Mohon tunggu...
Okty Setianingrum
Okty Setianingrum Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi FISIP UAJY 2017

Halo! Saya sangat suka menulis sejak kecil.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Misteri Suara Dentuman Keras Gunung Anak Krakatau

12 April 2020   17:08 Diperbarui: 12 April 2020   17:37 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komentar Warganet/Dokumentasi Pribadi

Gunung Anak Krakatau kembali meletus pada Jumat (10/04)  pada pukul 21.58.  Meletusnya Gunung Anak Krakatau disinyalir sebagai akibat dari kemunculan suara dentuman keras di daerah Jabodetabek pada dini hari.

Gunung Anak Krakatau muncul akibat letusan dari Induk Krakatau pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Kelahiran Gunung Anak Krakatau pada saat itu menyebabkan terjadinya tsunami setinggi 40 meter dan memakan korban jiwa sebsar 36 ribu jiwa. Ledakan Induk Krakatau ini juga turut dapat dirasakan oleh benua lain. Bahkan, letusan ini menyebabkan dunia menjadi gelap selama dua setengah hari. Namun, Gunung Anak Krakatau baru menampakkan dirinya pada tahun 1927 atau tepat 40 tahun setelah  ledakan Induk Krakatau terjadi. 

Letusan Gunung Anak Krakatau

Letusan pada Jumat (10/04) lalu bukanlah kali pertama Gunung Anak Krakatau meletus. Dilansir dari IDN Times, Gunung Anak Krakatau merupakan gunung aktif yang telah meletus sebanyak 348 kali. Walaupun begitu, Gunung Anak Krakatau tidak akan mengakibatkan letusan  seperti Induknya. Hal ini dikatakan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Menurut Nugroho, hal ini disebabkan diameter Gunung Anak Krakatau hanya berukuran 2 kilometer, berbeda dengan Induk Krakatau yang memiliki diameter 12 kilometer. 

Dikutip dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gunung Anak Krakatau terus bertambah tinggi. Setiap  tahunnya, pertumbuhan Gunung Anak Krakatau mencapai 4-6 meter. Selain itu, berdasarkan hasil analisis visual yang dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM, Gunung Anak Krakatau mengalami penurunan ketinggian, yaitu dari 338 meter menjadi 110 meter. Hal ini disebabkan karena erupsi sepanjang tahun 2018 yang mana terjadi puncaknya pada tanggal 22 Desember 2018. 

Tsunami Selat Sunda/bbc.com
Tsunami Selat Sunda/bbc.com

Dilansir dari BBC.com, Gunung Anak Krakatau sempat mengalami puncak erupsi pada tanggal 22 Desember 2018. Puncak erupsi ini mengakibatkan Tsunami Selat Sunda yang mengenai wilayah Banten dan Lampung. Dalam tragedi ini, 400 orang meninggal dunia serta ribuan lainnya terluka dan hilang. Bencana alam ini tentu menjadi perhatian banyak orang terutama letak dari Gunung Anak Krakatau yang berada di laut. Erupsi dan letusan yang diakibatkan oleh Gunung Anak Krakatau dapat saja mengakibatkan terjadinya tsunami kembali. 

Peristiwa Tsunami Selat Sunda merupakan salah satu peristiwa bencana alam Indonesia yang memakan banyak korban jiwa serta menyebabkan kerugian materi. Dilansir dari CNN Indonesia, pada tanggal 21 Desember 2018, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi adanya aktivitas erupsi dari Gunung Anak Krakatau. Hal ini menyebabkan Gunung Anak Krakatau berada pada status level II atau waspada. 

Sebelumnya, sudah ada peringatan gelombang tinggi yang berlaku dari tanggal 22 Desember 2018 hingga 25 Desember 2018. Namun, terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan terjadinya longsor lereng dari Gunung Anak Krakatau sebesar 64 hektare. Sayangnya, sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki oleh BMKG setempat tidak bekerja untuk mendeteksi tsunami akibat aktivitas vulkanik. Oleh karena itu, tidak ada peringatan tsunami .

Dentuman Keras

Gunung Anak Krakatau dikabarkan kembali meletus pada Jumat (10/04). Letusan ini bukan letusan pertama di tahun 2020. Dilansir dari detik.com, Gunung Anak Krakatau terakhir kali erupsi pada tanggal 18 Maret 2020. Pada letusan tanggal 18 Maret 2020, tercatat ketinggian kolom mencapai 300 meter. Sementara itu, letusan pada hari Jumat (10/04) dikabarkan mencapai 200 meter pada erupsi pertama dan 500 meter pada erupsi kedua.Hal ini menyebabkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengeluarkan peringatan untuk tidak mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah. 

Letusan ini tidak mengakibatkan dampak signifikan seperti Tsunami Selat Sunda yang terjadi pada tanggal 22 Desember 2018. Namun, meletusnya Gunung Anak Krakatau disinyalir sebagai penyebab suara dentuman keras yang terdengar di wilayah Jabodetabek. Beberapa media sosial sempat rampai memperbincangkan fenomena ini. Misalnya, dari akun Instagram @depok24jam, suara dentuman keras itu ternyata juga membuat kaca jendela bergetar pada dini hari (11/4). Beberapa warganet juga tampak ikut berkomentar dan mengatakan bahwa suara tersebut terdengar berulang kali.

Unggahan @depok24jam/Dokumentasi Pribadi
Unggahan @depok24jam/Dokumentasi Pribadi

Komentar Warganet/Dokumentasi Pribadi
Komentar Warganet/Dokumentasi Pribadi

Suara dentuman tersebut berhasil mengundang beberapa reaksi dari masyarakat.  Beberapa warganet tampak beramai-ramai memperbincangkan topik ini di media sosial. Hal ini dapat kita lihat melalui kolom komentar dari posting-an akun @depok24jam terkait suara dentuman tersebut. Beberapa akun menyatakan rasa ketakutannya dan ada juga yang penasaran dengan asal suara dentuman tersebut. Sementara itu, dilansir dari detik.com, salah satu warga Pandeglang bernama Endang mengaku tidak begitu panik. Hal ini disebabkan karena semua perhatian berfokus pada virus Corona. Selain itu, suara dentuman juga telah terjadi berkali-kali dalam seminggu. 

Masih Menjadi Misteri

Walaupun sempat menghebohkan masyarakat dan menghubungkan fenomena suara dentuman keras itu sebagai akibat dari letusan Gunung Anak Krakatau, ternyata fenomena suara dentuman keras itu bukan berasal dari letusan Gunung Anak Krakatau. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Hendra Gunawan selaku Kepala PVMBG yang mengatakan jika suara dentuman keras itu tidak ada kaitannya dengan Gunung Anak Krakatau karena erupsi bersifat strombolian dan tidak menghasilkan suara. Hendra mengatakan jika suara dentuman keras itu berasal dari petir yang berada di Gunung Salak. Suara dentuman ini juga terdengar di pos pengamat Gunung Gede dan Gunung Salak.

"Di Pos Gunung Salak mengidentifikasi dentuman petir, tapi cuaca tidak hujan di sekitar pos,"tutur Hendra pada Sabtu (11/04).

Hendra juga menambahkan jika letusan Gunung Anak Krakatau pada Jumat (10/04) juga relatif kecil sehingga mustahil jika mampu terdengar hingga Jabodetabek. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Prof. Dony Kushardono, peneliti utama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) melalui posting-an akun @lapan_ri. Dalam posting-an tersebut, dijelaskan kronologi erupsi Gunung Anak Krakatau yang menjelaskan bahwa suara dentuman keras itu kemungkinan bukan berasal dari letusan Gunung Anak Krakatau.


Sementara itu, Surono selaku ahli vulkanologi dan mantan Kepala ESDM mengatakan jika suara dentuman keras itu dapat saja disebabkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Hal ini terjadi karena suasana yang sepi sehingga dapat didengar jauh dari titik lokasi. Surono menambahkan jika suara dentuman keras tersebut dapat terdengar jauh karena gelombang suara yang bergantung pada tekanan udara. Oleh karena itu, masyarakat Jabodetabek mampu mendengar suara dentuman keras akibat erupsi Gunung Anak Krakatau. 

Suara dentuman keras tersebut masih menjadi misteri hingga hari ini (12/04). Suara dentuman keras tersebut dapat saja bukan berasal dari Gunung Anak Krakatau. Namun, ada kemungkinan juga jikaq suara dentuman keras itu berasal dari letusan Gunung Anak Krakatau. Walaupun begitu, ada baiknya kita tetap waspada terutama di tengah pandemi virus Corona. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun