Beberapa jam setelah menghancurkan para Shadow yang belum sempurna, Satria pergi ke rumah Mutia. Di rumah Mutia, tepatnya di sebuah kamar, nampak seorang pemuda berkulit putih bersih nan tampan yang tertidur dengan wajah pucat dan penuh keringat dingin. Pemuda itu baru saja dipulihkan dari efek samping terkena darah Shadow. Badannya terasa sakit dan panas. Ia dipulihkan dengan cara diminumkan ramuan sihir yang dibuat oleh Mutia. Sudah dua minggu ia seperti itu. Mutia khawatir jika buah sihir 'Purity' tidak tumbuh juga setelah 66 hari pemuda yang merupakan adik Mutia yang cuma beda 3 hari tersebut terkena darah Shadow, maka ia akan mati secara menyakitkan, lebih sakit dibanding mati karena kecelakaan. Saat ini, Mutia menjadikan adiknya itu 'umpan' untuk menarik Shadow sampai buah Purity tumbuh.
Mutia yang tak bisa menahan tangisnya langsung bersandar di bahu Satria. "Aku udah nggak kuat ngeliatnya, Satria. Aku mau dia cepet-cepet sembuh..."
"Cukup, air mata kamu nggak ada gunanya," balas Satria.
"Tapi aku harus gimana lagi? Aku lelah..."
"Mengeluh cuma memperburuk keadaan. Jalanin aja dulu semuanya dengan sabar," sanggah Satria.
"Nggak bisa," balas Mutia. "Dia adik aku yang paling berharga..."
Satria menghela napas.
Esoknya, adik Mutia yang bernama 'Vanno' itu duduk-duduk di taman setelah rutinitasnya di kuliah. Ia kuliah di Universitas Intern. Di siang yang panas tersebut, ia dihampiri oleh dua orang yang langsung mengapitnya dengan punggung mereka.
"Sendirian aja nih? Mau ditemenin?" kata salah seorang wanita bermata bulat dan bibir tebal.
"Ada duit nggak? Minta dong buat jajan!" tambah yang satu lagi, pria berambut cepak.
"Dasar tukang palak! Cari kerja sana!" seorang gadis tiba-tiba muncul. Gadis tersebut adalah gadis berjaket hitam yang melihat Satria yang tengah minum kopi tempo hari.