Kain Tapis khas Lampung bukan sekadar hasil kerajinan tangan. Tetapi juga merupakan wujud nyata dari kekayaan budaya dan filosofi masyarakat Lampung yang telah bertahan dari generasi ke generasi.
Motif-motif khas dari kain Tapis seperti Mata Kibau, Sasap, dan Belah Ketupat. Keberadaannya menunjukkan bagaimana masyarakat Lampung memaknai seni dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu daerah yang masih menjadi tempat untuk memproduksi kain Tapis yaitu Ganjaran,
Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Sistem produksi kain Tapis yaitu
ibu-ibu secara perorangan mengerjakan pembuatan kain Tapis di rumah masing-masing. Sebelumnya mereka diserahi tugas untuk membuat satu motif kain Tapis dan setelah pengerjaan selesai, mereka harus menyerahkan ke galeri. Galeri menjadi tempat untuk memajang dan menjual berbagai macam kain Tapis.
Pembuatan kain Tapis adalah seni yang memerlukan ketekunan dan ketelitian tinggi. Dengan teknik sulam manual, para pengrajin menciptakan karya yang bernilai tinggi. Prosesnya dimulai dengan menyiapkan pembidang, memasang kain dengan paku jamur agar kencang, menentukan motif, dan menyulam benang emas dengan penuh ketelatenan.
Sardini (46), seorang pengrajin kain Tapis mengatakan “Durasi pembuatan kain Tapis sangat bergantung pada tingkat kerumitan motif. Motif yang lebih rapat membutuhkan waktu lebih lama, bahkan bisa memakan waktu berminggu-minggu untuk menyelesaikannya.”
Motif-motif pada kain Tapis tidak hanya mempercantik, tetapi juga menyimpan makna filosofis mendalam. Misalnya, motif Mata Kibau melambangkan kewaspadaan dan kekuatan, sementara motif melati atau keramik melambangkan keindahan dan kesucian. Warisan ini harus terus dijaga agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya tidak hilang ditelan zaman.
Pemerintah dan komunitas lokal telah berupaya menjaga keberlangsungan produksi kain Tapis. Salah satunya adalah dengan menjadikan desa Lugusari, Kecamatan Pagelaran sebagai Sentra Tapis. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi, seperti regenerasi pengrajin dan pemasaran produk ke pasar yang lebih luas.
Harga kain Tapis sangat ditentukan oleh motif, besar kecilnya kain tersebut, penggunaan bahan, serta lama pengerjaan. Meskipun mahal, harga tersebut mencerminkan nilai seni dan usaha yang diinvestasikan oleh pengrajin. Semakin rapat motif maka harga akan semakin mahal. Begitu pula dengan lebar kain, semakin lebar kain maka semakin mahal harga kain.
Dari upaya yang sudah dilakukan pemerintah, besar harapan agar kain Tapis Lampung bisa dikenal hingga ke mancanegara. Dengan demikian, kain Tapis dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi ibu rumah tangga yang ingin produktif. Harapan ini sejalan dengan upaya melestarikan budaya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung keberlanjutan warisan budaya ini. Dengan membeli kain Tapis, mempromosikannya, atau sekadar mengenakannya, kita turut menjaga salah satu mahakarya budaya bangsa agar tetap hidup dan terus dihargai, baik di dalam maupun luar negeri. Semoga kain tapis Lampung benar-benar bisa “Go International” dan menjadi kebanggaan bersama.