Ini adalah pertama kalinya saya pergi ke luar negeri. Mungkin ada yang berpikiran sama dengan saya soal berpergian ke luar negeri. Ingin ke luar negeri tapi dana terbatas, jadi tak banyak pilihan untuk menentukan destinasi. Ingin ke luar negeri, tapi sama sekali tidak punya gambaran tentang kemana dan apa saja yang bisa dilakukan. Ingin mengajak teman, tentu banyak kesepakatan yang harus disetujui bersama, dan berdasar pengalaman, itu tidak mudah. Mau tak mau mesti pergi sendiri jika ingin tetap berangkat. Jika situasi seperti ini yang terjadi, maka "Singapura" bisa menjadi jawabannya. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dengan negara kita, Singapura sudah tentu menjadi salah satu destinasi yang tidak terlalu mahal. Singapura adalah negara yang sangat bersahabat bagi single traveller karena fasilitas publik di sana sangat baik, terutama transportasinya. Kita tidak perlu pendamping yang pernah ke Singapura sebelumnya untuk bisa menjelajah Singapura. Kita bisa merencanakan semuanya sendiri. Tentu saja, semua informasi yang dibutuhkan mesti terkumpul dengan lengkap sebelum datang kesini.
Berhubung ini adalah pengalaman pertama, maka bisa dibilang saya mempersiapkan segala sesuatunya dari nol. Berikut yang saya persiapkan untuk perjalanan ke Singapura ;
- Paspor
Saya akan sedikit berbagi pengalaman saat pembuatan paspor di Jakarta. Untuk daerah lain, bisa sama atau sedikit berbeda. Secara umum, syarat-syarat pembuatan paspor bisa dilihat disini. Biaya pembuatan paspor sebesar Rp. 650 ribu untuk e-Paspor, dan Rp. 250 ribu untuk paspor biasa. Perbedaanya terletak pada chip yang dipakai di e-Paspor, sementara di paspor biasa tidak memakai chip. Saya memilih e-Paspor karena kabarnya mulai tahun 2015 nanti paspor biasa akan ditiadakan, dan semuanya wajib memakai e-Paspor. Bahkan di kantor imigrasi kelas khusus di Jakarta sudah tidak melayani lagi pembuatan paspor biasa. Tips bagi yang baru pertama kali mengurus paspor, datanglah sepagi mungkin saat kantor imigrasi belum buka, karena antreannya akan sangat panjang. Total waktu pembuatan paspor rata-rata 5-6 hari kerja, atau bisa lebih cepat jika anda memakai jasa calo yang dengan percaya dirinya banyak bergentayangan di kantor imigrasi. Saya ingin sekali melempar wajah-wajah mereka dengan sandal, karena merekalah yang membuat giliran orang-orang yang memproses dengan tertib, menjadi lebih lama dari yang seharusnya. Sebenarnya ada juga loket untuk pembuatan paspor 1 hari jadi, tapi mesti seharian berada di kantor imigrasi untuk mengikuti prosesnya. Saya tidak tertarik karena siangnya mesti balik kerja ke kantor. Saya juga kurang tahu apakah tarifnya sama dengan pembuatan paspor secara normal. Dan menurut sepengetahuan saya, belum semua kantor imigrasi memiliki pelayanan pembuatan paspor 1 hari jadi. - Tiket Pesawat
Saya bukanlah orang yang ahli dalam berburu tiket promo pesawat yang murah. Apalagi dengan status sebagai karyawan, banyak yang mesti dikompromikan, tidak sebatas mencari harga termurah. Percuma harganya super murah kalau ternyata tidak bisa diakomodasi ke jadwal cuti ataupun tanggal merah. Untuk rute Jakarta-Singapura, ada 3 maskapai penerbangan yang menurut saya memiliki tarif termurah dibanding maskapai-maskapai lain, yaitu Air Asia, Tiger Air, dan Lion Air. Atau jika ingin melihat perbandingan tarif sejumlah maskapai sekaligus, kita bisa melihat di web-web penyedia jasa layanan tiket pesawat seperti skyscanner, traveloka, nusatrip. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memilih Air Asia. Saya mendapat tiket keberangkatan seharga kurang dari Rp. 200 ribu, sementara tiket kepulangan seharga 700an ribu. Tiket kembali ke Jakarta pada umumnya memang relatif lebih mahal dibanding saat akan meninggalkan Jakarta. Harga tersebut belum termasuk bagasi yang besarnya disesuaikan dengan berat bawaan. Karena saya hanya membawa tas ransel yang bisa dimasukkan ke kabin pesawat, maka tak ada biaya tambahan. Satu lagi yang perlu dicatat adalah, harga tiket Jakarta-Singapura belum termasuk tax bandara sebesar Rp. 150 ribu. Berbeda dengan harga tiket Singapura-Jakarta yang di dalamnya sudah termasuk tax bandara. Mungkin banyak yang bisa mendapat tiket dengan harga yang jauh lebih murah daripada saya, tapi itulah harga terbaik yang bisa saya dapatkan untuk jadwal liburan yang saya rencanakan. - Penginapan
Dibanding negara-negara ASEAN lainnya, tarif penginapan di Singapura tergolong lebih mahal. Kita bisa menyiasatinya dengan memilih menginap di budget hotel atau biasa disebut hostel. Ingin lebih murah lagi, pilih kamar yang sifatnya dormitory, 1 ruangan terdiri dari beberapa tempat tidur dan dihuni banyak orang sekaligus. Salah satu situs paling populer untuk booking hotel yang konon katanya harganya bisa lebih murah adalah di Agoda. Sayangnya tak semua orang bisa menggunakan karena pembayarannya mesti memakai kartu kredit, dan saya adalah salah satunya. Tapi jangan berkecil hati, karena sekarang sudah banyak penyedia layanan booking hotel tanpa memakai kartu kredit. Diantaranya yang saya tahu adalah di paradise tour & travel, nusatrip. Kita bisa memilih tempat menginap sama halnya dengan apabila memilih penginapan di Agoda, hanya saja disini kita bisa membayar melalui transfer di ATM. Kemudian kita akan mendapat voucher hotel yang dikirim via email untuk dicetak sendiri, dan nantinya mesti ditunjukkan bersama paspor saat pertama kali check in. Saya memesan voucher hotel di paradise tour & travel, lalu saya bandingkan seumpama saya memesan di Agoda, selisih harganya tidak lebih dari 1000 rupiah. Saya sengaja menginap di area Chinatown karena kunjungan saya bertepatan dengan Tahun Baru Cina. Tujuannya agar bisa melihat perayaan Tahun Baru Cina yang bakal dipusatkan di Chinatown secara lebih dekat. Ada beberapa hostel di Chinatown yang menawarkan fasilitas dormitory, diantaranya Beary Good Hotel, Beary Nice Hotel, 5footway Inn, dsb. Rata-rata tarif dormitory Rp 250-350 ribu per malam. Setelah melihat ketersediaan, lokasi, serta harga, saya pun memilih menginap di 5footway Inn yang terletak di Pagoda Street. Total biaya menginap untuk 3 malam kurang lebih Rp 1 juta. Menurut saya masih agak mahal untuk ukuran dormitory. Saya sarankan, kalau tidak ada tujuan khusus di Chinatown, lebih baik menginap di area Geylang atau Little India yang tarifnya rata-rata lebih murah. Dari segi makanan pun agak susah mencari makanan halal di Chinatown, beda halnya dengan di Geylang, Little India, ataupun Bugis. - Uang Tunai & Kartu Kredit (Optional)
Yang membuat perjalanan ke Singapura terasa agak mahal adalah karena nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah terhadap dollar Singapura. Pertengahan tahun 2013 kurs 1 SGD masih di kisaran 7000an rupiah, sedang di awal tahun 2014 sudah menyentuh level Rp 9500,00. Lantas, berapa jumlah uang tunai dollar Singapura yang mesti disiapkan? Semua tergantung dari apa yang akan dilakukan. Apakah disana hanya akan berkeliling alias wisata gratis, masuk ke objek wisata berbayar, atau bakal belanja besar-besaran? Saya sendiri berencana masuk ke beberapa objek wisata berbayar, tapi sama sekali tak tertarik belanja. Paling hanya akan membeli 1-2 barang untuk sendiri, dan bukan barang branded di mall-mall Singapura pastinya. Dengan rencana kebutuhan seperti itu, juga referensi dari blog, untuk amannya saya alokasikan 100 SGD per hari. Total saya menyiapkan 400 SGD untuk perjalanan 4 hari, ditambah 100 SGD sebagai dana cadangan. Lebih baik lagi kalau membawanya dalam bentuk berbagai pecahan, dari 2 SGD, 10 SGD, sampai 100 SGD. Kalau tujuan utama ke Singapura adalah lebih banyak shopping, penggunaan kartu kredit saya kira akan lebih praktis. Tapi kalau kita tidak memiliki kartu kredit sebelumnya, atau termasuk golongan orang-orang yang malas memiliki kartu kredit, -seperti saya-, sebaiknya tak perlu dipaksakan. Awalnya saya juga berniat membuat kartu kredit dengan tujuan bisa reservasi hotel di Agoda. Namun setelah saya menemukan web penyedia voucher hotel dengan harga yang tidak jauh beda, niatan membuat kartu kredit saya batalkan. Kalaupun di Singapura nanti terpaksa mengalami masalah uang, setidaknya saya masih memiliki kartu debit mandiri yang bisa dipakai menarik uang tunai disana, meski potongannya relatif besar. - Informasi
Backpacker sendirian ke Singapura tanpa bekal informasi yang memadai sangatlah tidak dianjurkan, apalagi baru pertama kalinya. Waktu akan banyak terbuang untuk sekedar menggali infomasi yang semestinya bisa dilakukan sebelum keberangkatan. Selain informasi tentang objek-objek wisata, hal lain yang cukup saya perhatikan adalah soal transportasi dan makanan. Maklum, saya sudah memutuskan akan berkeliling dengan transportasi umum, khusunya MRT. Sementara soal makanan, setidaknya saya mesti mencari informasi makanan halal yang terdapat di sekitar penginapan ataupun di objek-objek yang bakal dikunjungi. Yang juga mesti digali informasinya adalah soal aturan dan kebiasaan di Singapura, terutama segala yang dianggap remeh di Indonesia, namun bisa menjadi sesuatu yang serius di Singapura. Contoh yang sederhana saat sedang berada di escalator. Di Singapura, berdiri di escalator mesti di sisi kiri, karena sisi kanan hanya diperuntukkan bagi yang sedang terburu-buru dan ingin menyalip. Atau contoh yang lebih serius, jangan pernah merokok dan membuang sampah di sembarang tempat, karena bila ketahuan, hukumannya akan sangat berat. Sumber informasi utama yang menjadi referensi saya adalah buku-buku travelling yang banyak dijual di toko-toko buku. Tidak hanya 1 buku, tapi saya baca 2 buku. Bila ingin membeli buku-buku travelling, pilihlah yang menyertakan bonus peta ataupun brosur-brosur penting. Peta tidak hanya sebatas peta wilayah, namun juga peta jalur transportasi dan peta-peta wisata. Membaca tulisan blog-blog traveling di internet juga sangat membantu untuk mendapat sedikit gambaran kondisi di Singapura. Selain itu, saya juga sempatkan untuk membaca sejumlah official website tentang Singapura, antara lain ; singapore, changi, SMRT, singaporeflyer, STP, Sentosa, HohoBus.
Segala persiapan telah selesai saya lakukan. Lalu saya menyusun itenary perjalanan dengan cukup detail, mencakup jam, tujuan, transportasi, biaya, dan hal-hal yang dirasa penting. Menyusun itenary ini saya rasa merupakan salah kegiatan mengasyikkan dalam melakukan perjalanan solo.
Rabu, 29 Januari 2014
Pagi ini Jakarta banjir besar. Transportasi lumpuh dimana-mana, tak terkecuali di sekitar tempat tinggal saya. Jika keadaan ini bertahan hingga malam hari, hampir dipastikan saya tidak bisa kemana-mana seharian. Jelas bukan kondisi yang diharapkan karena malamnya saya mesti pergi ke bandara untuk terbang ke Singapura. Alhamdulillah, seharian ini cuaca cerah, banjir perlahan-lahan surut. Perjalanan ke bandara pun lancar sesuai rencana. Sebenarnya tanggal tiket keberangkatan masih esok hari Kamis, 30 Januari jam 5.30 pagi. Berhubung saya agak khawatir bakal telat bangun pagi, saya memutuskan berangkat kamis tengah malam, dan sengaja menunggu pagi di bandara.
Kamis, 30 Januari 2014
Saya berangkat dari terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dengan pesawat Air Asia.Harga tiket kurang dari 200 ribu. Namun sekali lagi yang perlu diingat adalah tiket Air Asia belum termasuk airport tax Rp 150.000,00, dan di luar biaya bagasi. Perjalanan Jakarta-Singapura memakan waktu 2 jam, dengan waktu di Singapura 1 jam lebih cepat dibanding Jakarta. Saya tiba di bandara Changi sekitar jam 9 pagi. Rasanya campur aduk. Inilah pertama kalinya saya menghirup udara di luar tanah air Indonesia. Dari luar berusaha tetap terlihat cool, walau dalam hati merasa ndeso melihat kemegahan Changi yang sangat terasa suasana internasionalnya. Hal pertama yang saya lakukan begitu tiba di Changi adalah pergi ke toilet, lantas mengisi botol minum kosong saya dengan kran air minum gratis yang banyak tersebar di bandara.
Walau Changi hanyalah sebuah bandara, namun jangan malas untuk mencari informasi tentang bandara ini saat masih di Indonesia, karena kondisi di Changi lumayan kompleks. Sayang kalau waktu banyak terbuang hanya karena tidak tahu harus bagaimana dan kemana lagi setelah tiba di Changi. Saya sendiri bahkan sempat mengeprint manual book Changi Airport yang bisa didownload di www.changiairport.com. Ada 3 terminal di bandara Changi. Setiap kedatangan pesawat Air Asia akan ditempatkan di terminal 1. Jika dari terminal 1 Changi hendak melanjutkan perjalanan menggunakan MRT, maka harus berpindah ke terminal 2 atau 3, karena stasiun MRT Changi terletak diantara terminal 2 dan 3. Yang saya sukai dari Changi, meskipun bandaranya sangat luas, namun signage di dalam bandara berfungsi sangat baik dan jelas. Saya tidak terlalu kesulitan menemukan pemberhentian skytrain untuk menuju ke terminal 2. Sekedar informasi, skytrain ini gratis, cepat, dan tidak butuh waktu tunggu yang lama. Saya pun keluar dari bandara melalui terminal 2. Saat hendak melewati keimigrasian, saya sempatkan untuk mengambil berbagai brosur yang berisi peta ataupun informasi seputar Singapura yang mungkin berguna dalam perjalanan nanti. Brosur-brosur ini ditempatkan bersebelahan dengan jalur antrean keimigrasian.
Stasiun MRT Changi terletak tidak jauh dari terminal 2 Changi. Begitu keluar terminal 2, saya langsung melihat escalator dan penunjuk arah menuju stasiun MRT. Perasaan makin campur aduk, antara senang sekaligus deg-degan. Senang karena aktifitas traveling yang sebenarnya akan segera dimulai, deg-degan karena untuk pertama kalinya saya akan naik MRT. Maklum, selama hidup di Jakarta belum pernah merasakan apa yang namanya MRT. Tapi setidaknya saya sudah banyak membaca perihal transportasi di Singapura dari internet, jadi saya sudah punya sedikit gambaran. Sampai di stasiun MRT, saya langsung menuju loket. Ada beberapa pilihan tiket untuk menggunakan MRT. Yang paling umum adalah standard ticket, satu tiket hanya untuk satu kali perjalanan. Standard ticket ini bisa dibeli di mesin otomatis. Bagi yang berkunjung ke Singapura untuk beberapa hari dan bakal sering menggunakan MRT atau bus, saya menganjurkan untuk memakai STP (Singapore Tourist Pass). STP ini memang sengaja diperuntukkan untuk para wisatawan asing. Cukup dengan sekali pembelian, tiket dapat digunakan tanpa batas selama masih dalam jangka waktu yang ditentukan. Bisa 1 hari, 2 hari, atau 3 hari. Saya membeli STP untuk 3 hari seharga 30 SGD, dengan 10 SGD sebagai deposit yang dapat diambil lagi setelah pemakaian. Atau dengan kata lain, saya bisa naik MRT dan bus sepuasnya selama 3 hari penuh dengan biaya 20 SGD. Harga ini jelas lebih murah dibanding menggunakan standard ticket.
[caption id="attachment_334341" align="aligncenter" width="300" caption="Singapore Tourist Pass"][/caption]
Petualangan dimulai. Saya menaruh kertas itenary perjalanan dan peta MRT di tempat yang mudah terjangkau, karena itulah petunjuk utama saya. Akhirnya saya pun merasakan naik MRT di negeri orang. Kesan pertama yang saya dapati dari MRT di Singapura adalah cepat dan nyaman. Dari stasiun MRT Changi, saya bertolak menuju stasiun MRT Raffles Place. Begitu keluar dari stasiun, gedung-gedungtinggi nan modern langsung menyambut saya.
[caption id="attachment_334320" align="aligncenter" width="300" caption="High Rise Buildings di Sekitar Stasiun MRT Raffles Place"]
Berbekal lembaran peta dan GPS, saya berjalan kaki menyusuri jalanan Singapura. Tujuan pertama saya adalah kawasan Historic District. Saatnya mengeluarkan jurus sok tahu dan sotoy untuk menemukan tempatnya. Tak akan ada yang protes kalaupun nantinya saya salah memilih jalan. Ternyata tempatnya tidaklah sulit ditemukan. Bangunan Hotel Fullerton yang berarsitektur Inggris sudah ada di depan mata. Sementara jauh di seberang sana, dibatasi jalan raya dan sungai, terlihat Marina Bay Sands yang berdiri megah seakan melambai-lambai minta segera dikunjungi. Nanti dulu ya, saya mau memutari kawasan ini dulu.
[caption id="attachment_334321" align="aligncenter" width="300" caption="Hotel Fullerton"]
Historic District ini dulunya digunakan oleh Raffles sebagai pusat pemerintahan di Singapura. Banyak bangunan bersejarah berarsitektur Inggris di kawasan ini selain bangunan Hotel Fullerton itu sendiri. Ada Singapore River yang mengelilinginya. Jangan bandingkan dengan sungai-sungai di Jakarta yang sudah pasti kotor, sungai di sini bersih. Saya juga melihat kapal-kapal kecil berisi para wisatawan berlalu-lalang menyusuri sungai. Beberapa jembatan berdesain cantik berdiri kokoh membelah sungai di beberapa bagian. Di Historic District ini, lokasi-lokasi yang menarik untuk dikunjungi antara lain ; Asian Civilization Museum, Raffles Statue, Victoria Memorial Hall, dsb. Yang jelas kawasan ini tertata rapi dan sangat bersih. Sementara di sisi lain, saya bisa memandang gedung-gedung pencakar langit modern yang berpadu dengan birunya langit. Saya merasa beruntung karena cuaca sedang bagus-bagusnya. Sejauh ini, Singapura masih memberikan kesan positif terhadap saya.
[caption id="attachment_334322" align="aligncenter" width="300" caption="Singapore River (1)"]
[caption id="attachment_334323" align="aligncenter" width="300" caption="Singapore River (2)"]
[caption id="attachment_334324" align="aligncenter" width="300" caption="Singapore River (3)"]
[caption id="attachment_334325" align="aligncenter" width="300" caption="Victoria Memorial Hall"]
[caption id="attachment_334326" align="aligncenter" width="300" caption="Asian Civilization Museum"]
[caption id="attachment_334327" align="aligncenter" width="300" caption="Raffles Statue"]
Perjalanan berlanjut. Kali ini tujuan saya adalah kawasan Marina Bay Sands. Jaraknya agak jauh untuk ukuran jalan kaki. Kembali lagi, saya menggunakan ilmu sotoy untuk menemukan jalannya. Saya memilih lewat di sebuah terowongan di bawah jalan raya, dimana di situ juga banyak orang melintas. Keluar dari terowongan, saya melihat Merlion Park, yang di sekitarnya sudah ramai orang sedang berfoto-foto. Jujur saya tak menyangka bakal melihat Merlion Park lebih cepat, karena tujuan awal saya sebenarnya adalah Marina Bay Sands terlebih dulu. Saya sudah tahu kalau Merlion Park tidak jauh dari Marina Bay Sands, hanya lokasi detailnya yang sebelumnya saya tidak tahu.
[caption id="attachment_334328" align="aligncenter" width="300" caption="Merlion Park"]
Merlion Park adalah ikon utama Singapura. Belum sah ke Singapura kalau belum berfoto dengan latar patung singa menyemburkan air ini. Patung yang sejak kecil cuma bisa saya lihat di televisi maupun majalah, sekarang bisa saya lihat secara langsung. Ukurannya tidaklah terlalu besar, jadi tidak terlihat dari kawasan Historic District di seberang jalan. Dari sejumlah percakapan yang sempat terdengar di telinga, saya bisa tahu jika siang ini sebagian besar pengunjungnya berasal dari Indonesia dan Jepang. Saya pun sempat berbincang dengan sepasang suami istri dari Solo yang sedang berlibur di Singapura. Dari kawasan ini pula, saya bisa melihat Marina Bay Sands secara lebih jelas dan utuh. Ini adalah tempat terbaik bagi yang ingin mengambil foto Marina Bay Sands. Saya mengamati orang-orang di sekitar saya, mencari orang yang tepat yang sekiranya mau membantu memfoto saya dengan latar Merlion Park dan Marina Bay Sands. Entah kenapa perasaan ini begitu lega setelah bisa berfoto dengan latar Merlion Park dan Marina Bay Sands. Sekarang saya sudah sah mengunjungi Singapura!
[caption id="attachment_334329" align="aligncenter" width="300" caption="Marina Bay Sands (1)"]
Dari Merlion Park hendak ke Marina Bay Sands, saya masih harus berjalan mengitari sungai. Tidak lupa untuk berhenti sejenak di depan gedung The Esplanade. Sama halnya dengan Marina Bay Sands, The Esplanade sudah terlihat sejak saya tiba di Hotel Fullerton. Keberadaan The Esplanade ini sama dengan keberadaan Sydney Opera House di Australia, sebuah gedung pertunjukan seni yang juga berperan sebagai ikon kota. Desain The Espalanade sangat unik, menyerupai buah durian raksasa. Mungkin bentuk durian dipilih karena buah ini mencerminkan Asia.
[caption id="attachment_334330" align="aligncenter" width="300" caption="The Esplanade"]
[caption id="attachment_334340" align="aligncenter" width="300" caption="Marina Bay Sands (2) ; View from The Esplanade"]
Di belakang The Esplanade terdapat sebuah tribun penonton yang berwarna-warni. Tribun ini dipakai saat penyelenggaraan balap formula 1 Singapura yang menggunakan jalan raya sebagai sirkuitnya. Lantas saya menyeberangi Helix Bridge, jembatan penghubung yang merupakan akses menuju Marina Bay Sands. Dari Helix Bridge ini, di seberang jalan nampak Singapore Flyer yang merupakan salah satu bianglala tertinggi di Asia. Dan akhirnya, sampai juga saya di kawasan Marina Bay Sands. Ada sejumlah bangunan berdesain unik di kawasan ini. Yang pertama adalah Art Science Museum yang memiliki desain menyerupai bunga teratai. Lalu ada dua bangunan terapung yang memiliki desain kontemporer modern. Kedua bangunan tersebut dikenal sebagai Two Floating Crystal Pavilions.
[caption id="attachment_334331" align="aligncenter" width="300" caption="Helix Bridge"]
[caption id="attachment_334332" align="aligncenter" width="300" caption="Singapore Flyer"]
[caption id="attachment_334336" align="aligncenter" width="300" caption="Art Science Museum"]
[caption id="attachment_334333" align="aligncenter" width="300" caption="Salah Satu Two Floating Crystal Pavilions"]
Marina Bay Sands adalah kompleks bangunan multifungsi, diantaranya sebagai hotel resort, shopping mall, kasino, dan tempat pertunjukan. Bangunan utama Marina Bay Sands berbentuk tiga tower yang seolah-olah menopang sebuah kapal pesiar besar sebagai atapnya. Bangunan ini difungsikan sebagai hotel resort yang mewah. Saya mencoba memasuki mallnya. Perbedaan utama yang saya dapati dibanding mall-mall di Jakarta, di sini orang bebas keluar masuk mall tanpa adanya pemeriksaan petugas seperti halnya jika kita hendak masuk mall di Jakarta. Jika melihat dalamnya, saya kira tidak terlalu berbeda dengan mall-mall besar di Jakarta. Satu hal yang menarik, ada semacam kanal di dalam mall yang bisa mengajak pengunjung untuk berkeliling mall dengan menggunakan perahu.
[caption id="attachment_334338" align="aligncenter" width="300" caption="Marina Bay Sands (3)"]
[caption id="attachment_334334" align="aligncenter" width="300" caption="Marina Bay Shopping Mall"]
[caption id="attachment_334335" align="aligncenter" width="300" caption="Kanal di dalam Shopping Mall"]
Puas berkeliling dan berfoto-foto, lelah pun saya rasakan. Cuaca Singapura yang sedang panas ditambah bawaan tas ransel yang lumayan berat, cukup menguras tenaga saya. Saya melihat-lihat sekitar. Siapa tahu ada tempat makan yang cocok buat lidah ataupun kantong saya. Sayangnya tidak saya temukan. Hanya restoran-restoran internasional yang sudah pasti bakal menguras isi dompet yang terlihat. Rasanya pun belum tentu nyaman bagi lidah saya, plus kehalalannya tidak terjamin. Saya putuskan untuk mencari makan nanti saja di sekitar penginapan. Jadi, mari segera melanjutkan perjalanan ke Chinatown.
[caption id="attachment_334337" align="aligncenter" width="300" caption="View High Rise Buildings dari Marina Bay Sands"]
Di Chinatown, saya akan menginap di 5Footway Inn yang terletak di Pagoda Street. Begitu keluar dari stasiun MRT Chinatown via pintu exit D, saya langsung tiba di Pagoda Street. Pagoda Street adalah salah satu pusat keramaian di Chinatown. Apalagi sekarang menyambut Imlek, suasananya tentu lebih semarak. Berbagai barang dagangan ditawarkan disini, dari pakaian, makanan, minuman, buah-buahan, dan aneka cindera mata khas Singapura ataupun China. Di Pagoda Street pula terdapat Chinatown Heritage Centre, sejenis museum tentang kebudayaan China. Saya tiba di penginapan sekitar jam 1 siang, atau 1 jam sebelum jadwal check in jam 2 siang. Saya pun belum diperkenankan check in karena ruangan belum siap. Untungnya tas ransel sudah bisa ditaruh di receptionist, sehingga saya bisa melanjutkan perjalanan tanpa harus membawa beban berat seperti sebelumnya. Berhubung badan sudah mulai capek, saya tidak berpergian jauh dulu, namun cukup dengan berjalan-jalan di sekitar penginapan di Chinatown. Tapi sebelumnya, saya mesti mencari tempat makan terlebih dahulu guna mengisi perut.
[caption id="attachment_334379" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda Street"]
Namanya juga di Chinatown, makanan yang dominan disini tentu saja adalah chinese food, yang kemungkinan besar adalah non halal. Saya tidak mau mengambil resiko dengan itu. Jauh hari sewaktu masih di Jakarta, saya sudah mencari informasi makanan halal di Chinatown. Yang paling mudah didapati adalah restoran McD karena letaknya yang strategis di North Bridge Road. North Bridge Road merupakan jalan raya utama di Chinatown, dan tidak jauh dari penginapan saya. Namun, buat apa jauh-jauh ke Singapura kalau makannya di McD? Ya, boleh-boleh saja sih, tapi itu menjadi alternatif terakhir. Lagipula tidak ada menu nasi di McD Singapura, sementara saya sedang butuh nasi saat ini. Saya memilih makan di sebuah foodcourt di South Bridge Road yang bernama Maxwell Food Centre. Saya masuk ke dalamnya. Ada beberapa baris tempat makan di sana, dan sekilas semuanya menawarkan menu non halal. Saya berkeliling ke semua bagian foodcourt untuk mencari menu makanan halal. Alhamdulillah, saya menemukannya. Letaknya di baris paling kanan dan paling ujung. Ada sekitar tiga kedai berjejeran disitu yang menawarkan masakan-masakan Melayu ataupun India. Biaya untuk sekali makan berkisar antara 5-8 SGD sudah termasuk minuman. Kenyang menyantap makanan, saatnya bagi saya mengeksplore Chinatown.
[caption id="attachment_334380" align="aligncenter" width="300" caption="South Bridge Road"]
Di Chinatown mudah sekali ditemui restoran, kios-kios jualan, dan penginapan. Dari lapak-lapak makanan pinggir jalan hingga restoran mewah, lapak-lapak pedagang kaki lima hingga di mall-mall, penginapan kelas backpacker hingga hotel berbintang, semua ada disini. Walau sangat beraneka ragam, kesemuanya bisa tertata rapi. Tiap sudutnya selalu bersih. Ya, memang inilah wajah Singapura yang sangat mengedepankan kebersihan. Daerah-daerah yang menjadi pusat keramaian di Chinatown antara lain Pagoda Street, Smith Street, Mosque Street, North Bridge Road, South Bridge Road, dsb. Saya hanya sekedar melihat-lihat, tak terlalu berminat untuk belanja. Kalau semisal anda ingin berbelanja di kios-kios cindera mata di pinggiran jalan, jangan segan untuk menawar harga segila mungkin, karena itulah tips yang sempat saya baca jika ingin berbelanja di Chinatown. Penjualnya pun tak terbatas dari orang-orang China. Ada juga orang India, Arab, Melayu. Saya bisa merasakan jika kehidupan toleransi masyarakat disini sangat baik. Bahkan di South Bridge Road, saya melihat ada tiga tempat ibadah untuk tiga agama yang berbeda dengan lokasi yang berdekatan. Ada Jami’ Mosque untuk umat Islam, Sri Mariaman Temple untuk umat Hindu, dan Thian Hock Keng Temple untuk umat Budha.
[caption id="attachment_334381" align="aligncenter" width="300" caption="Jami"]
[caption id="attachment_334382" align="aligncenter" width="300" caption="Sri Mariaman Temple "]
[caption id="attachment_334383" align="aligncenter" width="300" caption="Thian Hock Keng Temple "]
Sore mulai menjelang. Waktunya kembali ke penginapan untuk segera check in dan beristirahat. Saya mesti membayar 20 SGD sebagai uang deposit, yang uangnya bisa diambil lagi ketika check out. Saat pertama kali melihat kamarnya, yang ada di benak saya merasa jika kamarnya terlalu sempit. Foto-foto di website kelihatannya masih lebih luas daripada kenyataannya. Yah, mungkin itu hanya efek kamera. Ruangan dormitory ini berkapasitas 4 orang, terdiri dari 2 ranjang tingkat. Saya kebagian di salah satu ranjang atas, sedangkan tepat di bawah saya adalah seorang oma-oma Perancis yang usianya saya perkirakan antara 50-60 tahun. Dalam hati saya bertanya-tanya, dengan usia yang sudah selanjut itu, apa yang ia lakukan dengan jauh-jauh datang kesini seorang diri? Ah sudahlah, tidak baik terlalu kepo di negeri orang. Masing-masing penghuni mendapat 1 loker untuk menyimpan barangnya. Satu lagi yang membuat kurang nyaman adalah pijakan tangga tempat tidur untuk naik ke ranjang atas, terasa sakit di telapak kaki waktu dipijak. Saya masih belum bisa enjoy terhadap suasana pada saat-saat awal di dalam dormitory. Tiap naik turun tangga tempat tidur sering merasa canggung mengingat orang yang di bawah saya usianya jauh di atas saya. Saat membereskan barang-barang dari atas kasur pun merasa kurang leluasa, karena saya merasa tidak enak jikalau bunyi-bunyian yang dihasilkan dari kegiatan ini bakal mengganggu penghuni lain. Namanya juga dormitory, mesti menghormati antar kepentingan sesama penghuninya. Mungkin saya masih butuh sedikit waktu biar bisa merasa nyaman. Lantas saya coba melihat kamar mandinya yang ada di luar kamar dan dipakai bersama-sama. Cukup bersih, walau belum bisa dibilang benar-benar bersih dan kinclong. Lumayan lah.
Salah satu kegiatan awal saya di kamar adalah mengecharge ponsel. Saya informasikan, di Singapura tidak mengenal colokan berkaki dua. Saya keluarkan adapter kaki tiga yang sudah saya bawa dari Jakarta, lalu mencolokkan di tempat tersedia. Begitu charger saya hubungkan dengan adapter, peristiwa yang tidak saya duga sebelumnya terjadi. Peeetttttt. Lampu di dalam kamar mendadak gelap. Koridor di depan kamar juga ikut gelap. Sepertinya terjadi mati lampu di penginapan. Apakah ini gara-gara adapter kaki tiga yang saya bawa? Sejumlah petugas penginapan berkeliling mencari penyebab kerusakan. Daripada saya galau sendirian gak jelas, akhirnya saya bercerita tentang apa yang baru saya lakukan. Kata mereka, saya memang melakukan kesalahan. Mestinya yang dicolok adalah dua lubang yang di bawah, sementara yang saya colok adalah lubang di atas dan di bawah. Dan benar saja, setelah saya cerita kejadian ini, petugas penginapan langsung bisa memperbaiki dan lampu penginapan kembali menyala. Duh, saya merasa menjadi orang paling tolol sedunia.
Suasana malam imlek di Chinatown benar-benar meriah, jauh lebih semarak dibanding siang ataupun sore tadi. Lampu-lampu hias khas imlek yang dipasang di jalan-jalan mulai dinyalakan. North Bridge Road sengaja ditutup untuk akses kendaraan karena di situlah dipusatkan perayaan Imlek. Ada panggung hiburan di sana. Jalanan sangat padat dipenuhi orang-orang yang ingin melihat puncak perayaan. Tak hanya dipenuhi oleh orang-orang keturunan Cina, tapi saya juga melihat orang-orang dari berbagai ras di dunia ikut tumpah ruah di sini. Pertunjukan kembang api spektakuler di langit menjadi puncak perayaannya. Lewat tengah malam acara baru selesai, dan saya pun kembali ke penginapan untuk beristirahat. Inilah perjalanan hari pertama saya di Singapura. Ada yang meleset dari itenary yang saya buat, mestinya hari pertama ini saya juga berkunjung ke Little India, namun batal karena sudah lelah dan waktunya terlalu singkat. Tidak masalah, saya bisa mengatur ulang itenary di hari-hari berikutnya tanpa ada intervensi dari siapapun. Sekarang saatnya tidur biar besok bisa tetap fit. Agenda utama esok hari adalah mengunjungi Universal Studio.
[caption id="attachment_334385" align="aligncenter" width="300" caption="Malam Perayaan Imlek di North Bridge Road, Chinatown"]
bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H