Mohon tunggu...
Putra Saputra
Putra Saputra Mohon Tunggu... -

I am

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Little India - Kampong Glam - Orchard Road (Backpacker Sendiri ke Singapura - Bagian 3)

16 November 2014   10:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:42 3910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu, 1 Februari 2014

Akhirnya pagi datang juga. Tidur saya semalam tidaklah nyenyak. Awalnya sih nyenyak, sebelum saya menyadari ada yang mendengkur hebat di kamar ini. Astaga, dengkuran orang itu keras sekali. Saya berkali-kali terbangun karenanya. Resiko menginap di dormitory, kita tak tahu sebelumnya teman sekamar bakal seperti apa kebiasaannya, dan mesti siap menerima segala keburukannya. Ya sudahlah. Yang penting sekarang sudah pagi, dan semoga hari ini dia check out, karena saya masih ada satu malam di sini.

Perjalanan pertama hari ini adalah ke Little India, yang sebenarnya saya jadwalkan di hari pertama namun batal. Dengan menggunakan MRT, Little India tidak terlalu jauh dari Chinatown. Saya turun di stasiun MRT Ferrer Park. Jalanan di sekitar stasiun agak lengang. Lantas saya berjalan mencari Serangoon Road yang merupakan jalan utama di Little India. Di sebuah sudut perempatan Serangoon Road, terdapat Masjid Angullia. Bagi saya, di sebuah negara dimana Islam bukan menjadi mayoritas seperti Singapura, objek masjid selalu menjadi menarik. Desain Masjid Angullia cukup sederhana, tidak banyak ornamen, cenderung masif sebagaimana bangunan-bangunan khas padang pasir.

[caption id="attachment_354444" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Angullia"][/caption]

Di seberang Masjid Angullia, geliat bisnis di Little India mulai terasa. Salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Little India adalah Mustafa Centre yang buka 24 jam. Saya masuk ke dalamnya. Segala macam barang dijual disini, dari pakaian, jam tangan, sepatu, kebutuhan sehari-hari, sampai alat elektronik juga ada. Ada yang menggelitik saya ketika melihat-lihat tempat jualan CD/DVD. Ada banyak DVD film horror Indonesia yang dijual disini. Yang pasti semuanya original. Dan yang membuat saya terkejut, ada DVD serial Cinta Fitri berbagai season yang dijual dalam puluhan seri DVD. Bahkan saya belum pernah melihatnya di Jakarta.

[caption id="attachment_354445" align="aligncenter" width="300" caption="Mustafa Centre"]

14160804831759337772
14160804831759337772
[/caption]

[caption id="attachment_354446" align="aligncenter" width="300" caption="DVD Serial Cinta Fitri di Mustafa Centre"]

14160807321530959480
14160807321530959480
[/caption]

Keluar dari Mustafa Centre, saya mencari tempat makan yang menjual menu khas kawasan ini. Walau demikian, saya masih memperhitungkan kira-kira bakal doyan atau tidak. Maklum, lidah saya kurang adaptif terhadap makanan-makanan luar Indonesia. Pilihan saya jatuh pada ABM Restaurants yang terletak di samping Mustafa Centre. Melihat menunya, saya sudah agak keder, bakal tertelan atau tidak. Apalagi saya tidak menyukai menu-menu daging kambing yang sepertinya dominan disini, plus bumbu kuahnya yang sangat menyengat. Akhirnya saya mencari amannya saja, memesan nasi briyani dengan lauk ikan dan telur. Saya kira menu ini bisa mengakomodasi rasa penasaran terhadap masakan India, namun tetap memelihara lidah saya. Hehehe. Nasi briyani kurang lebih hampir sama dengan nasi kuning di Indonesia, hanya saja menggunakan beras yang bentuknya lebih lonjong. Dan porsi yang disuguhkan sungguh besar. Saya meminta penjualnya untuk mengurangi nasi hingga setengahnya. Nasi briyani ini dilengkapi dengan kuah dan potongan sayur semacam acar. Bagi saya, rasa kuahnya terlalu tajam. Jadinya, saya hanya menuangkan sedikit saja di atas nasinya. Total harganya sekitar 10 SGD termasuk minuman teh tarik dingin.

[caption id="attachment_354447" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi Briyani"]

1416080861642482768
1416080861642482768
[/caption]

Saat sedang makan, ada seorang laki-laki yang menghampiri saya. Dia adalah warga lokal Singapura keturunan India. Dia bergabung di meja saya dengan hanya memesan segelas minuman. Rupanya dia sudah mengenal pemilik restoran, dan berada di dalam restoran karena sedang menunggu orang. Usianya kurang lebih 50 tahun. Mengetahui saya datang dari Jakarta, dia juga bercerita mempunyai pengalaman dengan Jakarta. Dia pernah bertanding sepak bola di Senayan. Ya, dia adalah mantan pemain sepak bola Singapura tahun 80an, dan sekarang menjadi pemilik restoran di Little India juga. Kami saling bercerita. Menarik juga bisa bercakap-cakap panjang lebar dengan orang lokal, apalagi dia bisa berbahasa Melayu, jadi lidah saya tak perlu belibet karena mesti bicara bahasa Inggris.

[caption id="attachment_354449" align="aligncenter" width="300" caption="ABM Restaurants"]

1416081025143569328
1416081025143569328
[/caption]

Saya melanjutkan perjalanan di sepanjang Serangoon Road yang didominasi pertokoan. Ada sejumlah kuil Hindu juga disini. Saya mencari Masjid Abdul Gafoor yang letaknya di Dunlop Street. Alhamdulillah ketemu. Berbeda dengan Masjid Angullia, Masjid Abdul Gafoor ini lebih berornamen. Arsitekturnya khas Asia Selatan dengan warna yang mencolok.

[caption id="attachment_354450" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Abdul Gafoor"]

1416081117117586793
1416081117117586793
[/caption]

Inilah bagian dari Singapura bercita rasa India. Dari orang-orangnya, makanannya, bangunannya, suasananya, semua cukup mewakili India. Puas berkeliling di Little India, sudah saatnya untuk meninggalkan kawasan ini. Secara keseluruhan, saya telah berjalan kaki lumayan jauh. Tadi perjalanan saya berawal dari stasiun MRT Ferrer Park, sekarang berada di stasiun MRT Little India untuk melanjutkan perjalanan. Yup, menjadi backpacker mesti memiliki fisik kuat untuk sanggup berjalan kaki jauh. Tujuan saya selanjutnya adalah Kampong Glam di daerah Bugis.

[caption id="attachment_354451" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (1)"]

14160813051483284740
14160813051483284740
[/caption]

[caption id="attachment_354452" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (2)"]

14160813751045575746
14160813751045575746
[/caption]

[caption id="attachment_354453" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (3)"]

14160814781198781538
14160814781198781538
[/caption]

Begitu keluar dari stasiun MRT Bugis, pemandangan berupa gedung-gedung modern langsung menyambut. Meski demikian, ruang-ruang terbuka di kawasan ini juga mudah dijumpai. Inilah yang membuat jalan kaki menjadi menyenangkan karena jalanan terasa luas. Selain Kampong Glam-nya, daerah Bugis juga dikenal sebagai pusat perbelanjaan. Ada Bugis Junction, Bugis Village, dsb. Saya tak berminat berkeliling ke tempat-tempat belanja, jadi langsung menuju ke Kampong Glam.

[caption id="attachment_354454" align="aligncenter" width="300" caption="Bugis Junction"]

14160821205866322
14160821205866322
[/caption]

[caption id="attachment_354455" align="aligncenter" width="300" caption="Bugis Village"]

14160822241834908799
14160822241834908799
[/caption]

Kampong Glam bisa diartikan sebagai kampung Arab, namun telah melebur dengan budaya Melayu setempat. Dari Victoria Street, saya berjalan menuju Arab Street. Semakin berjalan ke dalam, suasana Arab-Melayu semakin terasa. Toko-toko yang menjual pernak-pernik Arab-Melayu ataupun restoran Arab berjejeran di sepanjang jalan. Sampai akhirnya saya tiba di Muscat Street, tempat dimana Masjid Sultan berada.

[caption id="attachment_354456" align="aligncenter" width="300" caption="Arab Street"]

1416082315661470896
1416082315661470896
[/caption]

[caption id="attachment_354457" align="aligncenter" width="300" caption="Muscat Street"]

1416082373902226886
1416082373902226886
[/caption]

Masjid Sultan adalah objek wisata utama di Kampong Glam. Desainnya menarik, perpaduan antara Arab dan Melayu. Banyak wisatawan yang mengambil foto di masjid ini, ataupun menyempatkan masuk ke dalamnya. Untuk bisa masuk ke dalamnya, kita mesti berpakaian sopan. Di depan Masjid Sultan terdapat pusat cindera mata yang tertata rapi. Barang dagangannya didominasi oleh produk-produk tekstil. Sementara di seberangnya lebih banyak diisi oleh restoran-restoran dengan menu khas Arab. Ada backpacker hostel juga di depan Masjid Sultan ini.

[caption id="attachment_354458" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Sultan"]

14160824521335856254
14160824521335856254
[/caption]

[caption id="attachment_354459" align="aligncenter" width="300" caption="Pusat Cindera Mata di Depan Masjid Sultan"]

14160825401257568804
14160825401257568804
[/caption]

Saya terus berjalan. Tujuan saya berikutnya adalah Malay Heritage Centre di Kandahar Street. Malay Heritage Centre adalah pusat informasi kebudayaan Melayu di Singapura. Saya beruntung, hari ini Malay Heritage Centre sedang free ticket bagi pengunjung yang ingin masuk. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Bangunannya tidak terlalu besar, suasana di dalamnya seperti halnya jika berada di dalam museum. Sejarah dan budaya Melayu di Singapura diinfomasikan disini. Saya juga melihat ada wayang dan batik yang ditampilkan di dalam tempat ini.

[caption id="attachment_354460" align="aligncenter" width="300" caption="Malay Heritage Centre"]

14160826181844387434
14160826181844387434
[/caption]

[caption id="attachment_354461" align="aligncenter" width="300" caption="Pemutaran Film Habibie & Ainun di Malay Heritage Centre"]

14160826851259063296
14160826851259063296
[/caption]

Kampong Glam adalah pusatnya makanan halal di Singapura. Selain restoran-restoran Arab, saya juga melihat sejumlah restoran Indonesia seperti restoran Padang. Dari semuanya, saya memilih makan di Kampong Glam Café yang letaknya di sudut Busaroh Street. Suasananya nyaman bagi saya karena tempatnya terbuka, dan bisa sambil melihat jalanan. Menu-menunya sangat bersahabat bagi saya. Ada aneka nasi goreng, mie, nasi lemak, dsb. Baru tiga hari di Singapura, kerinduan saya terhadap masakan Indonesia sudah luar biasa. Nasi lemak, yang kurang lebih sama dengan nasi rames di Indonesia menjadi pilihan saya. Dengan lauk telor ceplok dan ayam goreng, saya menyantapnya dengan lahap. Saya juga membeli aneka kue kecil di restoran ini. Untuk minumannya, saya memesan es leci. Dan Kampong Glam Café menjadi tempat makan terfavorit saya di Singapura sampai sejauh ini.

[caption id="attachment_354462" align="aligncenter" width="300" caption="Kampong Glam Cafe"]

14160827781663181659
14160827781663181659
[/caption]

[caption id="attachment_354463" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi Lemak Kampong Glam Cafe"]

14160828291493646504
14160828291493646504
[/caption]

Saya kembali berdiri disini. Setelah kemarin hanya sesaat, sekarang saya kembali lagi dengan kondisi yang lebih prima. Ya, saya sudah berada di Orchard Road lagi dengan naik MRT dari stasiun MRT Bugis ke stasiun MRT Orchard. Hehehe. Kini saya bertekad akan berjalan di Orchard Road lebih jauh lagi. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, Orchard Road adalah pusatnya perbelanjaan Singapura karena banyak mall-mall besar. Saya hanya melihat-lihat luarnya tanpa masuk ke dalamnya. Secara fisik, desain bangunannya menurut saya tak terlalu istimewa. Bahkan mall-mall baru di Jakarta masih lebih bagus desainnya daripada disini. Mungkin dikarenakan mall-mall disini sudah agak lama dibangun, jadi tampilannya kurang ‘wah’. Namun karena mall-mall itu saling berjejeran dalam jumlah yang banyak, menjadikan Orchard Road sebagai kawasan yang hidup dan sangat semarak. Saat melintas Orchard Road, saya sempat melihat penjual es krim yang menjajakan dagangannya di pinggir trotoar. Katanya, ini adalah es krim otentik Singapura dari jaman dulu. Es krimnya berbentuk potongan balok, dimakan bersama roti yang juga berfungsi sebagai penjepit es krim. Saya pun ingin mencobanya. Tapi antreannya sore ini panjang sekali, membuat saya mengurungkan niat untuk membelinya. Perjalanan saya di Orchard Road berakhir saat sudah sampai di stasiun MRT Somerset. Waktunya kembali ke penginapan di Chinatown.

[caption id="attachment_354470" align="aligncenter" width="300" caption="Tang Plaza"]

14160841881219244807
14160841881219244807
[/caption]

[caption id="attachment_354471" align="aligncenter" width="300" caption="Ngee Ann City"]

1416084239296466405
1416084239296466405
[/caption]

[caption id="attachment_354472" align="aligncenter" width="300" caption="Mandarin Oriental"]

14160843201293695591
14160843201293695591
[/caption]

Ketika sampai di stasiun MRT Chinatown, saya berniat mengambil deposit dari pembelian STP (Singapore Tourist Pass) yang saya beli di hari pertama di Singapura. Hari adalah hari terakhir masa berlaku STP, dan saya tidak kemana-mana lagi malam ini. Lumayan, dapat 10 SGD. Pengambilan deposit dari pembelian STP tidak harus dilakukan langsung saat habis masa berlakunya, tapi bisa sampai 7 hari setelah masa berlakunya habis.

Minggu, 2 Februari 2014

Ini adalah hari terakhir saya di Singapura. Saya bersyukur karena semalam tidak ada lagi yang mendengkur seperti di malam sebelumnya. Saya memikirkan lagi apa yang akan saya lakukan di hari terakhir ini. Melalui berbagai pertimbangan, hari ini saya memutuskan untuk berkeliling kota saja dengan naik bus. Ada sejumlah itenary yang sudah saya susun dari Jakarta akhirnya batal terlaksana, seperti naik Singapore Flyer dan menyusuri Singapore River menggunakan kapal dari Clarke Quay. Inti dari keduanya hampir sama, menikmati pemandangan di kawasan Marina Bay. Tiketnya pun lumayan mahal. Saya tak perlu memaksakan diri, toh saya sudah dua kali ke Marina Bay siang dan malam.

Sejak hari pertama di Singapura, saya selalu naik MRT kemana-mana, dan itu membuat saya tidak bisa melihat jalanan di Singapura karena hampir semua lintasan MRT berada di bawah tanah. Saya hanya bisa melihat jalanan yang kebetulan berada di sekitar objek yang saya kunjungi. Alasan itu pula yang membuat saya ingin lebih berlama lagi berkeliling naik bus. Menggunakan bus umum biasa rasanya agak riskan. Bus umum di Singapura lumayan banyak dan kompleks, potensi kesasar lumayan ada, apalagi saya belum mempelajari seluk-beluk bus umum di Singapura. Belum lagi saya tidak boleh terlambat ke bandara karena mesti terbang hari ini. Daripada pusing memikirkan rute bus umum yang dapat membuat perjalanan jadi tidak nyaman, saya pilih berkeliling menggunakan Hoho Bus.

Saya membeli tiket Hoho Bus di resepsionis penginapan sekalian check out. Harganya 27 SGD, bisa dipakai sehari penuh ke semua rute. Selengkapnya mengenai Hoho Bus bisa dilihat di www.city-sightseeing.com. Hoho Bus adalah bus pariwisata Singapura dengan rute mengelilingi hampir semua bagian di Singapura. Ada tiga rute, Yellow Route, Purple Route, dan Red Route. Masing-masing rute memiliki belasan halte pemberhentian, dengan sejumlah halte berfungsi sebagai halte transfer antar rute. Kurang lebih sistemnya hampir sama dengan naik bus Trans Jakarta di Jakarta. Setelah melihat peta masing-masing rute, saya mulai merencanakan urutan rute yang akan saya naiki, termasuk di halte mana mesti berpindah rute.

Hoho Bus ini memiliki 2 lantai tempat duduk, yaitu di dalam bus yang dilengkapi AC, dan di bagian atas bus dengan jendela terbuka. Awalnya saya memilih duduk di atas biar bisa melihat lebih luas. Namun karena semakin siang semakin panas, akhirnya saya berpindah ke bawah. Hoho Bus juga dilengkapi sistem informasi yang bisa diakses setiap penumpang. Cukup mengambil earphone yang disediakan gratis di samping sopir, lalu menghubungkannya dengan sistem yang terdapat di kanan kiri kursi penumpang. Informasi yang diberikan seputar rute yang sedang dilalui ataupun fakta-fakta mengenai Singapura, dan bisa diubah-ubah ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Salah satu informasi yang masih saya ingat sampai sekarang, pemerintah setempat menerapkan kebijakan yang sangat ketat terhadap kepemilikan kendaraan pribadi. Jadi tak heran jika disana hampir tak ada macet, karena warganya pasti berpikir dua kali untuk memiliki kendaraan pribadi. Dan kebijakan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi tersebut bisa sukses karena disana didukung oleh sistem transportasi publik yang sangat baik.

Ketika memasuki jam makan siang, saya berhenti dulu di daerah Bugis. Tujuannya tentu saja makan siang di Kampung Glam Café lagi. Hehehe. Kali ini saya memesan nasi goreng, minumannya teh tarik dingin. O iya, kita bisa sesuka hati naik turun di semua halte Hoho Bus tanpa harus membayar lagi selama kita masih memegang tiketnya, hanya saja tidak bisa dipakai lagi di hari lain.

[caption id="attachment_354473" align="aligncenter" width="300" caption="Hoho Bus (Sumber : Google Image)"]

1416084499883790037
1416084499883790037
[/caption]

Selama berkeliling dengan Hoho Bus, perasaan saya campur aduk, antara senang sekaligus sedih. Senang karena bisa menikmati keindahan Singapura yang begitu bersih dan tertata. Sedih karena teringat Jakarta mengapa tidak bisa seperti itu. Suka atau tidak suka, saya harus jujur mengatakan jika Jakarta tertinggal jauh dalam hal transportasi, kebersihan, dan tata ruang kotanya. Soal modernisasi bangunan-bangunannya, Jakarta tidak kalah. Namun bila modernisasi itu tidak terkontrol, akibatnya bisa menurunkan kualitas kota itu sendiri. Perjalanan saya menggunakan Hoho Bus berakhir di halte Suntec Hub yang juga merupakan titik pertemuan ketiga rute tersebut. Dari Suntec Hub, saya berjalan kaki ke stasiun MRT Promenade untuk menuju ke bandara Changi.

Ini adalah pengalaman pertama saya menggunakan mesin tiket MRT otomatis karena sebelumnya selalu memakai STP. Meskipun saya sudah melihat di youtube bagaimana cara memakai mesin otomatis, tetap saja saya merasa grogi, khawatir bakal terlalu lama di depan mesin otomatis sehingga dapat memperlama antrean. Saat masih berdiri di antrean, mata saya tak lepas dari orang di depan saya yang sedang membeli tiket. Namun ternyata kekhawatiran saya terlalu berlebihan, saya pun bisa memakainya dengan cepat dan lancar. Tinggal pilih stasiun MRT yang ada di peta, lalu akan muncul jumlah uang yang harus dibayar, segera masukkan uang sesuai tarif, lantas tiket MRT beserta uang kembaliannya bisa langsung kita ambil. Hehehe.

[caption id="attachment_354474" align="aligncenter" width="300" caption="Mesin Otomatis Tiket MRT (Sumber : Google Image)"]

14160845561023945823
14160845561023945823
[/caption]

Saya memang sengaja menyiapkan waktu berlebih di bandara karena ingin mengeksplore Changi lebih jauh. Saat kedatangan beberapa hari lalu, tidak banyak yang bisa saya lakukan disini karena mesti dikejar waktu. Sekaranglah saat yang tepat untuk berkeliling ke tiap sudutnya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, segala tentang bandara Changi bisa dilihat di www.changiairport.com. Bandara Changi memiliki 3 terminal, dimana masing-masing terminal memiliki sejumlah atraksi yang cukup menarik. Saya merasa nyaman berada di Changi. Suasana internasionalnya sangat terasa karena orang-orang dari berbagai ras di dunia tumpah ruah disini. Berada di Changi membuat saya merasa menjadi bagian dari masyarakat internasional. Soal makanan, banyak pilihan yang tersedia. Di terminal 1 yang merupakan terminal keberangkatan saya, ada sejumlah restoran yang bisa dipilih jika anda adalah tipikal orang yang Indonesia banget soal makanan seperti saya. Diantaranya adalah KFC ataupun di foodcourtnya. Berbeda dengan McD Singapura yang tidak terdapat menu nasi, di KFC Singapura masih menyediakan beberapa menu nasi. Sementara di foodcourt, kita bisa memilih masakan Padang ataupun ayam penyet. Nasi Padang disini agak berbeda dengan di Indonesia. Bumbu rendangnya tidak pedas, dan malah lebih mirip nasi rames. Dan anehnya lagi, ada pilihan masakan ayam teriyaki diantaranya. Hahaha. Satu lagi yang yang sukai dari Changi adalah wifi yang super cepat. Saya memanfaatkannya untuk mengupdate sejumlah aplikasi di handphone. Lumayan, gratis dan super cepat. Tak terasa pesawat saya akan segera berangkat. Saatnya kembali ke Jakarta. Sebenarnya tak perlu sampai ke Jakarta untuk segera merasakan kembali suasana Jakarta. Di ruang tunggu keberangkatan pun saya sudah merasakan atmosfer Jakarta karena hampir semua penumpangnya adalah orang Indonesia. Overall, perjalanan saya ke Singapura cukup menyenangkan. Selamat tinggal Singapura!

[caption id="attachment_354475" align="aligncenter" width="300" caption="The Slide di Terminal 3 Changi"]

14160847012105204083
14160847012105204083
[/caption]

[caption id="attachment_354476" align="aligncenter" width="300" caption="Terminal 2 Changi"]

1416084758341901179
1416084758341901179
[/caption]

[caption id="attachment_354477" align="aligncenter" width="300" caption="Kinetic Rain Sculpture di Terminal 1 Changi"]

1416084827894493618
1416084827894493618
[/caption]

[caption id="attachment_354478" align="aligncenter" width="300" caption="Orchid Garden di Terminal 3 Changi"]

14160848931705938538
14160848931705938538
[/caption]

[caption id="attachment_354479" align="aligncenter" width="300" caption="Social Tree di Terminal 1 Changi"]

1416084961836950897
1416084961836950897
[/caption]

Awalnya saya agak ragu dengan perjalanan ke Singapura ini. Baru pertama kali ke luar negeri, sendirian pula. Modal saya adalah keberanian dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk menyingkirkan keraguan itu. Saat sudah benar-benar di Singapura, segala kekhawatiran yang sempat muncul saat masih di Jakarta, akan hilang dengan sendirinya. Karena saat itu kita hanya berpikir apa jalan terbaik yang mesti diambil. Harus diakui, Singapura memang negara kecil yang hebat dan maju, namun itu sama sekali tak mengurangi kecintaan saya terhadap tanah air Indonesia. Dan saya berharap Indonesia mau mencontoh segala yang positif dari Singapura. Akhir kata, jangan takut untuk mencoba backpacker sendiri ke luar negeri. Sampai jumpa di tulisan berikutnya (Backpacker ke Kuala Lumpur). J

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun