Mengikuti Perayaan Kamis Putih
Baru saja saya masuk rumah, pulang dari perayaan misa Kamis Putih, orang Jerman menyebutnya Gruendonnerstag. Perayaan perjamuan terakhir Yesus bersama dua belas muridnya. Saat-saat terakhir Yesus bersama dengan muridnya, sebelum ditangkap, diadili, disiksa, memanggul salib dan wafat, kemudian bangkit.
Gereja tidak penuh, meskipun di Jerman sudah mulai normal kembali, tetapi setiap bangku masing-masing tetap menjaga jarak 1 meter bila bukan anggota keluarga. Kami semua masih mengenakan masker.
Sebelum memulai misa, Romo Barthon, romo paroki kami mengatakan syukur bahwa akhirnya boleh misa bersama umat.
Dua tahun lalu saat pandemi baru mulai, Romo merayakan misa seorang diri. Berdiri di Altar seorang diri. Sedih dan berat, begitulah kata Romo Barthon. Syukurlah saat ini boleh misa bersama umat.
Pada hari-hari pekan suci yang di mulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, dan nanti Minggu Paskah, semua bacaan kitab suci mengingatkan saya saat mendapat kesempatan ke kota tua Yerusalem.
Kesempatan ke Tanah Suci YerusalemÂ
Tempat-tempat kudus yang disebutkan dalam bacaan kitab suci setiap hari menjadi hidup dan nyata.
Minggu Palma, saat Yesus dielu-elukan di Yerusalem. Saat Yesus mengadakan perjamuan terakhir di Yerusalem.Â
Bukit Zaitun, saat Yesus berdoa pada Bapa-Nya dalam sakratul maut. Istana Pilatus, saat Yesus diadili, disiksa, dan dimahkotai duri. Via Dolorosa, jalan- jalan di kota tua Yerusalem saat Yesus memanggul salib, tiga kali terjatuh, dihina dan dicela. Hingga sampai ke Bukit Golgota di mana Yesus disalibkan.
Semua riil dan nyata. Sekali lagi saya tekankan, saya sungguh bersyukur, indah tak terkatakan.
Sesak rasa di dada saat melihat batu besar di Taman Zaitun, di mana Yesus berdoa di situ. Terbayang Yesus sangat sedih, takut dan duka yang sangat dalam, sehingga mengeluarkan keringat darah.
Batu tersebut masih ada. Separuh dibiarkan berada di luar, di Taman Zaitun dan sebagian lain ada di dalam gereja segala bangsa.
Taman Zaitun, dengan pohon- pohon zaitun atau oliven. Ibu Ayala, guide berkebangsaan Israel dari suku Lewi menerangkan bahwa pohon zaitun tidak akan pernah mati meskipun ditebang. Berarti, pohon zaitun besar dan tua di kebun tersebut kemungkinan besar sudah ada sejak jaman Yesus.
Ibu Ayala menunjukkan jalan setapak berbatu- batu menuruni Bukit Zaitun ke kota tua Yerusalem yang dibiarkan tetap seperti apa adanya tidak diperkeras dengan aspal. Dibiarkan sama seperti dulu saat Yesus menapaki jalan tersebut.
Rombongan ziarah kecil kami yang hanya terdiri dari delapan peserta, sangat luxus dan intensif karena kami bisa mendengarkan dan bertanya langsung dengan guide yang menerangkan dengan baik sekali.
Saat kami menuruni Bukit Zaitun, kami boleh memilih naik mobil atau jalan kaki. Tentu saja beberapa dari kami yang masih kuat memilih jalan kaki. Kami sengaja jalan kaki untuk merasakan roh tempat-tempat bersejarah tersebut.
Tanah coklat berbatu- batu, di kiri kanan pohon zaitun, pohon delima di pagar-pagar rumah penduduk Yerusalem.
Menunggu di Depan Pintu Gerbang Kota Tua Yerusalem
Setelah beberapa waktu berjalan, kami sampai ke pintu gerbang kota tua Yerusalem. Gerbang dengan tembok tebal kuat dan pintu gerbang yang sempit untuk ukuran saat ini.
Sebelum masuk ke kota tua Yerusalem, kami menunggu Ayla, guide kami. Sambil menunggu kami melihat situasi di tempat tersebut.
Terlihat banyak orang- orang muda tentara, baik itu pria dan wanita. Meskipun tentara tampang mereka ramah dan tidak seram.
Bahkan mereka mau berfoto dengan kami.Â
Teringat kisah temanku di Jerman, orang asli Israel. Sowa cerita, wajib militer bagi kaum muda Israel merupakan kewajiban.Â
Mereka dengan senang hati dan bangga melakukannya, boleh ikut serta membela negara. Sowa bercerita pula, bahwa meskipun bangga, sebagai ibu, ia merasa sedih dan was- was, anaknya menjalani wajib militer.
Kembali ke perziarahan kami ke kota tua Yerusalem. Kami masuk melalui gerbang sempit tersebut, begitu sempit sehingga hanya satu mobil bisa lewat, sehingga mobil bergantian masuk atau keluar gerbang tersebut. Kami pejalan kaki bisa masuk dengan leluasa.
Saat kami ada di sana, terlihat banyak anak- anak sekolah sedang study tour dengan gurunya.Â
Rumah Perjamuan Saat Ini Merupakan Masjid
Tujuan pertama kami, di rumah di mana perayaan perjamuan terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya. Perayaan yang saat ini disebut Kamis Putih oleh umat katolik di Indonesia dan Gruendonnestag oleh orang Jerman.
Rumah ini masih ada saat ini dan beralih fungsi sebagai masjid. Meskipun demikian, kami boleh masuk, melihat dan merasakan tempat kudus tersebut.
Di tempat ini aku diam merenung, dan merasakan.
Di tempat ini, Yesus merayakan perjamuan Paskah dengan murid- muridnya. Di tempat ini Yesus mengadakan perjamuan terakhir.Â
Di tempat ini Yesus, memberikan Sakramen Ekaristi. Di tempat ini Yesus memecah-mecah roti dan membagikannya pada murid- muridnya.
Yesus Membasuh Kaki
Di tempat ini Yesus membasuh kaki ke dua belas muridnya. Membasuh kaki, sampai saat ini jujur aku masih sulit untuk mengerti dan meneladaninya.Â
Yesus yang Guru, Yesus yang seratus persen Tuhan dan seratus persen manusia itu jongkok  dan membasuh kaki murid-muridnya.
Tidak heran kalau Simon Petrus, salah satu dari muridnya menolak. Aku bayangkan, aku pun pasti akan memberikan reaksi yang sama, menolak.Â
Kaki di mana selalu menginjak tanah yang kotor, mungkin bau karena lembab dalam kaos kaki dan sepatu yang tertutup. Kaki tersebut dibasuh oleh Yesus, guru dan tuhan. Tetapi Yesus jongkok membasuh dan mengelapnya.
Oh teladan yang amat indah dalam dan sulit.
Yesus mengatakan, "Mengertikah kamu apa yang telah ku perbuat kepadamu? Kamu menyebut aku guru dan tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang akulah guru dan tuhan. Jikalau aku, tuhan dan gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki, sebab aku telah memberikan teladan padamu, supaya kamu juga berbuat seperti yang telah kuperbuat kepadamu.(Yohanes 13:15)
Teladan kerendahan hati. Dalam membasuh kaki Yesus merendahkan diri serendah- rendahnya. Aku pengikut-Nya pun harus demikian, memiliki kerendahan hati.Â
Dalam membasuh kaki ada kasih, tanpa kasih kerendahan hati itu tidaklah mungkin. Dalam membasuh kaki ada pemberian diri yang total. Dalam membasuh kaki ada pelayanan yang total pula. Dalam pembasuhan kaki ada pengampunan.
Pada akhirnya Yesus berpesan pada muridnya, "Hendaklah kamu saling mengasihi, seperti aku mengasihi kalian."
Pesan ini aktual, sangat aktual saat ini. Hanya kasih satu-satunya cara mencapai perdamaian dan semua permasalahan. Kasih dan kerendahan hati.
Salam hangatÂ
Dietzenbach, 15 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H