Setiap hari dia harus pergi ke tempat itu. Ruangan yang menjadi saksi bisu atas penderitaannya selama bertahun-tahun. Ruangan dimana orang-orang yang seharusnya melindunginya malah menganiayanya.Saat dia masih kecil, dia percaya orang tuanya menyayanginya. Dia percaya rumah adalah tempat teraman di dunia. Tapi semua berubah ketika kekerasan itu dimulai. Pukulan, cacian, ancaman menjadi rutinitas sehari-hari. Dia ditindas, dipermalukan, dipaksa melakukan hal-hal yang membuatnya menderita.
"Kenapa kalian lakukan ini padaku?" tanyanya berulang kali. Tapi tak pernah ada jawaban. Hanya kebencian dan kesengsaraan yang menyambutnya. Luka dan lebam menghiasi tubuhnya. Ratapan pilu keluar dari bibir mungilnya. Tapi semua itu hanya menambah intensitas kekejaman yang ditujukan padanya.
Tahun demi tahun berlalu. Dia tumbuh dewasa dengan luka yang tak kunjung sembuh. Luka batin yang mungkin takkan pernah hilang sepenuhnya. Dia masih bertanya-tanya,"Kenapa?" Tapi jawabannya tak pernah datang. Yang ada hanyalah kehampaan dan ketidakpedulian.
Sampai sekarang dia masih harus menjalani rutinitas itu. Pergi ke tempat dimana cinta seharusnya diberikan, tapi yang didapat hanyalah penderitaan tak berujung. Dan satu-satunya yang masih membuatnya bertahan adalah pertanyaan itu. "Kenapa kalian lakukan ini padaku?"
Dia masih ingat saat-saat awal ketika keganasan itu dimulai. Tubuh kecilnya tak sanggup berontak melawan kekuatan dewasa. Ia hanya bisa meringkuk ketakutan sambil bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa?"
Saat itu ia masih terlalu kecil untuk mengerti konsep kejahatan dan kekejaman. Yang ada hanyalah rasa sakit dan kebingungan karena orang-orang yang seharusnya melindunginya kini menjadi sumber penderitaan.
Setiap hari ia harus menahan sakit dan menghindari pandangan mereka. Ia berpura-pura baik-baik saja sambil terus bertanya, "Mengapa aku layak menerima ini?" Tetapi pertanyaannya tak pernah dijawab.
Luka-luka di tubuhnya sembuh, namun trauma yang ditorehkannya tetap membekas. Ia belajar untuk bertahan hidup dalam suasana kekerasan yang acapkali meledak tanpa sebab yang jelas.
Melalui semua penderitaan itu, pertanyaan yang sama terus terngiang: "Kenapa kalian lakukan ini padaku?" Mungkin hanya itu yang dapat menopang semangatnya untuk terus maju. Keyakinan bahwa ia layak mendapat lebih dari penderitaan yang tak berujung.
Sampai kapan pun ia akan terus bertanya. Walaupun tak mungkin mendapat jawaban, setidaknya pertanyaan itu masih mampu menyelamatkannya dari keputusasaan. Membuatnya yakin bahwa ia pantas menerima kebaikan, kasih sayang dan kedamaian.