Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu yang Mengajariku Berbohong

23 Februari 2016   17:15 Diperbarui: 10 April 2017   02:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Prp"][/caption]

 

Ibu yang Mengajariku Berbohong

Usiaku sudah 31 tahun. Sudah cukup dewasa untuk bisa hidup mandiri dan bahkan berkeluarga. Aku selalu menganggap bahwa diriku adalah seorang perempuan yang tangguh. Padahal sebenarnya di balik kecantikan, keanggunan, dan kecerdasan yang aku miliki, ada sepotong hati yang rapuh. Hati yang bahkan bisa menjadi sangat jahat sewaktu – waktu dan aku sendiri tidak mampu menghentikannya.

Tepatnya lima tahun yang lalu, saat aku mulai menyadarinya. Hatiku terasa berbeda, dan aku mencari tahu ada apa dengan hatiku ? Saat itu aku melihat hatiku seperti sebuah medan gravitasi yang di dalamnya banyak teori tentang konspirasi yang dimanipulasi secara terorganisir. Aku pun bertanya pada hatiku, sejak kapan dia mulai seperti ini ? Dia menjawabnya seperti angin masa lalu yang begitu dingin dan kelam. Dengan nada mengejek, dia bercerita tentang seorang anak kecil yang nyaris seluruh masa anak – anaknya dihabiskan dengan menonton sebuah pertunjukan drama keluarga yang begitu menarik. Dengan lakon – lakon yang tak bukan adalah ayah, ibu, adik, dan kakaknya sendiri.

Apakah aku mengenal anak itu ? Tanyaku kembali. Namun, hatiku tidak menjawabnya. Ia malah sibuk berkerabat dengan kebencian yang selama ini mengintai dari celah di dekat jantungku. Aku menyadari keberadaannya, sejak malam terakhir aku melihat akhir dari kisah drama keluargaku yang tampak aneh. Aku melihat ayahku tidur di dalam kotak kayu yang kecil. Tidurnya begitu tenang, walaupun di sekelilingnya banyak orang yang ramai berteriak dan menangis serta berbicara dengan kata – katanya sendiri, ia tetap tertidur.

Sejak malam itu, aku melihat ada yang aneh dengan Ibu, Kakak, dan Adikku.
Ibuku seringkali tertawa. Bahkan untuk hal – hal yang menurutku tidak lucu. Misalnya, ketika uang simpanan kami habis, sementara persediaan beras menipis, gas kosong, dan air minum kemasan isi ulang pun habis. Lebih aneh lagi, ketika malam – malam aku melihat ibuku tertawa saat melihat nilai pelajaran kami yang kurang bagus. Kakak ku malah menjadi teman ibuku yang juga sama anehnya.

Dengan bangganya, ia mengatakan bahwa ia berhenti sekolah dan bersedia menjadi istri kelima dari tengkulak besar dari kota yang sering datang membawa tukang pukul ke rumah kami. Padahal sebelumnya, aku sering mendengar suara tangisan dari bilik kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Belum lagi adikku satu – satunya. Sejak ayahku tidur di kotak kayu itu, dia berhenti menangis dan merengek – rengek manja pada ibuku. Bahkan, ketika aku melihat darah mengalir dari hidungnya, dan mukanya berubah menjadi sangat pucat, ia tidak menangis.

Ibu dan Kakakku mengatakan bahwa Adik sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya selama ini. Tapi sama seperti Ayah, aku pun tak pernah melihat Adikku lagi. Sungguh – sungguh sebuah kisah drama yang menarik. Tapi itulah keluargaku. Hingga akhirnya aku putuskan meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini lapuk oleh kebohongan – kebohongan yang begitu sempurna. Dan keluarga yang mengajariku memiliki hati yang berbeda dengan hati – hati yang lain. Aku pergi ke sebuah tempat baru. Tempat yang istimewa dan hanya orang – orang tertentu yang boleh keluar masuk tempat ini. Tentunya mereka adalah orang – orang yang memiliki hati seperti hatiku.

Di tempat ini, aku biasa bercanda dengan banyak hati yang berbeda. Kadang mereka bertanya padaku, apakah aku takut berada di tempat ini ? Tapi hatiku yang jahat, selalu memaksa bibirku untuk selalu tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Kadang – kadang hatiku membisikkan sesuatu kepada otakku. Dan aku tak mengetahuinya dengan pasti, mereka mengajak kebencian untuk berkonspirasi, dan hasilnya aku mendapati tubuhku terbaring di tempat ini.

Suatu hari, aku menemui ibuku. Aku duduk di sebelahnya, di bangku taman yang ada di belakang sebuah gedung tua. Kami bercerita banyak tentang kupu – kupu bersayap pelangi yang hinggap di dahan – dahan bunga yang tumbuh liar di halaman rumah kami dulu. Kami juga menertawakan saat – saat ayah, ibu, kakak, aku dan adikku menonton pertunjukan drama di balai kota, yang berakhir kacau karena tengkulak besar datang mengejar ayah, lalu kami bersembunyi tiga hari lamanya di bawah jembatan dan menumpang tidur di emperan toko saat malam.

Ibuku menceritakan hari – harinya saat aku memutuskan pergi dari rumah. Ibu memandang ke depan jalan raya. Banyak orang lalu lalang di sana. Namun, ibu tidak peduli. Ia tertawa dengan sangat kencang, tanpa merasa malu sedikitpun. Lalu, ia mengatakan bahwa tengkulak besar sudah mati diracun orang. Hidupnya menjadi lebih tenang setelah itu. Ibu memperbaiki rumah kami yang hampir roboh dan membeli perabotan – perabotan rumah baru setiap minggu untuk mengganti yang sudah diambil oleh tengkulak. Ibu mengatakan bahwa setiap bulan, selalu ada orang yang memberi uang dengan jumlah banyak padanya.

Hatiku terasa aneh. Sama anehnya dengan cerita yang ibu katakan padaku. Ada semacam luka yang menganga di dalam hatiku. Seperti luka lama yang tergores kembali. Rasa sakitnya membuat jantungku berdetak dengan sangat kencang dan terburu – buru. Nafasku tersengal, aku melihat lagi wajah ibuku. Ia tampak tenang sekarang. Aku harus meninggalkan ibuku sekarang. Aku tak ingin ibu melihat hatiku yang jahat. Walaupun aku yakin, ia tidak akan pernah melihatnya. Sama seperti saat ini, ia pun tidak bisa melihat kedatanganku, sekalipun dari tadi kami berbicara banyak.

Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan ibu dengan hati yang terasa aneh. Rasanya ia menangis di dalam dadaku. Sepertinya kebencian ingin menyelimutinya. Lalu, aku pulang ke tempat baruku. Otakku berputar keras untuk mengatakan sesuatu kepada ibuku. Sebuah pernyataan yang mungkin selama ini aku kubur dalam – dalam di dalam hatiku sendiri.

Bahwa selama ini, aku bekerja sebagai sekretaris pribadi tengkulak besar. Dengan modal kecantikan, keanggunan, dan kecerdasan yang aku miliki, akhirnya ia mau menerimaku sebagai sekretarisnya. Sehingga setiap bulan, aku dengan leluasa mengirimkan uang dengan jumlah banyak untuk ibuku melalui orang kepercayaanku. Ketika kakakku yang menjadi istri kelima nya, mengetahui perbuatanku, aku memaksanya menutup mulut dengan menembakkan peluru yang tadinya aku siapkan untuk menghabisi tengkulak besar.

Setelah kematian kakakku, aku tak bisa membohongi ibuku lagi. Ia selalu menelponku dan menanyakan kabar kakakku. Aku sudah bosan dengan cerita kebohonganku yang mengatakan bahwa kakak pergi ke luar kota. Akhirnya, hatiku yang sudah berteman dengan kebencian, memerintahkan otakku dan terjadilah insiden kecelakaan itu, yang membuat ibu kehilangan penglihatannya. Dan aku harus membayar “kakak” baru sebagai penggantinya.

Setelah itu, hatiku berkonspirasi lagi dengan hati – hati yang lain. Sehingga aku kembali menemukan strategi untuk mengakhiri episode drama ini dengan sempurna. Aku merancang sebuah pertemuan bisnis untuk tengkulak besar di luar kota. Namun, di tengah perjalanan, aku menyisipkan sebuah kejutan istimewa. Esoknya, tersiar kabar di warta kota, tengkulak besar meregang nyawa karena keracunan gas di dalam mobilnya. Salah sendiri, dia menggodaku di dalam mobil. Ketika ada kesempatan, aku semprotkan gas berbahaya yang sengaja aku pesan. Aku bisa selamat karena gas itu bereaksi setelah sepuluh menit dalam kondisi mobil tertutup. Dan aku mengambil kesempatan dengan mengatakan hendak pergi buang air kecil. Supir tengkulak besar menjadi bagian dari rencanaku. Sehingga ia dapat selamat juga.

Namun, kali ini hatiku menjadi terlalu bodoh untuk memprediksi. Seisi kota mencariku setelah berita kematian menyebar luas di seantero kota selama beberapa pekan. Rupanya supir tengkulak dan hatinya mencoba mengambil alih kekuasaan. Ternyata ia adalah kekasih gelap kakakku yang menjadi istri kelima tengkulak besar. Ia mengetahui bahwa aku adalah pembunuh kekasihnya dan ia berniat membalaskan rasa sakit hatinya. Kemudian, hari – hariku menjadi hari – hari yang menentukan waktu hidupku.

Semuanya berjalan cepat dan menyeret leherku ke tiang gantungan yang sudah dipesan atas namaku. Kurang dari satu jam lagi aku kembali akan menemui hatiku yang jahat. Jantungku sudah mulai sangat pelan berdetak, dan otakku sudah menjadi sangat tumpul sejak para aparat menemukan persembunyianku di bawah jembatan yang dulu kami jadikan persembunyian bersama ayah, ibu, kakak, dan adikku. Pertemuanku dengan ibuku adalah pertemuan terakhir antara anak dan ibu yang sama – sama senang menonton drama dan hidup dalam drama. Tapi, ceritaku akan tetap berlanjut karena aku diam – diam telah membayar “aku” yang lain untuk ibuku. Sama halnya ketika aku membayar “kakak” untuknya.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun