Tak terasa mentari mulai turun. Fido telah menghabiskan siang hanya untuk mencari data-data untuk menyelesaikan tugas akhir semesternya. Bersama Jupiter MX, ia memasuki kampus di mana teman-temannya sudah menunggu.
“Gimana, dapet data yang akurat?” tanya Febi.
“Ada sih ada, dapet sih dapet tapi gue ngga tau akurat apa ngga. “
“Eh, elo Feb. orang capek-capek main todong pertanyaan aja. Nih, minum dulu gih!” Kandis menawarkan sebotol minuman ringan yang langsung disambar Fido. Sambil minum, mereka ngobrol membahas tugas akhir semester yang tinggal seminggu lagi.
Tiba-tiba langit gelap, hujan turun membasahi bumi yang kebetulan sedang kemarau itu. Cukup lama sampai akhirnya sang surya muncul kembali.
Fido segera berdiri dan melihat ke luar. Ada sesuatu berkilauan di luar sana yang mengusiknya. Itu bunga Dahlia merah yang berkilauan akubat terpaan sinar matahari sore. Fido ingat sesuatu.
“Eh, kenapa bunga Dahlianya? Emang bisa tumbuh kalo distek?”
“ya, bisa, Fido!”
“Ngga deh, gue udah nyoba di rumah, mati tuh. Bohong kamu, Dhea!”
“Eeh, ngga percaya.”
“OK. Kalo tu bunga tumbuh, pas pelajaran olahraga gue akan keliling lapangan, semau loe deh. Begitupun sebaliknya. Gimana?”
“Gue terima tantangan loe.”
Ternyata, perhitungan Fido salah. Bunga itu tumbuh subur bahkan mulai mengeluarkan kuncup yang baru. Fido kalah.
“Dhea, gue kalah.”
“Elo juga sih. Ga percaya. Udah lari sana sepuluh putaran!”
“Wah, kejam loe. Kurangi donk!”
“Kagak pake! Lari sana, lapangan sepak bola udah nunggu. Cepetan entar siang.”
Duh, sebelnya Fido. Dengan muka ditekuk menahan malu, Fido mengitari lapangan sepak bola diikuti tepuk tangan teman-temannya. Fido, sang ketua kelas XI IPA 3 kalah taruhan dengan Dhea, seorang juara umum kelas XI.
Hari lain, guru Muatan Lokal memerintahkan para siswa untuk mengumpulkan bunga untuk mata pelajaran Pertamanan. Bunga harus dibawa dengan polybag.
“Yah, Fido, gue ngga punya polybag.”
“Emm, gue punya banyak. Gue kasih, ya!”
“Boleh, deh!”
“Tar sore gue ke rumah loe. Tapi rumah loe di mana?”
“Di sana, di jalan Bukit.”
“OK. Oops, supaya mudah, nama bokap loe dan nama panggilan loe di sana apa?”
“Em, tapi diem-diem ya. Bokap gue Asiz, di rumah gue, gue dipanggil Angie.”
OK. Ditunggu, ya!”
Sesuai janji, sore itu Fido membawa satu tas besar berisi penuh polybag. Fido selalu tepat waktu, termasuk saat itu. Kebetulan hari itu adalahhari ultah Dhea. Tak lupa Fido mengucapkan selamat pada Dhea. Dhea benar-benar berterima kasih atas polybag itu, juga atas ucapannya.
Seiring waktu, mereka terlihat dekat. Kemudian Fido tahu, bahwa hanya kepadanya, Dhea memberikan nomor ponsel, dari seluruh siswa SMAnya. Karena bagi Dhea, nomor ponsel adalah hal yang sangat confidential. Fido bangga. Dia dipuji teman-temannya, begitu pun Dhea.
“Fido, ngapain loe di sana? Bengong?”
“Oy, teman. Ntar tebenam loe. Mikirin apa sih?” tanya Kandis sambil menepuk bahu Fido.
“Ah, tidak. Pulang yuk!” jawab Fido santai. Tak ada yang tahu ada apa antara Fido dan bunga Dahlia merah di depan kampusnya.
Fido bertanya dalam hati pada bunga Dahlia itu dan bunga Dahlia di seluruh dunia. Di mana Dhea? Apakah Dhea masih temanku? Teman yang kusayang? Fido akan terus menanti jawaban dari setiap bunga Dahlia merah yang ditemuinya. Angie, apakah kau masih temanku? Teman yang kucinta.
Untuk yang menghilang, yang mencinta, yang tak terbilangkan, Ange.
Untuk yang tumbuh, yang tertaruh, yang indah, bunga Dahlia merah di depan kelas XI IPA 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H