Mohon tunggu...
Theresia Helena Rooroh
Theresia Helena Rooroh Mohon Tunggu... -

status: menikah dengan Danny Rooroh\r\ndan memiliki anak 3 orang\r\n\r\n"it is amazing what can be accomplished when you don't care who gets the credit."

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Harap Pada Cinta Berputik Kembali

27 Desember 2011   07:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARAP PADA CINTA BERPUTIK KEMBALI

Kesenangan dan kebahagiaan saat masih bersama mama dan papa tergambar jelas di ingatanku kembali, sembari terbaring diatas tempat tidur, disebuah rumahsakit, dengan mata setengah tertutup.

Apapun yang kuminta bila itu masih dapat terjangkau oleh hati dan kemampuan papa, pasti dikabulkan.   Papa adalah orang yang begitu menjaga extra ketat, sedangkan mama dengan caranya yang tenang menjaga dan mengatur semua keperluanku.

Menurut cerita kakakku, saat aku berusia 2 tahun, mama ingin agar aku memakai anting2,  namun keinginan ini ditentang papa dengan alasan, kasihan, nanti ada rasa sakit saat dilakukan tindik telinga untuk anting2.  ditunda dan ditunda sampai akhirnya aku tidak pernah mengalami tindik telinga, sehingga aku tidak pernah memakai anting2.

Usiaku tidak terpaut jauh dari usia ponakanku, anak kakak sulung. Kami seperti kakak beradik saja rupanya, sehingga kalau papa dan mama ajak kami berjalan-jalan, aku sering cemburu bila perhatian papa agak berlebihan kepada ponakan2ku itu.

Sejak usia 5 tahun pun, aku sudah tidak ada teman dirumah,aku bertumbuh hidup sendirian dirumah bersama papa dan mama, karena kakak2 sudah pada menikah, ada lima (5) kakak perempuan.  Kemudian mereka pergi dan pindah kekota lain bersama suami mereka.  Masih ada kakak laki2 yang sedang sekolah AMN di Magelang, dan sering pulang pada setiap semester.  Aku senang karena kakak ini sering membawakan aku buku cerita silat. Dan tak lama kemudian, kakak ini pun menikah, dan ia ditempatkan di kota Ambon.

Aku sangat merindukan papa dan mama, merindukan percakapan2 di petang hari, biasanya papa yang suka mengajak aku untuk duduk2 diteras depan rumah atau dibawah pohon Ceremai. Kami berdua ngobrol dengan relaks, sambil makan ubi goreng yang dibuat oleh mama.  Percakapan sering terjadi mengenai pelajaran sekolah, pergaulan masa kini, bahkan papa suka tanya apa saja yang menjadi keinginan hatiku.

Dalam usia 21 tahun papa meninggal dunia karena serangan jantung. Kemudian usia 24 tahun mama menyusul papa.  Sampai papa dan mama pergi meninggalkan diriku, yang mereka tahu adalah cita2ku ingin menjadi dokter gigi atau jadi pendeta.  Dua profesi ini menarik hatiku.  Sayangnya pada kenyataan, aku tidak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan.  Perubahan2 serta kondisi disekitar membuat aku harus berjuang sendiri sepeninggal mama dan papa.  Sekolahpun tidak dapat dilanjutkan, dan harus bekerja untuk menyambung hidup.  Kadang teman2 lain kurang percaya dengan apa yang aku jalani, tapi itulah kenyataan.  Untuk makan dan minum aku harus punya uang,  tak mungkin aku menjadi parasit pada keluarga dari mama dan mama, walaupun mereka menawarkan untuk bantuan.   Peninggalan papa dan mama selain rumah serta beberapa kebun kelapa, adalah semangat hidup dan iman pada Kristus.

Pernah sekali, aku menerima surat dari kakak laki2 yang sedang mengikuti sekolah staff komando AD di German, ia memberikan pesan dan juga ancaman, bahwa bila perilaku hidupku sebagai perempuan muda di Manado menjadi tidak benar, ia akan pulang ke Manado, dan akan menembak kakiku.

Betapa aku dijaga ketat sekali oleh alm papa dan kakak laki2 dalam hal pergaulan anak muda.

Kami kakak beradik pernah berpikir, bahwa kami semua lebih takut pada papa daripada TUHAN.  Karena papa nyata, dan apapun yang ia katakan, sama seperti apa yang TUHAN katakan.  Itu yang membuat kami hidup dalam ketaatan yang kadang2 seperti terpaksa, karena sangat iri melihat orang lain boleh pergi ke pesta sampai larut, sedangkan aku sendiri tidak boleh sampai larut, dan ini mengundang tertawaan mereka.

Akhirnya pernah kejadian, teman2 tidak mau mengantar aku pulang lebih awal dari pesta nikah sahabatku sendiri (Meike Wenas).  Apa jadi,  sewaktu jam 2 pagi, aku pulang rumah, dari kejauhan aku sudah melihat papa menunggu digerbang pintu pagar, berdiri tenang.  Aku benar2 pasrah, karena aku tau papa sedang memegang ikat pinggang yang siap akan disabet ke kakiku.  Dan itu semua terjadi.  Aku menangis, bukan karena sakitnya hempasan ikat pinggang ke kakiku, tetapi menangis karena rasa bersalah karena sudah mengingkari janji pada papa.   Aku sadar sekali apa yang papa kehendaki itu selalu baik dan untuk kebaikan hidupku, untuk pembentukan karakterku.  Maafkan aku papa.

Nasihat dan petuah papa dan mama selalu menjadi pengawal diriku dalam hidup kedepan dan pergaulanku diantara sesama.

Dan itulah juga yang membuat aku tak dapat dipermainkan oleh gelora, semarak, dan keintiman serta gilanya pergaulan anakmuda di kota Manado.  Aku menjadi lebih berani bergaul dengan siapa saja, teman kuliah, teman gereja, teman ketemu di pesta,  dan aku dapat mengatasi semua hal dengan baik, tegas dan tanpa tawar menawar, kenyataan inilah yang membuat aku lebih mengerti apa yang sudah papa dan mama tanamkan didalam sanubariku. Rasa takut akan papa dan Tuhan mendominasi hatiku, jiwaku dan gerak hidupku.  Itu pasti.    Aku masih tetap aku yang dulu, sampai tiba saatnya bertemu dengan calon pendamping hidup selamanya, seorang pria yang mau menikah dengan diriku.

Waktu begitu cepat berlalu. Saat ini aku memiliki tiga orang anak dewasa, dan aku berjanji didalam hatiku, akan selalu meluangkan waktu bersama-sama mereka, secara fisik kami dapat bertemu, dengan percakapan via telephone pada jarak dan tempat kedudukan berjauhan di kota lain.

Hal yang terpenting dalam hidup adalah memelihara sebuah hubungan.  Jangan pernah anggap remeh akan hubungan.  Kita hidup dari sebuah hubungan.  Dimana dalam hubungan akan ada rasa sehat, rasa kuat dan rasa tenang dan mampu menumbuhkan cinta kasih.

Bentuk seperti apapun hubungan yang pernah terbina antara aku, papa dan mama, juga dengan kakak2ku, semuanya memiliki nilai2 kehidupan tersendiri bagiku.  Aku sebagai anak bungsu dalam keluarga, bermandikan cinta, perhatian, dan kasihsayang,  sangat berharap dan ingin agar semua cinta yang kumiliki yang sudah kuterima, itu boleh menjadi bagian dari anak2ku, suamiku, serta keluarga suamiku juga.

Memang pengharapan2 itu tidak semua terwujud-nyatakan, bahkan harap itu terlalu tinggi ku taruh dalam hidupku sehingga ada moment dimana aku terbanting karena pengharapan itu pupus, tidak nyata, bahkan sebaliknya.

Aku sangat yakin dan percaya sekali bahwa cinta yang memang sudah kumiliki, dapat kubagikan terus, tanpa berharap akan terbalas, dimana suatu ketika cinta itu akan berputik kembali, dan dengan siraman kasih dariku terus menerus maka putik itu akan suatu saat merekah, berbunga dan menyebarkan aroma semerbak harum yang memberikan rasa lega, rasa aman dan rasa damai.

Dalam perjalanan hidup selama ini, memang tak selalu akan ada yang berjalan mulus, enteng dan segar, peluk dan ciuman mesra. Ada banyak tempo yang terisi dengan kemuraman wajah, tetesan airmata, kemarahan yang meledak-ledak.  Bahkan lembah kekelaman menjadi arena tempat persinggahan, dimana kepahitan serta kepedihan plus kebencian menusuk kalbu, semua tumpah ruah sehingga ada dosa sempat singgah dan melekat begitu pekat. Sampai warnanya pun tak terlihat lagi.  Aku selalu belajar menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara kasar, karena begitulah apa yang mamaku dan papaku bilang, „hormatilah orangtuamu“.  Aku menahan diri tidak mencaci, agar hidupku pun tidak diikuti bayang2 kata2ku sendiri.

Tapi – dalam kasih dan rachmatNYA, semua dapat diatasi, diselesaikan, bahkan upacara pengampunan tergelar dimana ada rendah hati mengambil peran utama, bukan karena kekuatanku, melainkan karena Kasih Allah mengusap lembut hati dan jiwaku. Inilah kunci dari kebahagiaan sebenarnya, saat masalah teratasi dengan satu kata:  „maaf“.  Dan duniaku berubah, bak pelangi ditengah rintik berderai.  Aku mengangkat kedua belah tanganku dan mengucap: „haleluyah“.

Aku tak berharap takkan ada lagi airmata, aku tak pernah memimpikan tak akan ada lagi perselisihan ataupun salah paham.

Satu hal yang aku yakini,  aku harus terus dan tetap mengasihi, tetaplah meyakini bahwa cinta itu memang sudah ada, sudah hadir didalam hidupku, dan itulah yang aku nikmati dan menjadi kewajiban untuk dibagikan kepada sesama.

Apa yang sudah aku terima dari papa dan mama, itulah yang kuajarkan pada anak2ku.  Agar mereka mengerti bahwa apa yang aku berikan dapat membawa mereka pada jalan yang baik, benar dan semuanya berdasarkan pada ajaran2 Kristus.   Selebihnya mereka sendirilah yang akan memilih dan mengerjakan sebagai bagian kelanjutan hidup kedepan dengan bermodalkan „cinta kasih“.  Itu saja sudah lebih dari cukup.

Kenangan ini akan terus menjadi bagian hidupku.  dan aku terjaga dari lamunanku yang begitu panjang.



Dalam temaramnya lampu ruang kamar, di rumah sakit, akupun perlahan terlelap, nyenyak dalam mimpi kenangan hidup bersama mama dan papa.

Besok subuh, saat perawat membangunkan aku untuk dimandikan, aku pasrah, aku membayangkan mama yang mengurus diriku, memandikanku, mengeringkan badanku, memberi tubuhku bedak wangi purol, dan kemudian menyuapkan makanan sesendok demi sendok kedalam mulutku, membersihkan tepi bibirku bila ada sisa makanan hinggap.

Aku tersenyum bahagia,  aku mendapatkan kekuatan baru.  Putik bunga cinta terkuak lebar, menampilkan dekik indah menyeruak lebar lega, menyapa surya pagi cerah.

Aku diberitahu dokter, hari ini aku sudah sehat kembali, dan diijinkan untuk pulang kerumah.

Luka operasi besar, akan berangsur sembuh, kesehatan segera pulih lebih cepat, karena ada cinta yang kuat memberikan semangat baru membebat luka batin dan luka bekas operasi.  betapa manis cinta itu.

Amin.

papa , mama terkasih,

Aku anakmu yang bungsu, yang amat sangat mencintai kalian berdua.

kepada terkasih kakak: Fien, Emmy, Corrie, Wim, Nonce

Aku bangga menjadi adik bungsu kalian – dan aku sangat mengasihi kalian semua  bersama sekeluarga kalian masing2.

dari Isye

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun