Pernahkah kamu merasa sangat ingin melakukan sesuatu, tapi tidak bisa? Ingin punya rumah bagus tapi tidak bisa. Ingin punya uang banyak tapi tidak bisa. Aku pernah!
Aku menghitung hari di kalender gawaiku yang menyala layarnya dari tiga puluh detik yang lalu. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Sepertinya mulutku semakin komat - kamit menghitung bilangan hari yang sudah terlewati tanpa "kita". Mungkin dua ekor kecoa yang mondar - mandir di sudut kamarku itu mengira aku sedang merapal mantra untuk mengusir mereka. Ah, semoga mereka tidak tersinggung lalu meninggalkanku dalam kesepian setiap saat, seperti dirimu.
Aku mulai penat menghitung angka. Aku tahu itu bukanlah keahlianku. Sekalipun di luar sana aku terjebak dalam sebuah rutinitas yang membuatku jenuh dengan segala sesuatu yang terkait data dan angka. Kalau bukan untuk menghidupi kebutuhanku sehari - hari, mengisi perut yang lapar dan dompet yang kosong, ingin rasanya aku resign.
Ingin ... ohh, aku ingat. Kata inilah yang dari semalam membuatku kocar - kacir. istilah anak muda sekarang, membuat otakku jadi travelling. Hanya gara - gara sebuah bunyi 'ting' dari gawaiku. Bunyi yang selama ini sengaja aku buat berbeda untuk notifikasi dari seseorang.
Setelah sekian lama gawaiku tidak pernah berbunyi demikian, tadi malam tiba - tiba dia mengeluarkan bunyi 'ting' yang berbeda. Bunyi yang bernada tinggi dan efeknya spontan membuat jantungku memompa darah dua kali lebih cepat. Otakku ingin segera merespon, tapi tidak bisa!
Tembok itu masih kokoh di sana. Di antara keinginanku dan kenyataan yang aku hadapi. Aku mengambil sebongkah keberanian yang entah dari mana, lalu meneriaki jari jemariku yang bersembunyi di balik selimut usang yang selalu mengeluh ketika aku banjiri dia dengan air mata setiap malam.
Lalu aku ketik sebaris salam malam untukmu. Tanpa emotikon, tanpa panggilan kesayangan ...walaupun aku ingin, sungguh - sungguh ingin, tapi tidak bisa.
Aku masih ingat, semalam, tiga jam setelahnya, wajahmu mengantarkan aku pada sebuah mimpi. Mimpi yang terasa begitu nyata, di sana ada 'kita' sama seperti beberapa halaman terakhir di buku yang pernah kita tulis bersama. Aku menghampirimu dan berbicara denganmu, lalu kita tersenyum. Senyuman itu yang begitu membekas hingga aku terus membawanya ketika hujan di pagi hari membuatku terjaga. Dan saat itu aku menyadari bahwa senyumanmu begitu hangat. Lebih hangat dari apapun yang bisa membuatku tidak merasa kedinginan pagi ini.
Lalu, berjam - jam setelahnya, waktu terasa sangat mempermainkanku. Aku benar - benar tidak peduli dengan kegilaan hari - hariku. Semuanya berubah, hanya seperti sebuah bunyi 'ting' yang lantas membuatku melayang.
Sepertinya aku ingin kembali menyapamu, lalu menghabiskan waktuku sambil menggigiti kuku jari tanganku, menunggu 'ting'. Sepertinya aku ingin bertanya bagaimana kabarmu sepanjang hari kemarin pun hari ini?
Sepertinya aku ingin bilang kalau aku hampir mati karena tidak bisa melupakanmu sedetik saja?
Sepertinya aku ingin mesin waktu membawa diriku kembali ke masa - masa indah dulu?
Sepertinya aku ingin membencimu karena kembali membunyikan 'ting' di gawaiku.
Dan ...sepertinya aku ingin melihatmu lagi dan lagi ... mengkhayal sampai tak ke tepian, sambil menunggu 'ting' yang berikutnya.
Tapi, aku tahu itu tak mungkin. Aku sadar.
Seperti ingin tapi tidak bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H