Dua Ratus
Sore itu aku berada di sebuah supermarket. Warna kuning merah mendominasi bangunan supermarket, demikian juga dengan kostum yang dikenakan oleh para karyawannya.  Lampu  terang benderang, meskipun pengunjungnya sering tak sebanyak lampu yang dipasangnya, juga merupakan ciri khas yang lain.Â
Aku berkunjung ke supermarket itu untuk membeli barang-barang yang kubutuhkan. Pesan anakku masih kuingat untuk tidak membeli barang yang  hanya sesuai dengan keinginanku, tetapi membeli barang sesuai dengan kebutuhan. Aku hanya membutuhkan beberapa barang yang berhubungan dengan penampilanku. Sebuah sabun mandi, pasta gigi, dan  bedak untuk sekedar memoles wajahku. Aku tahu, meskipun dipoles pun wajahku tidak bisa berubah ke level yang lebih baik. Tetapi itu tetap kulakukan, bukan untuk mendapat pujian, tetapi terlebih karena aku ingin menghormati orang lain dengan penampilanku.
Setelah menemukan barang yang kumaksud, aku tak segera membayar ke kasir. Aku memberi kesempatan kepada pengunjung yang sudah antre lebih dulu. Sambil menunggunya aku melirik barang-barang yang terpajang di sana. Tetapi kutebalkan imanku untuk tidak membelinya, karena itu tidak kubutuhkan, selain itu tak ada uang lebih. Untunglah pengunjung yang lebih dulu antre itu sudah selesai melakukan transaksi, sehingga memutus anganku untuk tidak merekayasa keinginanku menjadi kebutuhan.
      "Ada lagi, Bu?" tanya kasir itu dengan ramah.
      "Tidak," jawabku lirih.
      "Pulsanya sekalian, Bu?" tanya kasir itu lagi.
      "Gratis?" kataku antusias.
      "Heee ....nggaklah Bu, nanti aku nombok," katanya diikuti tawa lebar.
      "Itu ada tulisan pulsa gratis," kataku penasaran dengan tulisan yang ada di depan kasir itu.
      "Itu kan kalau saya nggak nawari ke Ibu," kata kasir itu masih dengan senyumnya.
      "Oh, gitu, lain kali jangan nawari ibu ya, biar ibu dapat pulsa gratis."
      "Ah Ibu, bisa saja," kali ini tawa kasir itu semakin lebar. Terlihat deretan gigi bagusnya yang semakin menambah cantik kasir itu. Aku agak iri melihatnya, karena gigiku tak sebagus miliknya.
      "Semuanya sepuluh ribu dua ratus rupiah ya Bu."
      "Dua ratusnya mau disumbangkan ke saya?" tanyaku.
      "Haaaah?" kasir itu kaget oleh pertanyaanku. Tetapi itu tak berlangsung lama. Senyumnya telah membantu menemukan apa maksud pertanyaanku itu.
Biasanya ia yang mengatakan hal itu kepadaku, ketika aku berbelanja Rp 9.800,00 dan uangku Rp 10.000,00 kasir itu akan berkata, "Dua ratusnya boleh didonasikan, Bu?" demikian juga apabila aku berbelanja dengan nominal yang memungkinkan ada beberapa rupiah yang pantas untuk didonasikan.Â
Aku memang sering mengatakan ya jika kasir itu mengatakan hal itu, padahal dalam hati bertanya-tanya siapa saja sih yang mendapat donasi dari supermarket itu. Tetapi ketika aku keluar dari supermarket, pertanyaan itu telah hilang dari ingatanku. Pertanda aku tidak serius memikirkannya.
Aku menyelesaikan transaksi dengan uang pas. Kasir itu melayaniku dengan wajah ceria. Kulihat wajahnya masih tersenyum ketika menerima uang dariku. Kelelahan fisiknya setelah bekerja hampir 8 jam seakan hilang terpoles oleh senyum dan tawanya sore itu. Pembicaraanku dengan kasir itu memang sangat ringan, malahan terkesan tak ada hal yang penting. Tetapi aku merasa senang melihatnya dia tertawa lepas , bukan formalitas. Dan "dua ratus" itu telah membuatnya geli, dan hilanglah rasa penatnya, setidak-tidaknya seperti yang kulihat sore itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H