Ketika artikel ini ditulis, saya tengah berada di sebuah negara yang luas daratannya dan jumlah penduduknya terbesar di dunia tengah memperingati hari kemerdekaannya yang ke-68. Hanya selisih 4 tahun dengan Indonesia yang menjadi bangsa merdeka pada 1945. Saat ini Cina merupakan negara dengan kekuatan ekonomi nomor 2 di dunia setelah Amerika Serikat, akan tetapi prediksi beberapa pakar di tahun 2018, Cina akan mengambil alih posisi negara Paman Sam tersebut untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pertama di dunia.
Pada abad pertama, bangsa Cina di masa Dinasti Han pernah memimpin perdagangan dunia melalui Jalur Sutra (The Silk Road). Dan, saat ini Cina ingin mengembalikan kejayaan tersebut melalui jalur perdagangan dunia One Belt One Road (OBOR), sehingga beberapa proyek infrastruktur Cina tengah dikebut di beberapa negara yang jadi lokasi (trace) One Belt One Roadtersebut.
Edy attended G-20 Hangzhou Summit 2017 (Photo: Yansah)
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Cina sekaligus melihat langsung kedahsyatan pembangunan infrastruktur di negeri tersebut. Di Shanghai, misalnya berdiri kokoh Shanghai Tower yang merupakan salah satu bangunan tertinggi di dunia. Belum lagi jembatan yang panjangnya seperti Suramadu maupun terowongan yang membelah sungai, seperti Tianjin Grand Bridge, Hangzhou Bay Bridge dan Weinan Weihe Grand Bridge -- yang membuat mata tidak dapat berkedip.
Fly Over bersusun tiga (Triple Decker) juga merupakan pemandangan biasa yang mudah untuk ditemukan di Kota Shanghai. Di Kota Hang Zhou yang merupakan venue perhelatan G-20 Summit 2016, mata saya dikejutkan dengan sebuah venue raksasa bernama Hangzhou International Expo Center berukuran luas 850.000 M2 (85 Ha) yang konon menghabiskan dana sebesar 450 triliun rupiah. Sungguh menakjubkan seperti propagandanya yang berbunyi "paradise on earth", bukan? Selain itu, dalam proses pembangunannya, proyek yang dibangun hampir 5 tahun ini nyaris tidak mendapatkan tentangan dari banyak pihak.
"Uthlubul 'ilma walau bishshiin"-- tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina adalah sebuah hadist yang secara harfiah diartikan sebagai perintah Nabi kepada umatnya untuk menuntut ilmu meski sampai ke tempat yang sangat jauh. Jadi, seorang Muslim tidak boleh bermalas-malasan dalam menuntut Ilmu, tidak boleh cepat merasa puas dengan apa yang ada di negerinya -- carilah pengetahuan terbaik dan secara luas walaupun Anda harus menyeberangi samudra sampai ke negeri sangat jauh tempatnya. Saya mengartikan ilmu yang dimaksudkan sebagai entitas yang bebas nilainya.
Interpretasi selanjutnya, Rasulullah SAW memang menyebut Cina sebagai negeri Cina sebab jikalau itu sebagai simbol negeri yang jauh, maka jarak Mekkah ataupun Madinah ke Negeri Cina tidaklah terlalu jauh yakni hanya sekitar 13.200 km. Pun begitu, masih banyak terdapat negeri lain yang sudah eksis pada saat itu yang jaraknya lebih jauh dibandingkan Cina.Â
Ethiopia dan Italia adalah negara-negara yang pada masa tersebut telah ada, memiliki peradaban dan telah memiliki hubungan perdagangan dengan jazirah Arab masa itu. Dan, terlepas dari persoalan shahih, relevansi dan kebenaran atau tidaknya hadist tersebut, pada kenyataannya, Cina dipandang sebagai wilayah dengan peradaban yang sangat mahsyur sedari 610 M. Hingga kini, pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina yang pernah mencatat pertumbuhan ekonomi dengan 2 digit selama bertahun-tahun. Dilansir dari data situs World Bank, pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB meningkat hingga 10 persen per tahunnya. Hal tersebut yang membuat Cina memiliki peran serta kontribusi besar dan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dunia sejak krisis finansial masal di tahun 2008.
Dalam budaya serta etos kerja, Cina memang terkenal sebagai pekerja keras, ulet dan sangat presisi dalam berkalkulasi. Selain Arab, peradaban Cina terkenal sebagai pribadi yang sangat ahli dalam berdagang, mereka tidak hanya fokus menjadi bangsa yang konsumtif tapi sudah menjadi bangsa yang produktif.Â
Cina tidak hanya puas mengekspor bahan mentah, namun sudah meningkat memproduksi bahan jadi, sehingga industri manufaktur yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi tumbuh pesat. Selain itu, bukanlah rahasia jika ada stigma bahwa Cina gemar memproduksi barang branded yang kualitasnya sama dan mendistribusikan serta menjualnya dengan harga yang lebih murah dan jumlah yang masif. Maka -- tak khayal kini banyak konsumen yang menjatuhkan pilihannya pada produk buatan Cina.
Selain etos kerja dan fakta tentang angka pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu ini, kestabilan politik juga menjadi faktor kunci mengapa Cina bisa mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Walaupun Cina tidak menganut paham demokrasi dan minim kebebasan, harus diakui bahwa sistem politik Cina menghasilkan bibit kepemimpinan yang efisien dan andal.Â
Bisa dibayangkan jika proyek G-20 Meeting Hall yang ada di Cina di buat di Indonesia pastilah waktunya tidak akan bisa selesai secepat itu. Biaya yang sangat besar pasti akan jadi sumber kritikan -- terlebih masalah pembebasan lahan dan pendanaan (bagian ini akan saya tulis secara khusus dalam artikel berikutnya). Inilah poin-poin yang dapat kita ambil dari sebuah negeri bernama Cina. Bagi saya, Cina deserves a lot of appreciation untuk dijadikan tempat belajar akan banyak hal, mulai dari budaya, politik hingga ekonomi -- semoga Anda juga setuju. Selamat belajar!
Hang Zhou, 24 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H