Suasana sebuah warung kopi,
Â
"Mbok, kopi pahitnya satu ya."
"Iya, Mas, seperti biasa to !"
Aku tersenyum sambil mengangguk - anggukkan kepala ke arah Si Mbok.Â
Ritual minum kopi di warung kopi ini awalnya biasa saja. Sama sekali tak ada yang istimewa. Ketika pagi itu, aku bertemu dengan Pak Tua. Nah, beliau ini lah yang menjadikan ritual ini menjadi terasa hangat dan mesra.
Hmmm ... aku lelaki tulen lho, hihihiihii ... kalau pun tadi aku bilang mesra, bukan berarti aku ada "sesuatu" sama Pak Tua itu.Â
Setidaknya, aku nyaris tak pernah menemukan figur seseorang yang sama seperti Pak Tua. Matanya yang teduh, menghanyutkan seorang lelaki muda sepertiku, seakan ia menembus ke dalam semangat jiwa mudaku yang berapi - api. Ia mampu meredam setiap kata - kata penuh amarah yang kuhentakkan saat aku merasa gelisah.
Garis - garis tipis di dahinya, pertanda kesan wibawa yang sarat makna. Meski, kadang Ia memilih diam ketika aku membakar suasana hatinya dengan berita - berita baru yang kusampaikan padanya.
Pak Tua adalah figur di mana kedewasaan ditempa oleh waktu dan jiwa yang besar. Darinya aku belajar banyak hal, termasuk belajar mengenal diriku sendiri, yang memang masih bersembunyi di balik ego kelelakian mudaku.
"Ini, kopinya, Mas." Suara Si Mbok mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku tentang sosok sahabat yang kurindukan setiap hari. Ya, perbedaan umur kami memang cukup jauh berbeda. Tetapi soal menikmati kopi di warung ini, kami masih mempunyai selera yang sama. Dan dari obrolan tentang kopi inilah, akhirnya aku mengenal lebih banyak tentangnya.