Mohon tunggu...
Thibbur Ruhany
Thibbur Ruhany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak ada yang menarik dalam kehidupan saya. Tapi ketahuilah, hidup akan lebih menarik ketika bersama saya !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebebasan Pers, Haruskah Berdemokrasi?

26 September 2012   01:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 5128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Satu hal yang menarik ketika kita berbicara mengenai kebebasan pers, selalu diikuti dengan proses demokrasi suatu negara. Seolah-olah kebebasan pers adalah wujud manifesto dari demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah judul makalah dan pengantar di setiap buku yang berbicara mengenai hal ini. Dalam jurnal KOMUNIKA[1] terbitan Januari 2012 edisi pertama halaman kedua dengan jelas tertulis bahwa kebebasan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Pun-demikian dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Endang Sayekti, R. Herlambang Perdana Wiratraman, dan Dwi Rahayu Kristianti Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengambil judul “Pengembangan Kebebasan Pers Dan Hak Atas Akses Informasi Publik Bagi Proses Demokratisasi Otonomi Daerah”.

Dalam makalah berjudul Kebebasan Pers di Indonesia tulisan Ari Cahyo Nugroho dalam jurnal Komunikasi Massa Volume 5 Nomor 1 disebutkan bahwa, kebebasan berkespresi selalu ditekankan pada dasar esensial bagi kehidupan demokratis dalam suatu masyarakat sebagaimana mengacu pada kosesi Hak Asasi Manusia yang berbunyi “everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference, and impart information and ideas through any media regardless of frontiers". Kemudian dijelaskan lebih lanjut mengenai hak sebagai seorang individu yang hidup dalam lingkaran demokrasi yang telah diatur oleh undang-undang.

Di negara penggagas demokrasi, Amerika. Para pendiri negara Amerika meletakkan kebe-basan pers sebagai hak dasar ketika mereka menyusun Amandemen Pertama terhadap Kon-stitusi Amerika Serikat. Thomas Jefferson men-gatakan dengan kata-katanya yang terkenal “Jika diserahkan kepada saya pilihan untuk menentukan apakah kita sebaiknya memiliki pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemer-intah, maka saya tidak akan ragu-ragu sedetik-pun untuk memilih yang kedua”[2]

Beberapa judul dan keterangan diatas sudah cukup mewakili dari berbagai macam judul karya ilmiah dan segala argumentasi mengenai kebebasan pers yang selalu berkaitan erat dengan proses demokrasi. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana hubungan kebebasan pers dengan rezim non-demokrasi, seperti bentuk-bentuk pemerintahan otoriter, oligarkhi, monarki, atau aristokrasi ? Apakah kebebasan pers hanyadimiliki oleh pemerintahan demokrasi saja ? Dan seberapa efetifkah peranan kebebasan pers dalam sistem pemerintahan non-demokrasi ini ?

Agar pembahasan kita tidak terlalu melebar, kita kerucutkan pokok permasalahan kebebasan pers dengan bentuk pemerintahan totaliter dengan sistem komunis. Yang pada hakikatnya sistem ini berbandingterbalik dengan sistem pemerintahan demokrasi. Dimana suatu negara dengan sistem pemerintahan totaliter ini cenderung untuk membuat perbedaan yang keras dan tajam antara salah dan benar. Sebagaimana sesuai dengan tradisi Marxis, dengan adanya pembatasan yang jelas antara salah dan benar mengharuskan orang untuk tidak berbeda pandangan. Musyawarah dalam pandangan Marxis adalah tanda kelemahan, dan hanya ada satu kebenaran untuk disebarkan, digalakkan, dan dikampanyekan. Dalam buku Wilbur Shcramm dituliskan bahwa.

“Karl Marx menemukan jawaban terutama dalam konsep Hegel tentang dialektika dimana dua kekuasaan yang bertentangan (tesis dan antitesis) menyelesaikan perbedaan mereka dalam sebuah sintesis. Sintesis ini pada gilirannya akan menjadi tesis yang ditentang oleh sebuah antitesis baru, dan dari sini akan tumbuh sintesis baru dan begitulah seterusnya.”[3]

Sedangkan dalam ide-ide demokrasi, masyarakat yang baik adalah masyarakat dengan perbedaan ide dan nilai dalam setiap pemikirannya. Sehingga terjadi proses musyawarah sebagaimana dilandaskan dalam gagasan-gagasan demokrasi.

Karl Marx, Lenin dan Media Massa

Dalam konsep Karl Marx, pers adalah alat dari partai yang berkuasa dan merupakan bagian dalam integral negara. Dengan demikian, segala sesuatu ditentukan oleh Negara (partai). Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan ideologi partai. Media massa melakukan yang terbaik untuk partai yang ditentukan oleh pemegang otoritas tertinggi yaitu partai.[4] Hal ini dimulai sejak revolusi kaum proletar di Soviet dengan tokohnya Lenin.

Lenin-lah yang menyatakan bahwa surat kabar harus menjadi sebuah “propagandis kolektif, agiator kolektif, organisator kolektif”. Dengan demikian media adalah alat yang dikontrol Negara (yang mewakili rakyat) melalui control terhadap kemudahan material komunikasi. Media swasta sudah lenyap sejak awal-awal sejarah Soviet. Media harus digunakan sebagai alat untuk menyampaikan peasn seperti yang telah dipresentasikan di Kremlin. Media harus digunakan sebagai alat perubahan social dan control social, dalam sebuah kerangka referensi yang erat-bersatu, dan dibuat dengan teliti. Pada akirnya media harus menjadi alat untuk tujuan-tujuan yang serius. Dengan kata lain, media Sovietr telah tumbuh untuk mencerminkan ideologi resmi Soviet, Negara Soviet dan “kepribadian ideal” Soviet sendiri.[5]

Perhelatan sejarah kolonialisme pernah menempatkan pers Indonesia dalam lingkaran rezim komunis pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942-1945. Karena disetiap penerbitan cetak harus memiliki izin dan melarang segala pemberitaan yang dinilai memusuhi Jepang. Dua tahun sesudahnya, kondisi pers juga tidak semakin baik. Lantaran pers hanya menjadi alat untuk satu partai atau golongan tertentu. Namun kondisi ini berakhir setelah era Terpimpin dimana pada era ini pemerintah mengharuskan pers untuk memberitakan segala hal baik mengenai komunis. Guna mengimbangi pers Partai Komunis Indonesia.

Dalam pemaparan pada bab berikutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana perkembangan pers dalam negara komunis, kemudian sejauh manakah hubungan pers dengan pemerintahan dan terakhir mengenai dampak dari pers dalam sistem komunis ini. Terakhir, penulis berharap dengan tulisan ini dapat membuka pemikiran pembaca mengenai kebebasan pers di negara dengan sistem pemerintahan non-demokrasi.


Pembahasan

Perkembangan jaman di era modern saat ini terbentuk akibat dari kemajuan pesat tekhnologi. Dimana tekhnologi sudah menjadi hidanganyang mudah didapatkan oleh semua golongan. Tekhnologi adalah penghimpun energi dan penjawab mimpi-mimpi umat manusia di seluruh belahan dunia. Karena pada masa yang silam, tekhnologi hanya dimiliki oleh golongan-golongan tertentu. Dengan berkembangnya jaman dan kemajuan tekhnologi inilah yang kemudian membuka pintu gerbang dunia tekhnologi komunikasi. Proses keterbukaan informasi inilah yang mempunyai peran sentral dalam era modern. Bagaimana tidak ? Kemajuan tekhnologi komunikasi mampu menghapus batasan-batasan yang dahulu tidak mampu dijangkau oleh umat manusia.

Lalu siapa sebenarnya yang menjadi sumber informasi, siapa yang membuat, mengolah, dan menyebarluaskan informasi tersebut. Itulah secara garis besar pengertian yang dibangun masyarakat tentang pers. Sebagian masyarakat lainnya mengenal pers sebagai media massa atau media komunikasi massa. Oleh karena itu pers juga sering diartikan Surat Kabar (newspaper) atau Magazine (majalah). Istilah pers yang diartikan surat kabar pada awalnya berasal dari Eropa kurang lebih pada tahun 1450.Dalam perkembangannya, pers kemudian dipengaruhi oleh kemunculan radio, televisi, dan internet. Sehingga pers menjadi lebih berwarna dan banyak ragamnya sesuai dengan kondisi dan situasi yang mempengaruhinya.

Pers dan Perang Dunia Kedua

Pembagian pers menurut kondisi dan situasi dalam suatu negara akibat pengaruh dari perang dunia kedua dimana peperangan ini melibatkan dua ideologi, yaitu ide demokrasi atau liberal, dan ide pembentukan negara totaliter atau komunis. Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Pers” (1965) menyebutkan bahwa ada empat konsep atau teori pers yang berlaku di dunia, yakni otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial, dan totalitarian. [6]

Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kebebasan pers yang disandarkan kepada ide-ide demokrasi berbanding terbalik dengan ide-ide komunis. Pembagian teori pers menurut Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram menjelaskan bahwa Pers libertarian mempunyai ciri-ciri adalah kebenaran milik massa, berdasarkan pilihannya atas beberapa alternative. Tidak mutlak dari Negara. Pers sebagai mitra mencari kebenaran. Bukan instrumen penguasa. Media massa sebagai pasar ide dan pendapat. Sedangkan pers totalitarian berkembang di negara Komunis, Nazi, dan Italia Fasis. Aspirasi yang disiarkan bersumber dari anggota partai yang loyal. Media massa milik Negara dan kegiatannya dikontrol dengan ketat. Kritik terhadap tujuan partai dilarang. Memberikan support terhadap usaha-usaha partai.

Kiranya penjelasan diatas cukup jelas untuk membawa kita kepada pokok permasalahan ketika kita berbicara mengenai kebebasan pers di setiap sistem pemerintahan. Namun lebih lanjut kita tidak akan membahas bagaimana kebebasan pers dalam pemerintahan demokrasi karena penulis menyadari bahwa dengan adanya demokrasi maka jaminan pers dalam mendapat kebebasannya sudah cukup jelas.

Kebebasan Pers di Negara Komunis

Bagaimana dengan kebebasan pers di negara dengan sistem pemerintahan komunis ? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kiranya kita perlu menyimak pemberitaan di media online mengenai pers di negara komunis.

“VHRmedia, Paris - Demi kepentingan publik, pers bertanggung jawab untuk mengawasi pemerintah. Tetapi, indeks kebebasan pers 179 negara di tahun 2011 mengindikasikan kebebasan dan independensi pers masih jauh dari jangkauan dunia. Pemerintah terus tergoda untuk mengendalikan berita dan informasi, tulis Reporters without Borders, organisasi yang merilis indeks tersebut. Kemerdekaan sipil bergerak sejajar dengan kebebasan pers. “Ketiadaan atau penindasan kemerdekaan sipil mengacu kepada penindasan pers. Pemerintah diktator takut terhadap informasi dan melarangnya, terutama yang dapat meruntuhkan kekuasaannya,” tulis Reporter without Borders. Tidak heran bila tiga negara yang dipimpin oleh diktator absolut, yaitu Eritrea, Korea Utara, dan Turkmenistan menempati tiga posisi terbawah. .....” [7]

Dalam beberapa artikel yang memberitakan mengenai kebebasan pers dalam lingkaran ide Marxis mengatakan bahwa kebebasan pers dalam sistem ini menempati peringkat terbawah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dengan kata lain, kebebasan pers di negara ini masih sangat minim. Namun hal ini tentu bukan menjadi alasan untuk mengatakan bahwa tidak ada sama sekalikebebasan pers.

Pers komunis umumnya berada di negara-negara sosialis yang menganut faham komunis atau marxis, misalnya Cina, Rusia, Hongaria, Kroasia dan lain sebagainya. Pers komunis ini terbentuk karena latar belakang pemerintahan negaranya yang mentik beratkan kekuasaan tunggak, yaitu partai komunis. Dengan demikian suara pers harus sama dengan suara komunis, sedangkan wartawannya adalah orang-orang yang setia kepada partainya.[8]

Dalam pers komunis, partai memiliki kebijakan tersendiri dalam melaksanakan pengawasan dengan menggunakan tiga cara, yaitu :

a. Departemen-departemen propaganda dan agitasi menempatkan redaksi-redaksi diberbagai tingkatan, dan komite pusat propaganda dan agitasi memetapkan tugasnya.

b. Partai mengeluarkan sejumlah besar arahan-arahan yang menentukan bahan apa yang harus muncul pada pers dan bagaimana menyajikannya, melalui departemen propaganda dan agitasinya.

c. Partai menilai dan mengkritik pers. Tanggung-jawab ini dilaksanakan dengan sangat serius.

Praktek Pers Komunis Soviet

Dalam sejarah praktek pers komunis di negara Soviet, sistem pers sosial komunis ini berasal dari Soviet. Kala itu, Soviet adalah satu-satunya negara yang menggunakan sistem pers soviet komunis. Ini terlihat dari praktek pemimpin-pemimpin Soviet yang menjalankan surat kabar mereka dengan menggunakan staf profesional yang sangat sedikit, dan ternyata karena ada teori bahwa penulis ”amatir” harus digalakkan. Tetapi sebenarnya dalam pemikiran orang-orang Soviet sekarang ini, surat kabar itu sama dengan mesin tik atau pengeras suara. Tidak ada tempat dalam konsep Soviet untuk pemikiran tentang pers sebagai cermin kejadian yang jernih dan independaen. Memberikan tanggung-jawab terhadap unit-unit komunikasi untuk menjadi sumber pendapat umum atau pendorong pemerintah untuk mengambil keputusan, sangat jauh dari pemikiran orang Soviet. Sebuah surat kabar pribadi seperti Chi Cao Tribune dibawah kolonel McCormick, sebuah jurnal independen yang kritis seperti Times-nya New York, atau pendapat-pendapat yang bertentangan dalam radio BBC (Amerika Serikat) , tidak ada dalam konsep Soviet.

Sistem komunikasi sebagaimana halnya dengan sistem lainnya di Negara Soviet, ada karena harus melaksanakan pekerjaan yang secara khusus ditugaskan oleh para pemimpin negara. Secara keseluruhannya, pekerjaan ini adalah menyumbangkan sesuatu demi kemajuan kelas pekerja dan komunisme dunia dalam memperjuangkan kelasnya, dan mempertahankan atau memajukan kekuasaan Soviet. Secara khusus, media diberikan tugas melakukan pekerjaan dalam penugasan yang begitu luas. Pada intinya komunikasi masa soviet tidak punya integritasnya sendiri, integritasnya itu adalah integritasnya negara. Komunikasi massa adalah instrumen-instrumen yang dipelihara, dan dengan lugunya mengikuti perputaran garis partai dan arah-arah negara.[9]

Kelemahan dan Kekuatan Pers Komunis

Dengan minimnya kebebasan pers di negara komunis seperti Soviet ada beberapa dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif sistem pers komunis ini adalah hanya menguntungkan kaum sosialis karena hanya memburu keberhasilan bagi kediktatoran partai. Dan tidak semuanya berhak dapat menggunakan media dari sistem ini karena hanya anggota-anggota partai yang loyal saja yang berhak.

Sedangkan kelebihan sistem pers komunis adalah media bebas melaksanakan tugas-tugas sebagai instrument Negara da partai, bukan sebagai pihak-pihak yang bersaing mendapatkan simpati public. Sistem ini menetapkan fungsi komunikasi massa secara positif dengan mengatur rakyat agar mendukung pemimpin dan program-programnya. Sistem ini dibangun atau diciptakan sebagai bagian dari perubahan dan untuk membantu mencapai perubahan. Dan untuk membangun statusquo Soviet, tetapi selalu dalam konteks perubahan dan perkembangan. Serta merupakan sistem pers terencana yang bercampur kedalam partai dengan dibantu oleh organisasi-organisai dibawahnya.

Kesimpulan

Kebebasan pers dalam sistem pemerintahan komunis mempunyai perbedaan yang mendasar dengan sistem pemerintahan demokrasi baik dalam pelaksanaan pers maupun gagasan tentang pers itu sendiri. Dalam sistem pemerintahan komunis, pers hanya terbatas sebagai alat untuk melakukan propaganda dan agitasi ideologi partai, sedangkan pers dalam perspektif demokrasi bukan hanya sebagai alat untuk propaganda namun juga melakukan fungsi pers yaitu sebagai alat pengontrol kebijakan pemerintahan, sumber informasi masyarakat, dan lainnya yang diatur oleh undang-undang negara.

Dengan keterbatasan pers komunis dalam menjalankan fungsinya. Bukan berarti tidak ada kebebasan pers, meskipun masih sangat minim sekali sebagaimana indeks kebebasan pers yang dikeluarkan oleh badan Reporting Without Border (RWB) menempatkan negara-negara komunis berada di urutan bawah kebebasan persnya. Namun, daripada itu pers komunis mempunyai kelemahan dan kekuatan tersendiri terhadap keberlangsungan pers itu sendiri sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya.

[1] Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

[2] Journal Article Alert June 2012, U.S. Embassy Jakarta Mission Statement

[3]Schramm, Wilbur, “Four Theories of The Press”, University of Illinois Press, Urbana, 1986. Hal.124

[4] Nurudin, Sistem Komunukasi Indonesia, UMM Press, Malang, 2005, hal. 60

[5] Schramm, Wilbur, “Four Theories of The Press”, University of Illinois Press, Urbana, 1986. Hal.134

[6]Rachmatnugraha.blogspot.com

[7]VHRmedia.com

[8] Djuroto, Totok, “Manajemen Penerbitan Pers” PT. Remaja Rosadakarya, Bandung, 2002. Hal. 6

[9]willy.catghotic.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun