Catatan di Hari Rabu Abu
Hari Rabu abu merupakan awal puasa dan pantang bagi umat katolik. Masa pantang dan puasa ini akan dijalani selama 40 hari menjelang hari raya Paskah.
Sebagai organis, salah satu pelayan gereja, saya mendapat tugas pada hari tersebut. Pada pagi hari pukul 07.00 saya siap melaksanakan tugas tersebut. Dengan persiapan yang saya lakukan berharap bisa melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Persiapan bukan hanya saya lakukan pada pagi itu, tetapi beberapa hari sebelumnya. Memang saya sudah biasa menjalankan tugas itu, tetapi tetap saja melakukan persiapan. Karena dengan persiapan, saya menjadi yakin untuk melakukannya dengan baik.
Karena suatu hal, sore harinya saya masih harus bertugas lagi di gereja yang sama. Salah satu teman organis saya berhalangan hadir. Maka saya diminta untuk menggantikannya. Saya pun siap melaksanakannya, karena saya menyadari apa yang saya lakukan bukan hanya untuk temanku yang berhalangan saja, tetapi juga untuk banyak umat yang hadir di gereja saat itu. Dan saya yakin itu juga merupakan persembahan diri saya kepada Tuhan, menyediakan diri untuk dipakai oleh Tuhan.
Dengan penuh keyakinan, saya akan menuju ke gereja beberapa menit lagi karena perayaan ekaristi akan dimulai pada pukul 17.30. Suamiku mengingatkan bahwa bukan pukul 17.30 mulainya, tetapi pukul 17.00. Saya terkejut dengan hal itu. Dari siang saya berkeyakinan bahwa tugas sore ini akan dimulai pukul 17.30. Â Ternyata itu kesalahan besar yang saya lakukan, tidak mengecek jadwal yang sebenarnya.
Sebuah kesalahan yang saya lakukan. Memastikan diri tanpa melihat jadwal yang sebenarnya. Saya hanya berpikir biasanya misa sore dilaksanakan pukul 17.30, tanpa memastikan yang sebenarnya. Sebuah pelajaran yang saya dapatkan pada hari itu.
Bergegas saya menuju ke gereja. Benar saja sampai di sana sudah banyak orang yang datang. Tinggal 15 menit lagi waktu yang tersedia untuk menenangkan diri, menyiapkan buku-buku iringan, membuka organ, memilih register dan mengatur volume. Dengan rahmat Tuhan, semuanya bisa saya lewati.
Pada bagian awal, saya mendapatkan pelajaran. Begitu juga  pada akhir saya melaksanakan kewajibanku di sore itu ada satu pelajaran lagi yang saya peroleh. Ketika akan meninggalkan gereja, saya  bertemu seorang teman yang dulu pernah bekerja di tempat yang sama. Beliau sebaya dengan saya. Beliau harus duduk di kursi roda akibat dari penyakit diabetes yang dideritanya. Ke mana-mana tergantung dengan orang lain. Saat saya menyapanya, beliau berkaca-kaca melihat saya.
'Aku iri."
Dua kata ini telah mewakili banyak perasaan yang tak terucap dalam perjumpaan dengan saya. Saya tetap memberi semangat kepada beliau. Saya katakan kepadanya bahwa walaupun duduk di kursi roda, tetapi masih tetap semangat untuk ke gereja. Sebuah sikap yang sangat baik teta dimilikinya. Dengan lambaian tangan, dan matanya masih berkaca-kaca kami berpisah.
Perjumpaan saya dengan teman tersebut memberi pelajaran kepada saya untuk selalu bersyukur segala sesuatu yang Tuhan anugerahkan. Kalau saya masih bisa berjalan, berlari, bekerja, melayani di gereja, itu semua atas izin-Nya. Kesehatan yang masih dikaruniakan harus saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Menyediakan diri untuk dipakai Tuhan menjadi alat dalam melayani sesama.
Ternyata dari awal masuk gereja sampai pada saat pulang Tuhan memberi pelajaran sangat berharga.
Yang pertama agar saya tidak hanya mengira-ngira tetapi harus memastikan kapan atau jam berapa sebuah acara akan dimulai.
Yang ke-dua saya harus selalu bersyukur, karena semua yang bisa saya lakukan adalah merupakan karunia Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H