Wanita-wanita Limapuluhan
Para wanita itu sudah pantas dipanggil Oma, Opung, Nenek, Mbah, Eyang. Kalau bukan cucu sendiri yang memanggilnya setidaknya cucu tetangga atau cucu temannya. Namun, mereka masih menyempatkan diri untuk berbuat sesuatu di luar peran di atas.
Langkahnya sudah tak segesit dulu. Bahkan beberapa di antaranya tak berani lagi memakai high  heels. Lutut terasa ngilu jika udara dingin menyergap. Ke mana-mana harus membawa persiapan baju hangat, atau selendang penghangat tubuh. Gampang masuk angin, sedikit-sedikit badan pegal-pegal karena banyak angin di sela tulang-tulang. Perlu waktu beberapa menit untuk mempersiapkan diri dari duduk mau berdiri.
Sudah susah sekali duduk bersila, maunya selonjoran saja. Punggung harus ditopang ketika duduk, karena tulang belakang butuh sandaran. Mudah melupakan sesuatu yang baru saja dikatakan atau dilakukan.
Minum tak lagi berani waktu masih muda. Dulu maunya minuman dingin. Sekarang kalau bisa menghindari hal itu. Yang hangat-hangat yang dicari. Makan juga tak sebanyak saat itu, seperlunya saja. Olahraga tetap dilakukan, walaupun porsinya tetap dikurangi. Tidak  bisa lagi melompat, meloncat, atau mencium lutut.
Semuanya seperti sudah berlalu, karena masing-masing ada masanya. Masa muda sudah dilewati, kini waktunya menikmati masa selanjutnya.
Bersyukur para wanita ini masih memiliki waktu. Waktu untuk berbagi kepada sesama. Sesama dalam komunitas, maupun di luar komunitas. Waktu yang merupakan anugerah Tuhan ini tetap disyukuri. Waktu yang tak akan pernah bisa diulang atau diputar.
Banyak sedikitnya waktu yang bisa dialami seseorang merupakan rahasia yang tak pernah diketahui oleh orang tersebut. Hanya Sang Pemberi Waktu yang tahu kapan waktu seseorang  masih ada atau sudah habis. Menyadari hal itulah, para wanita ini menggunakan waktu untuk hal-hal yang berguna, setidaknya bagi diri sendiri, syukur kalau bisa berguna bagi orang lain.
Wanita-wanita ini punya suara. Memang tidak sebagus para penyanyi terkenal. Namun mereka tetap bernyanyi. Lagu-lagu gereja yang selalu mereka nyanyikan. Mencoba meneladani Sang Guru Yesus Kristus yang datang bukan untuk dilayani namun untuk melayani. Menyumbangkan suara yang kadang merdu kadang sumbang bagi gereja dan umat dalam sebuah ibadat. Â Siap sedia untuk melaksanakan tugas di gereja kapan pun dibutuhkan.
Hari ini para wanita limapuluhan itu berkesempatan memeriahkan misa Paskah. Sebuah kesempatan setelah beberapa waktu gereja menutup pintu karena corona. Saya pun ada di antara mereka.
Jika masih ada waktu, haruskah berhenti menjalaninya?