Saat itu, lima belas tahun lalu, belum dibagi zona satu dan zona dua. Jadi satu tiket masuk untuk semua. Juga tidak dibedakan harga pelajar dan harga umum.
Saya mulai menghitung, Â bertiga 60 Dollar, 1 dollar lebih dari satu juta. Saat itu 15 tahun lalu dollar lebih tinggi dari euro.
Mungkin karena kaget, sedikit emosi dan anak- anakpun belum mengerti benar mengapa harus berpanas- panas naik ke candi Borobudur, kami putuskan untuk tidak membeli tiket.
Akhirnya kami putuskan untuk berjalan-jalan saja di luar pagar dan menikmati candi Borobudur dari kejauhan.
Setelah capek jalan-jalan di sekitar candi, kami mampir ke rumah simbah di Blabak. Di sana anak-anak bergembira boleh memancing gurami di kolam ikan.
Kekecewaan tidak masuk dan naik ke candi  Borobudur pun terobati.
Rela membayar 25 dollar
Liburan berikutnya, anak- anak sudah lebih besar dan lebih mengerti dan dari rumah sudah berniat, biarpun harganya 20 kali lipat dari harga mama. Kami  naik ke candi Borobudur dengan diterangkan Guide.Â
Setelah anak- anak besar dan menikmati candi Borobudur dengan diterangkan Guide, anak-anakpun bilang, "Mama lohn sich, 20 dollar, Borobudur ist so wunderschoen ". Yang artinya, Mama 25 dollar seimbang , Borobudur sungguh indah"
Saat ini, bila kami pulang selalu ke candi Borobudur dan  Prambanan, meskipun cicitnya mbah Salam harus membayar 25 dollar, harga saat ini.
Anak- anak dan kamipun begitu mengagumi dan bangga dengan candi Borobudur yang indah megah dan terpelihara baik.
Kadang kami saling meledek, karena saya yang berpaspor hijau membayar hanya 50 ribu rupiah, melalui loket sederhana. Loket wisatawan asing, di mana- anak- anak dan suami antri, antriannya tidak panjang, lebih adem, mungkin dengan AC dan mendapat soft drink dan dengan alunan musik.Â