Suatu hari saya berdiskusi dengan rekan sejawat saat jam istirahat. Dia mengeluhkan suasana pembelajaran di kelasnya yang cenderung pasif dan membosankan. Murid-murid di kelas tersebut tampak enggan menjawab pertanyaan dan hasil belajar yang ditunjukkan setelah asesmen sumatif juga di bawah ekspektasi. Lalu, dia pun bertanya pada saya tentang solusi dari permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai seorang guru, tentunya tugas utama kita adalah mengajar murid di kelas. Namun, ketika kita diperhadapkan pada masalah di atas, kita juga harus mampu mengambil peran tambahan. Peran tambahan apakah yang dimaksud? Peran tambahan tersebut berkaitan dengan tugas kita untuk menjalin kolaborasi atas dasar kemitraan bersama rekan sejawat dan murid di kelas atau sekolah kita. Dalam istilah psikologis, kolaborasi kemitraan ini dimaknai sebagai proses coaching. Lalu, apa yang harus dilakukan guru agar dapat menjadi seorang coach yang memberdayakan coachee?Â
Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya.
Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai"...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif."Dari definisi di atas, kita dapat memposisikan peran kita sebagai guru sekaligus coach dengan bertindak sebagai pembimbing yang membantu rekan sejawat dan murid untuk menemukan potensi mereka dan mengembangkannya dengan lebih maksimal.Â
Peran Guru Sebagai Coach Dalam Pembelajaran Berdiferensiasi
Terkait dengan pembelajaran berdiferensiasi, sebagai seorang guru sekaligus coach, saya dapat mendorong guru-guru untuk menyadari bahwa setiap murid adalah unik. Seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa setiap murid mempunyai kodrat alam dan kodrat zaman. Setelah para guru menyadari keberagaman karakteristik individual para murid, berikutnya saya dapat menjadi coach bagi mereka untuk merancang strategi pembelajaran berdiferensiasi menurut alur TIRTA (Menetapkan tujuan, Mengidentifikasi masalah, Merencanakan aksi, dan Menentukan bentuk tanggung jawab) sehingga strategi yang dirancang dapat betul-betul mengatasi masalah pembelajaran yang terjadi di kelas mereka dengan solusi yang mereka temukan setelah melewati proses coaching.Â
Selain itu, sebagai coach, saya juga dapat membantu guru dalam mempersiapkan instrumen asesmen awal pembelajaran yang dapat menjadi rujukan profil belajar murid. Dengan adanya data profil belajar murid, guru akan lebih mudah dalam membuat pemetaan kelompok belajar dan lebih mudah dalam mengorganisasikan pembelajaran sehingga harapannya akan mampu mewujudkan Teaching at The Right Level (TaRL). Dengan adanya proses coaching, saya dapat lebih memantik rasa percaya diri dan potensi guru untuk menerapkan strategi pembelajaran berdiferensiasi secara konsisten.Â
Peran Guru Sebagai Coach Dalam Pembelajaran Sosial dan Emosi
Pembelajaran sosial dan emosi mengajarkan keterampilan seperti kesadaran diri, pengelolaan emosi, empati, dan pengambilan keputusan secara bertanggung jawab agar murid mendapat well being yang optimal. Sebagai seorang guru sekaligus coach dalam pembelajaran sosial dan emosi, pertama-tama saya akan berupaya menjadi role model dalam penerapan pembelajaran sosial emosi dengan melakukan teknik STOP untuk mindfullness dan melaksanakan ice breaking di sela kegiatan pembelajaran untuk membantu murid dalam mengelola emosinya. Setelah itu, saya juga akan mensosialisasikan bentuk-bentuk kompetensi sosial emosional dan implementasinya (pengajaran langsung, terintegrasi dengan kurikulum akademik dan pembelajaran serta melalui penciptaan iklim lingkungan kelas dan budaya sekolah). Kemudian melalui aktivitas berbagi praktik baik di komunitas belajar intra sekolah, saya akan membagikan cara membuat keyakinan kelas yang dapat menjaga suasana pembelajaran tetap kondusif.Â
Keterkaitan Keterampilan Coaching Dengan Pengembangan Kompetensi Sebagai Pemimpin Pembelajaran
 Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus menampilkan sosok yang Fasilitatif, yaitu membantu menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan setiap individu di sekolah (baik murid maupun guru), Kolaboratif yaitu membantu menciptakan suasana kerja yang kolaboratif apresiatif, maksudnya kolaorasi yang saling menghargai dan saling mendukung. Dalam proses kolaborasi ini yang diperlukan adalah kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif, mendengarkan aktif, dan memberi umpan balik yang konstruktif, serta Reflektif, maksudnya pemimpin pembelajaran selalu berupaya untuk mendorong refleksi diri baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain dengan tujuan belajar dan memperbaiki diri.Â
Sehingga untuk menjadi pemimpin pembelajaran, seorang guru perlu memiliki keterampilan coaching yang baik karena melalui proses coaching, seorang guru akan diajak untuk lebih mengenal potensi yang dimilikinya serta mampu menenemukan solusi sendiri dari permasalahan pembelajaran yang dihadapinya tanpa diajari oleh orang lain bahkan sebaliknya, ia akan mampu memotivasi, menginspirasi, dan mendukung pengembangan profesional rekan sejawatnya yang lain. Â
Guru sebagai pemimpin pembelajaran akan menempatkan coaching sebagai media yang membantu guru agar tidak hany fokus pada pencapaian akademik tetapi juga pertumbuhan aspek sosial dan emosi murid dan guru dan pada akhirnya akan menciptakan pengalaman belajar yang holistik dan berkelanjutan.
Jadi, jika Anda adalah seorang guru, apakah Anda bisa berperan sebagai coach?Â
Notes: Artikel ini merupakan tugas Koneksi Antarmateri Modul 2.3Â
Nama CGP: Theresia Sri Rahayu
CGP Angkatan II Kab. Sumba TengahÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H