kisah tentang kehidupan baru, seirama dengan tembang sang alam. Bersiaplah generasi penari bumi !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun