Mohon tunggu...
Theresia Batubara
Theresia Batubara Mohon Tunggu... -

I can't stop writting

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergilah Bersama Harmoni

23 Oktober 2013   01:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak tahu kenapa aku ada disini. Yang kuingat sore itu, aku menemukan brosur kecil berwarna merah jambu di sela batu bata di pinggir sebuah gereja tua. Kubaca seksama sambil terus berjalan. Sekarang aku sudah ada disini? Tak terasa. Tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Dulu aku tak pernah suka musik. Aku hanya sekedar senang mendengar lagu-lagu koleksi di telepon genggamku. Satu trauma musik yang pernah kualami, saat kelas satu SMA, aku memperoleh nilai 4 di mata pelajaran kesenian musik. Akulah satu-satunya siswa yang harus remedial kesenian di kelas favorit itu. “Apa aku terlalu bodoh kalau Kesenian saja harus remedial? Loh, kenapa bukan remedial matematika atau fisika?” Mulai saat itu aku selalu mengira, bahwa manusia berjiwa musik itu adalah mahluk-mahluk jenius. Buktinya aku menjadi ranking terakhir di kelas Enstein itu. Perkataan mama pun tak juga mengubah perasaanku yang cemberut. “gak apa-apa toh nak, menjadi yang terakhir diantara orang-orang pintar.”

Remedialnya mudah saja, menggambar alat sebuah alat musik dan membuatnya di dalam frame kaca. Bukan remedial menurutku. Tiga tahun setelah kenangan itu, aku ada di sebuah ruangan lapang yang yang di dindingnya banyak foto-foto orang berderet rapi, berseragam serupa. Mereka tersenyum, mungkin mereka sangat menikmati musik? Atau mereka hanya senyum karena di paksa?

Aku ada disini sepertinya untuk perbaikan nilaiku sewaktu SMA dulu. Yang kulakukan saat ini men-transkrip sebuah lagu klasik karya Randall Thompson. Sepertinya aku lancar-lancar saja. Ya, lancar-lancar saja, bukan berarti bisa dan sudah sangat mahir, kurasa karena aku mengerjakannya tanpa beban. Aku lebih menikmatinya daripada saat di SMA dulu.

Aku bersyukur kehadiranku di ruangan ini tidak dihalangi oleh trauma nilai kesenian itu. Justru nilai 4 itu telah menghantarkanku ketempat ini. Kalau saja aku tak mendapat nilai buruk waktu itu, pelajaran mengubah not balok menjadi not angka kali ini tak tak lebih berkesan dari pada makan bakso yang sama untuk ke-seratus kalinya. Terkadang aku berfikir, kenapa bukan tempat ini dulu yang kujalani, lalu ‘ujian’ itu?

“aku gak pernah nyuruh kalian untuk jadi ahli musik dan guru musik. Aku hanya minta supaya kalian biasa menikmati musik, mengerti teknik bernyanyi dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang musik.” Ya, that’s it. Musik itu bukan karena nilai, musik itu bukan untuk nilai, musik itu dari hati, dan untuk hati. Kita belajar harmoni, kepaduan dan keindahan. Aku suka itu jauh lebih suka daripada pelajaran kesenian SMA dulu.

Disamping itu, aku juga suka dia. Dia? Coba lihat di pojok sana. Dia sedang sibuk sendiri mengutak-atik kertas yang ada di tangannya. Gayanya dari hari ke hari selalu sama, polos, sederhana. Tetapi ia bersinar, senyumnya yang pelit itu menaikkan selera makanku. Tatapan matanya yang ngatuk, bisa membuatku berbinar-binar. Namun ia sangat pelit, bahkan untuk mengatakan ‘hai’. Tetapi biarlah. Melihatnya dari kejauhan saja aku sudah senang.

Kulanjutkan lagi tugasku yang belum selesai itu. Aku terlarut dalam melodi yang sebenarnya belum terlalu ku pahami. Ku hapus, ku tulis lagi, aku kembali sibuk memperbaikinya. Keheningan pecah setelah pensilku jatuh ke lantai, segera kuambil, tetapi tak bisa. Sekarang pensil itu ada dibawah kaki seseorang. Beraninya ia menginjak pensilku dengan sengaja. Marahku itu meleleh seketika, setelah aku sadar lelaki di pojokan itu lah yang sedang berdiri di depanku dan menatapku. Oh Tuhan, Dia membuatku meleleh dalam kebekuaan, dan membuatku kepanasan dalam suhu minus.

“Kenapa masih disini? mengapa kau belum pulang?” tanyanya.

“Ia. Ini udah mau pulang.”

“Ayo pulang sama.” Lelaki polos yang ku kagumi itu tiba-tiba berubah akrab.

“Eee” aku tergagap-gagap. Kuraih tasku dengan cepat sambil menetralkan suhu tanganku yang sedang ditariknya itu. “e, eh, tunggu.”

“Raina… Raina… Raina… Raina…” mengapa ada seseorang yang terus memanggilku dengan berteriak terus menerus? Hei aku tidak pekak sehingga kau harus memanggilku dengan teriakan radius jauh seperti itu. Hei mengapa kau terus memanggilku, aku harus segera pulang dengan bersama lelaki berkarisma ini, laki-laki yang menarik tanganku ini.

“Raina.. bangun, bangunlah.”

Hah? Ternyata aku cuma mimpi. Tetapi tak megapalah setidaknya aku pernah berada sangat deket dengan Reza seorang guru vokal dan gitar yang ada dalam mimpiku itu. Aku masih berharap itu bisa menjadi nyata.

“Raina kok kamu susah baget sih di bangunin. Dari sejam yang lalu kakak udah manggil-manggil kamu. Kamu tidur kok kayak mayat ya?” Aku hanya membalas omelan kakakku itu dengan senyuman bangun tidur. Aku bergegas mandi, bersiap pergi ke swalayan.

Kring-kring suara telepon genggamku bordering. Ku jawab telepon itu. Mendengar tuturan kata-kata seorang temanku di ujung telepon, raut mukaku berubah ruam. Setelah itu, air mataku tak berhenti seharian. Seperti es kutub yang dipanaskan dengan suhu tinggi, meleleh habis.

Air mata ini beralasan. Bagaimana aku bisa tetap tenang di saat dia yang baru saja hadir di mimpiku, dia yang baru saja kau kenal dan kagumi, kini telah tiada. Ia telah pergi. Ia baru saja meninggalkan kami untuk selamanya. Belum lama, setegah jam yang lalu, saat aku baru saja bangun tidur.

Aku belum bisa menerima kenyataan bahwa mimpi itu adalah pertemuan terakhihku dengannya, sang genius, penikmat musik sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun