Mohon tunggu...
Putra Saputra
Putra Saputra Mohon Tunggu... -

I am

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ketika Saya Sering Disangka Orang Thai (Backpacker ke Thailand ; Part 2)

24 Januari 2015   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari 2

Di hari kedua ini, saya berencana mengeksplore objek-objek wisata utama di Bangkok. Bicara tentang Bangkok, objek wisata di kota ini tentulah didominasi bangunan pagoda. Dari sumber-sumber yang saya baca, pagoda-pagoda yang menjadi objek utama adalah ; The Grand Palace, Wat Arun, dan Wat Pho. Ketiganya terletak dalam satu area yang berdekatan. Belum sah ke Bangkok kalau belum mengunjungi ketiga objek tersebut. Saya pun menjadikan kunjungan ke tiga pagoda ini sebagai agenda utama sebelum nantinya berlanjut menelusuri Bangkok lebih jauh. Satu hal yang membuat saya lebih bersemangat, saya bakal naik kapal menyusuri sungai Chao Phraya untuk mencapai objek-objek tersebut, yang mana transportasi sungai seperti ini tidak saya temui di Jakarta.

Dari stasiun BTS Saladaeng, saya naik kereta ke stasiun BTS Saphan Taksin. Nah, dermaga kapal menuju ke objek-objek wisata di atas, terletak di dekat stasiun BTS Saphan Taksin. Nama dermaganya adalah Sathorn Pier. Begitu turun tangga dari stasiun BTS Saphan Taksin, dermaganya sudah terlihat. Kapal-kapal yang beroperasi di sungai Chao Phraya dibedakan berdasar warna bendera di atas kapal. Ada oranye, biru, dsb. Saya tidak terlalu hapal semua jenis bendera beserta pengoperasiannya. Yang saya tahu, kapal yang sering dipakai di kalangan turis backpacker adalah yang berbendera oranye. Ada pula yang berbendera biru dengan harga tiket lebih mahal karena dilengkapi dengan informasi wisata. Kapal berbendera biru ini dikhususkan untuk turis, sedang kapal berbendera oranye merupakan gabungan antara turis dan warga lokal yang memanfaatkan kapal tersebut untuk aktifitas sehari-hari. Saya sempat bingung mencari dimana tepatnya pemberhentian untuk kapal oranye karena disini ada beberapa pemberhentian kapal. Saat saya tanyakan kepada petugas dengan sepatah dua patah kata dalam bahasa Inggris, petugasnya menjawab dengan kalimat yang sangat panjang dalam bahasa Thai, yang membuat saya semakin bingung. Haduh, dikiranya saya orang sini. Akhirnya saya mencari antrean terpanjang yang banyak bulenya, lalu saya tanyakan kepada orang yang antre di depan saya, dan ternyata benar ini adalah antrean kapal oranye. Hehehe.

[caption id="attachment_365854" align="aligncenter" width="300" caption="Sathorn Pier"][/caption]

Perjalanan dengan kapal menyusuri sungai Chao Phraya ini lumayan menyenangkan. Sungainya lebar dan lumayan bersih. Walaupun tidak sepenuhnya bersih karena saya sempat melihat sejumlah sampah, tapi setidaknya jauh lebih bersih dibanding sungai Ciliwung. Tarifnya 15 baht untuk semua tujuan. Jika ingin ke Wat Arun/Wat Pho terlebih dahulu, kita turun di Tha Tien Pier, sementara jika ingin ke The Grand Palace terlebih dahulu, turun di Tha Chang Pier. Saya sendiri menyusun urutan perjalanan dari Wat Arun – Wat Pho – The Grand Palace, sehingga saya turun di Tha Tien Pier. Dari Tha Tien Pier menuju ke Wat Arun, saya masih harus naik kapal sekali lagi karena letak Wat Arun berada di seberang sungai. Tarif kapal untuk menyeberang ke Wat Arun adalah 3 baht untuk sekali perjalanan. Dari Tha Tien Pier ini, keindahan Wat Arun sudah terlihat.

[caption id="attachment_365855" align="aligncenter" width="300" caption="Kapal Penyeberangan Wat Pho-Wat Arun"]

14220401451901951070
14220401451901951070
[/caption]

[caption id="attachment_365856" align="aligncenter" width="300" caption="Wat Arun Tampak dari Tha Tien Pier"]

14220402171938040744
14220402171938040744
[/caption]

Tiket masuk Wat Arun adalah 50 baht. Loketnya terletak tidak jauh dari pintu masuk. Saat melewati petugas pemeriksa karcis, ternyata tiket saya tidak ditanyakan, dan saya terus berjalan begitu saja. Lhah? Sementara turis-turis bule ataupun dari Jepang/Cina, mereka mesti menunjukkan tiket, lalu sebagian tiketnya disobek. Kalau tahu bakal begini, mending saya gak usah beli tiket, karena bisa masuk dengan gratis. Tiket saya pun masih utuh. Akhirnya saya paham, saya dikira warga lokal yang datang ke Wat Arun untuk keperluan beribadah, bukan berwisata. Memang demikianlah yang saya baca, pagoda-pagoda Thailand adalah gratis bagi warga lokal.

Wat Arun sering disebut juga sebagai Temple of the Dawn. Pagoda utamanya yang bergaya khmer dinamakan prang, dengan tinggi sekitar 80 meter. Di sekeliling pagoda utama juga terdapat sejumlah prang lain dengan ukuran lebih kecil. Saya berjalan menaiki tangganya untuk menuju puncak. Tidak terlalu tinggi, namun sudut tangganya yang sangat terjal sempat membuat saya berhenti di pertengahan. Saya jadi galau untuk terus lanjut atau cukup sampai disini. Sudut kemiringinnya lebih dari 60 derajat. Setiap anak tangganya lumayan tinggi, sedang alas pijakannya tidak lebar. Untuk menaikinya mungkin tidak terlalu seram, namun untuk turunnya nanti, saya rasa merupakan uji nyali yang menantang bagi anda yang pada dasarnya takut ketinggian. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk memberanikan diri. Toh belum tentu suatu hari nanti bakal bisa kesini lagi. Pelan-pelan yang penting selamat, saya pun bisa sampai ke puncak walau dengan kecepatan siput, lalu berhasil turun ke bawah lagi walau mesti memegang handrail erat-erat.

[caption id="attachment_365858" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda Utama Wat Arun"]

142204128671881674
142204128671881674
[/caption]

[caption id="attachment_365859" align="aligncenter" width="300" caption="Tangga Menuju Puncak Wat Arun"]

14220413612054933646
14220413612054933646
[/caption]

[caption id="attachment_365860" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace & Wat Pho ; Tampak dari Wat Arun"]

14220414181031169143
14220414181031169143
[/caption]

Tujuan saya berikutnya adalah Wat Pho. Saya kembali menyeberangi Chao Phraya menuju ke Tha Tien Pier. Dari Tha Tien Pier ke Wat Pho, saya tinggal berjalan kaki. Di sepanjang jalan menuju Wat Pho, banyak sekali penjual aneka makanan. Saya tertarik dengan jajanan buah-buahan karena Thailand selama ini juga dikenal dengan buahnya. Semua buah sudah dipotong kecil dan dibungkus dalam plastik sehingga memudahkan kita untuk menyantapnya. Harga per bungkus rata-rata 20 baht. Ada nanas, mangga, jambu, dsb. Saya mencoba buah nanasnya. Rasanya segar, walau tak beda jauh dengan di Jakarta. Yang paling membedakan, semua buah potong yang dijual disini kualitasnya bagus, sementara di Jakarta, terkadang kita mesti repot untuk jeli memilih biar tak salah pilih.

Dari pusat jajanan ini, Wat Pho sudah terlihat. Tiket masuknya seharga 100 baht. Bedanya dengan di Wat Arun, kali ini tiket saya tak lepas dari pemeriksaan. Hahaha. Padahal saya sudah sesumbar bakal kembali dikira orang Thailand sehingga bisa lolos dari petugas. Mungkin karena waktu itu saya sambil menenteng-nenteng tongsis, jadi ketahuan kalau saya adalah wisatawan. Wat Pho sering disebut juga sebagai The Temple of The Reclining Budha. Disini adalah juga kompleks vihara terluas di Thailand. Banyak patung, ukiran, ataupun lukisan Budha yang tersebar di kawasan ini.

[caption id="attachment_365861" align="aligncenter" width="300" caption="Denah Kawasan Wat Pho"]

14220418451133765926
14220418451133765926
[/caption]

Yang paling menarik pengunjung di sini adalah patung Budha raksasa berbaring yang berlapis emas. Untuk bisa masuk dan melihatnya, kita mesti melepas alas kaki. Antrean orang yang masuk lumayan ramai. Orang-orang berlomba untuk bisa memotret dengan latar belakang patung Budha berbaring secara utuh. Tentu saja ini sangat susah. Panjang patungnya hampir 50 meter, sementara ruang gerak di sekitarnya tidak terlalu lebar, apalagi dalam kondisi pengunjung yang penuh.

[caption id="attachment_365862" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Budha Berbaring"]

14220419971203025063
14220419971203025063
[/caption]

Cuaca Bangkok siang ini yang lumayan panas membuat saya tak tahan untuk tak membeli minuman dingin di dalam kompleks Wat Pho. Sebenarnya tiket masuk seharga 100 baht tadi sudah termasuk sebotol air mineral dingin yang bisa diambil di tempat penukaran. Menurut saya kurang mantap kalau cuma air mineral, jadi saya membeli air kelapa. Harganya 100 baht, agak mahal sih kalau menurut saya. Tapi saya iba dengan penjualnya yang sudah nenek-nenek, dan dia membelah kelapa-kelapa itu sendiri dengan pisau besarnya. Di dalam kompleks ini juga ada pusat souvenir yang menjual cinderamata seperti gantungan kunci, kaos, dll. Sepintas saya melihat,harganya lumayan mahal, walau kemungkinan masih bisa ditawar. Saya juga melihat ada transaksi tawar-menawar antara penjual dengan seorang turis. Karena kendala bahasa, mereka berkomunikasi dengan kalkulator sebagai sarana tawar-menawar.

[caption id="attachment_365863" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda-pagoda di Wat Pho (1)"]

14220420602136125637
14220420602136125637
[/caption]

[caption id="attachment_365865" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda-pagoda di Wat Pho (2)"]

1422042123399931992
1422042123399931992
[/caption]

Perjalanan saya berlanjut ke The Grand Palace yang letaknya di samping Wat Pho. The Grand Palace adalah objek wisata paling utama dan wajib dikunjungi di Bangkok. Sebelum kesini, saya seringkali membaca tentang scam yang berkenaan dengan The Grand Palace. Katanya, banyak sopir tuktuk ataupun mobil-mobil travel di sekitar The Grand Palace yang mengincar para wisatawan demi keuntungan pribadinya. Aksi mereka adalah dengan mengatakan jika The Grand Palace masih tutup, lalu mengajak wisatawan untuk berkeliling Bangkok dengan kendaraannya. Namun dalam perjalanan dari Wat Pho menuju The Grand Palace, saya tak menjumpai yang seperti ini tuh. Atau mungkin lagi-lagi saya dikira orang Thailand, sehingga luput dari sasaran. Ah, entahlah.

Pintu masuk The Grand Palace adalah dari Na Phra Lan Road yang ada di seberang Sanam Luang Park. Jika berjalan dari pintu keluar Wat Pho, pintu masuk ini adalah bagian terjauh dari The Grand Palace. Saya kembali berjalan di bawah teriknya matahari Bangkok. Belum sampai di Na Phra Lan Road, saya sudah melihat sebuah gerbang The Grand Palace. Ada beberapa orang keluar masuk disana. Pikir saya, ini adalah pintu masuk bagian samping. Saya pun masuk ke dalamnya dengan santai, tanpa ada orang yang menegur. Lantas saya melihat sekeliling mencari loket penjualan tiket. Ternyata tidak ketemu. Yang saya lihat hanya vihara-vihara, dan juga kerumunan turis berlalu-lalang. What? Apakah ini artinya saya sudah resmi berada di dalam The Grand Palace? Tidak mungkin objek ini gratis, karena yang saya baca, harga tiket masuknya mencapai 400 baht. Akhirnya saya mendapat pemahaman sendiri, jika saya tadi ternyata masuk dari pintu keluar. Kalaupun ada orang yang masuk dari pintu tersebut, mereka adalah warga lokal. Hal ini semakin dikuatkan ketika saya melihat ada turis mau masuk dari pintu itu, namun oleh petugasnya diarahkan untuk masuk dari pintu lain. Hahaha. Lumayan. Menghemat 400 baht bok!

Salah satu informasi penting jika akan memasuki The Grand Palace, kita dilarang memakai kaos tanpa lengan ataupun celana pendek. Pihak pengelola memang menyediakan kain panjang sebagai penutup, namun tentu akan lebih nyaman bila kita sudah menyiapkan sendiri sebelumnya. Aturan ini juga berlaku untuk pagoda-pagoda lain seperti Wat Arun dan Wat Pho. The Grand Palace dulunya merupakan tempat tinggal raja, sebelum sekarang dipindah ke Dusit. Bangunan-bangunan di kompleks ini berarsitektur khas Thailand, dengan atap-atapnya didominasi kombinasi warna hijau dan oranye. Bagian dari The Grand Palace yang paling ramai dikunjungi adalah The Royal Pantheon, dimana di dalamnya tersimpan Emerald Budha, yaitu patung Budha tersuci di Thailand setinggi 75 cm mengenakan pakaian dari emas. Untuk bisa melihatnya, pengunjung diwajibkan melepas alas kaki terlebih dahulu.

[caption id="attachment_365866" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace (1)"]

14220427681744016992
14220427681744016992
[/caption]

[caption id="attachment_365867" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace (2)"]

1422042828378398141
1422042828378398141
[/caption]

[caption id="attachment_365868" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace (3)"]

14220428881066095951
14220428881066095951
[/caption]

[caption id="attachment_365869" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace (4)"]

14220430471196068637
14220430471196068637
[/caption]

Perjalanan mengelilingi Wat Arun, Wat Pho, dan The Grand Palace lumayan melelahkan. Namun itu hanya setengah perjalanan dari rencana hari ini. Selanjutnya saya akan mengelilingi Bangkok dengan berjalan kaki. Saya sudah memegang peta yang saya tandai rute jalannya untuk menuju objek-objek yang ingin saya lihat. Rutenya bakal jauh, tapi saya rasa saya masih bisa menaklukannya. Objek-objek tersebut meliputi monumen kota, pagoda, dan pusat keramaian. Urutan perjalanan saya adalah The City Pillar – Sanam Luang Park – Khaosan Road – Democracy Monument – Golden Mount – Giant Swing, lalu kembali ke The Grand Palace. Fyuh!

The City Pillar letaknya di seberang sudut The Grand Palace. Monumen ini adalah salah satu monumen penting di Bangkok. Keberadaannya dipercaya sebagai monumen penjaga kota, sekaligus pembawa keberuntungan bagi Bangkok.

[caption id="attachment_365870" align="aligncenter" width="300" caption="The City Pillar"]

14220431071821125835
14220431071821125835
[/caption]

Di seberang The City Pillar terdapat Sanam Luang Park, sebuah taman yang cukup luas di pusat Bangkok. Sanam Luang Park ini berhadapan dengan The Grand Palace di Na Phra Lan Road. Nah, di ruas jalan inilah saya bisa melihat gerbang masuk yang sesungguhnya untuk masuk ke The Grand Palace. Hahaha. Banyak sekali turis ataupun bus-bus rombongan yang berlalu-lalang di Na Phra Lan Road ini.

[caption id="attachment_365871" align="aligncenter" width="300" caption="Sanam Luang Park"]

1422043206968795844
1422043206968795844
[/caption]

Saya beristirahat sebentar di Sanam Luang Park. Tamannya sangat nyaman, adem, dan banyak tempat duduknya. Keberadaannya benar-benar menyegarkan suasana di tengah hiruk-pikuknya lalu-lintas serta panasnya cuaca Bangkok.

Lantas saya berjalan lagi mencari Khaosan Road yang dikenal sebagai pusat backpacker dari seluruh dunia. Saya sempat sedikit kesasar karena banyaknya persimpangan jalan di sekitar Sanam Luang Park yang cukup membingungkan. Berbekal bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dengan warga lokal yang saya jumpai di jalanan, akhirnya saya bisa menemukan Khaosan Road.

Khaosan Road ini lumayan lebar jalannya. Di kanan kirinya dipenuhi penjual souvenir seperti kaos, tas, dsb. Tak hanya itu, di Khaosan Road juga mudah ditemui kafe, hostel, massage centre, dsb. Di tengah perjalanan, saya merasa senang karena akhirnya menemukan kedai pinggir jalan yang menyediakan makanan halal. Dari pagi saya hanya makan roti dan buah, jelas membuat perut cukup lapar, apalagi dengan aktifitas yang lumayan menguras tenaga. Setelah memastikan bahwa menu-menunya bebas babi, saya pun mulai memesan. Menu yang tersedia adalah nasi goreng, pad thai, dan sejumlah jajanan semacam kentang goreng. Saya memilih pad thai, yang katanya makanan khas Thailand selain tom yum. Tersedia pad thai ayam ataupun telur. Saya memesan pad thai telur seharga 30 baht per porsi. Nah ini dia, tempat makan halal dengan harga miring yang dari kemarin saya cari. Bahkan harga minuman yang saya pesan di kedai sebelah masih jauh lebih mahal dari harga makanan disini. Segelas jus kiwi saya beli dengan harga 80 baht. O iya, bentuk dan rasa pad thai mirip kwetiau goreng kalau di Indonesia. Hanya saja, pad thai ini ditambah lebih banyak tauge.

[caption id="attachment_365872" align="aligncenter" width="300" caption="Khaosan Road"]

14220438371072002266
14220438371072002266
[/caption]

[caption id="attachment_365873" align="aligncenter" width="300" caption="Pad Thai"]

1422043889106705636
1422043889106705636
[/caption]

Tujuan saya berikutnya adalah Democracy Monument. Dari Khaosan Road, saya berjalan melalui Ratchadomnoen Road untuk mencapai lokasinya. Ketika memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi Bangkok di siang bolong, sebaiknya anda juga menyiapkan topi ataupun kacamata hitam sebagai pelindung dari teriknya matahari. Jangan seperti saya yang cuma mengandalkan secarik peta untuk menutupi kepala. Untung trotoarnya lebar serta jalanannya sangat bersih sehingga masih terasa nyaman.

Democracy Monument adalah monument yang sengaja didirikan untuk mengenang peristiwa kudeta militer yang sempat mengancam kerajaan Siam. Perancangnya berasal dari Italia. Bangunannya berupa empat pilar yang sama persis, mengelilingi sebuah pilar lain yang lebih kecil ukurannya. Sekarang ini, kawasan Democracy Monument sering dipakai sebagai lokasi demonstrasi di Bangkok.

[caption id="attachment_365874" align="aligncenter" width="300" caption="Democracy Monument"]

1422043952991414323
1422043952991414323
[/caption]

Saya melanjutkan perjalanan mencari Golden Mount. Kalau melihat di peta, lokasinya dari Democracy Monument lumayan jauh. Tapi nanggung kalau mesti naik kendaraan, akhirnya saya putuskan tetap berjalan kaki. Setelah menjumpai sebuah jembatan dengan sungai kecilnya, tinggal belok kanan kurang lebih 200 meter.

Golden Mount adalah pagoda yang letaknya di atas bukit. Harga tiket masuknya 20 baht. Saat saya hendak membayar tiket, petugasnya malah balik berbicara sangat panjang lebar dalam bahasa Thai yang sama sekali tidak saya mengerti. Ketika dia sudah menyelesaikan kalimatnya, saya cuma bisa menjawab “Sorry, I can’t speak Thai”. Petugasnya yang terdiri dari 2 orang perempuan nampak tak percaya saya bukan orang Thai, lalu cuma tersenyum dan melayani pembelian tiket saya. Habis itu keduanya saling tertawa dan bersahut-sahutan kencang dalam bahasa Thai yang lagi-lagi tak saya mengerti. Kalau menurut ke-sotoy-an saya, petugas tadi sebenarnya mempersilahkan saya masuk secara gratis kalau memang tujuannya mau beribadah, namun akhirnya mereka sadar kalau ternyata saya bukan orang lokal. Mestinya saya tadi langsung masuk saja, tidak perlu berbelok ke bagian loket biar bisa gratis. Ah, sudahlah.

[caption id="attachment_365875" align="aligncenter" width="300" caption="Golden Mount"]

14220440061832107327
14220440061832107327
[/caption]

Untuk mencapai puncaknya, kita mesti mendaki lebih dari 300 anak tangga secara memutar. Dari puncak Golden Mount yang juga terdapat pagoda emas ini, saya bisa melihat pemandangan kota Bangkok. Termasuk pula, saya bisa melihat Wat Arun. Ya Tuhan, Wat Arun terlihat sangat jauh sekali disana. Berarti saya telah berjalan kaki sedemikian jauhnya hingga ke puncak Golden Mount. Ini mah bukan jauh lagi, tapi jauh banget. Gila. Bagi anda yang tidak doyan jalan kaki, sebaiknya jangan meniru ittenary saya ini. Apalagi sekarang baru setengah perjalanan, karena selanjutnya saya masih akan berjalan kaki untuk kembali ke The Grand Palace. Hehehe.

[caption id="attachment_365876" align="aligncenter" width="300" caption="Tangga Menuju Puncak Golden Mount"]

14220440581871267221
14220440581871267221
[/caption]

[caption id="attachment_365877" align="aligncenter" width="300" caption="Puncak Golden Mount"]

14220441731851476481
14220441731851476481
[/caption]

[caption id="attachment_365878" align="aligncenter" width="300" caption="View dar Puncak Golden Mount"]

1422044228517170126
1422044228517170126
[/caption]

Saya kembali ke The Grand Palace dengan melewati jalan yang berbeda dari saat keberangkatan. Selain mencari jarak yang lebih dekat, saya juga berniat melihat Giant Swing. Berbeda dengan jalanan di sekitar Democracy Monument yang lebar dan nyaman, jalanan menuju Giant Swing adalah jalan-jalan kecil. Trotoarnya pun lebih sempit, bahkan di beberapa ruas jalan tidak memiliki trotoar.

Giant Swing adalah monument berbentuk ayunan raksasa berwarna merah menyala di tengah persimpangan jalan. Dulu ayunan ini dipakai untuk acara keagamaan saat merayakan panen. Namun karena sering terjadinya kecelakaan ataupun kematian akibat menaiki ayunan raksasa ini, tradisi pun dihentikan, dan sekarang hanya difungsikan sebagai penghias kota. Di seberang Giant Swing terdapat Wat Suthat. Saya hanya melihat dari luar karena menurut saya tidak terlalu menarik. Saat berdiri di depan Wat Suthat, lagi-lagi ada orang yang mengira saya orang Thai, dan ia sudah terlanjur berbicara panjang lebar dalam bahasa Thai. Kejadian serupa kembali terulang saat saya sudah tiba di seberang The Grand Palace dan sedang duduk-duduk di taman. Duh, orang-orang disini tidak bisa membedakan antara saya dengan Mario Maurer apa ya? Hahaha.

[caption id="attachment_365880" align="aligncenter" width="300" caption="Giant Swing"]

1422044312282815811
1422044312282815811
[/caption]

[caption id="attachment_365881" align="aligncenter" width="300" caption="Wat Suthat"]

14220443691592797580
14220443691592797580
[/caption]

Jika tadi pagi saya berangkat naik kapal dan turun Tha Tien Pier, maka pulangnya saya naik dari Tha Chang Pier. Pertimbangannya, kapal pasti sudah penuh saat berhenti di Tha Tien Pier. Dan benar saja, dari Tha Chang Pier kapal sudah penuh oleh orang-orang yang pulang dari The Grand Palace. Kapalnya jauh lebih ramai sekarang dibanding keberangkatan tadi pagi. Sebagian besar penumpangnya mesti berdiri, termasuk saya. Namun hal itu sama sekali tak mengurangi kegembiraan saya atas pengalaman mengelilingi Bangkok seharian ini. Itenary yang saya susun berjalan sesuai rencana walau harus berlelah-lelah berpeluh keringat. Tak sabar menunggu esok untuk pengalaman-pengalaman baru lainnya. Besok, saya akan ke Pattaya.

bersambung......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun