Mohon tunggu...
Theresia Iin Assenheimer
Theresia Iin Assenheimer Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari dua putra

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Temanku Sara, Pengungsi Afghanistan

21 September 2021   05:32 Diperbarui: 23 September 2021   04:03 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Afganistan von La Legion/Koleksi pribadi

Setiap hari aku bekerja bersama-sama dengan  temanku, sebut saja Sara. Dia memakai kerudung, menandakan kalau Sara wanita muslim. Meskipun namanya menurutku bukan nama muslim. Saya pernah menanyakan, namamu bagus, mengapa namamu Sara. Dia bilang, ya ibuku suka dengan nama itu, maka aku diberi nama Sara  tanpa mencari tahu arti nama itu, katanya dengan berbinar.

Dia tinggal sekampung denganku, jadi pulang pergi kerja sering bersama-sama satu kereta dan menunggu kereta sama-sama. Pada awalnya aku  tidak pernah mengira kalau Sara, wanita Afganistan.  Aku selalu mengira Sara wanita Marokko,karena  aksen bicara dan gayanya seperti temanku wanita Marokko, Saida, namanya.  Menurutku mereka berdua mirip, meskipun yang satu dari Afganistan yang satu dari Marokko. Dua-duanya cantik putih, sangat  feminim.  Aku suka dua-duanya memiliki rambut panjang bergelombang yang selalu disembunyikan dibalik kerudungnya. Aku suka mengamati saat mereka menyisir dan merapikan rambutnya dan memasang kain kerudungnya, diruang  ganti wanita saat mereka berganti baju seragam. Saida dan Sara dua teman kerjaku yang cantik dan mirip tapi toh berasal dari negri berbeda.

Akhir-akhir ini berita - berita di koran-koran, televisi dan radio dipenuhi berita tentang Afganistan.  Menurut cerita  di bawah kekuasaan Taliban, wanita tidak memiliki kebebasan terutama untuk belajar dan masih banyak pembatasan lagi.  Mendengar berita-berita semacam itu terus terang saya ikut sedih dan prihatin.
Sejak Agnanistan jatuh ketangan Taliban, saya ingat teman-teman Afganistaku. Aku hanya mau menyampaikan  ikut prihatin dan menanyakan keluarganya di Afganistan semoga baik-baik saja.

Kembali ke Sara, suatu saat kami pulang kerja bersama-sama dan kebetulan kereta datang terlambat hampir satu jam. Dalam kesempatan menunggu ini aku bertanya"Sara dari mana berasal" ya ampun aku kaget, seperti telah saya tulis di atas, selama ini saya mengira Sara dari Marokko.  Saya langsung bertanya bagaimana keadaan keluarganya. Aku tanyakan apakah boleh mendengar kisahnya sehingga sampai ke Jerman? Kalau tidak keberatan, karena saya tahu tidaklah mudah untuk membuka lagi kisah yang menyedihkan.

Sebelum mulai bercerita, Sara menghela nafas panjang, matanya jauh menerawang. Saya kasihan dengan gadis  ini, aku peluk dan  aku usap punggungnya, „Sudahlah,  kalau kamu tidak mau cerita,tidak apa- apa lain kali saja "kataku kasihan melihat reaksinya. Sara bilang  „ Tidak, saya akan cerita, saya senang kamu mau mendengar cerita perjalananku ke Jerman" Sambil menghela nafas Sara mulai bercerita.

1.Kampung halaman Sara

Dia cerita, lima tahun lalu, dia masih berumur 15 tahun, usia muda sekali, anak ke dua dari empat bersaudara, satu-satunya wanita. Kakak laki-laki dan dua adik laki-laki. Sara bersama ibu, bapak dan dua adik laki-lakinya,  tinggal di suatu desa jauh dari Kabul. Di rumahnya di Afganistan tidak ada signal, apa lagi signal, listrik dan air ledengpun tidak ada. Air harus mengambil dari sumur, 50 meter dari rumahnya. Handy tentu saja tidak punya.

2.Sekolah Sara

Saya mulai menanyakan, apakah dulu di Afganistan pergi ke sekolah? Dia mengiyakan „Ya  saya pergi kesekolah, dan saya senang sekali ke sekolah.“ „Saya  suka membaca dan suka belajar„. Dengan mata berbinar dia bercerita, seakan-akan masa bahagia di Afganistan di depan mata. Dia bahagia di sekolah, meskipun setiap hari harus berjalan kaki 3 kilometer berarti 6 kilometer pulang pergi.  Dia bercerita di sekolah dia harus belajar bahasa Dari atau bahasa Persia Afgani dan  bahasa Pashtun. Saya menanyakan :“Bahasa  apa yang digunakan sebagai bahasa nasional? „ Dia bilang :“Dua-duanya“. Jadi di sekolah diajarkan dua bahasa itu.  

3.Informasi dari luar

Saya tanyakan, kalau tidak ada signal  di rumahnya , bagaimana informasi dari luar bisa diterima? Dia bilang, mungkin karena dia masih kanak-kanak jadi dia tidak mendengar kabar di luar dan belum tertarik dunia luar. Bapaknya yang seorang pelaut itu kalau kebetulan pulang ke rumah selalu mendengarkan radio. Dari radio itu bapaknya dan seluruh keluarga mendengar perkembangan situasi di luar rumahnya.

4.Alasan meninggalkan kampung halaman

4.1. Pendidikan anak-anak.

Suatu saat keadaan makin genting, dan tidak aman. Teman sekolah Sara  pulang sekolah hilang dalam perjalanan pulang  dan tidak pernah sampai dirumah. Orang tua Sara takut dan melarang anak-anaknya pergi ke sekolah. Sara menangis  berhari-hari ingin sekali pergi ke sekolah. Kalau kebetulan papanya tidak melaut, mengantar anak-anak pergi ke sekolah. Tetapi papanya tidak selalu di rumah dan antar jemput anak-anak kesekolah.
Sara mengatakan mungkin ini juga alasan mengapa papanya bertekat pergi dari  kampung halamannya, supaya anak-anak bisa mengenyam pendidikan dengan tenang, tanpa rasa takut. 

4.2. Kakak Sulung ditembak Taliban.

Suatu siang, Sara, kakak dan adiknya baru pulang dari sekolah, di rumah telah menunggu beberapa orang laki- laki. Mereka bicara dengan bapaknya, orang-orang itu mau menjemput kakaknya yang mulai dewasa untuk ikut menjadi tentara Taliban. Bapaknya tidak mengijinkan dan kakaknya diam - diam melarikan diri dari pintu belakang. Tetapi beberapa orang dari Taliban  mengetahuinya dan menembak kakaknya.

Bapaknya marah dan tidak bisa berbuat apa-apa, ibunya menangis histeris, menyaksikan anak sulungnya ditembak. Saat menceritakan ini airmata Sara mengalir, dadanya sesak, tetapi terus bercerita. Aku  peluk Sara, saya biarkan dia menangis. Aku bisikkan pada telinga Sara: Menangislah, mungkin akan merigankanmu, sambil aku peluk dan aku genggam tangannya.

Sara bilang mungkin ini yang mendorong bapak dan ibunya mengungsi ke Jerman. Dia tidak mau menyerahkan dua anak laki-laki lainnya yang masih hidup menjadi tentara Taliban dan tidak mau menyerahkan anak perempuan satu-satunya dinikahkan dengan orang Taliban.

Sara bilang seandainya aku di Afganistan, pasti aku telah menikah dan memiliki paling tidak dua anak. 

Sara bilang, dia bersyukur bisa bercerita dan menjadi lebih ringan. Mungkin saking sedihnya bapaknya tidak bisa bercerita, cuma kadang- kadang diam- diam menangis.

Ibunya jarang bercerita, tetapi kalau kesedihan yang mendalam muncul kadang epilepsi datang, kasihan, sekali.

5. Malam Pengungsian

Suatu malam bapak dan ibu sara meminta supaya mengepak baju kemudian sekeluarga pergi meninggalkan rumah dan kampung halaman tercintanya. Sara tidak tahu mau pergi ke mana, bapak dan ibu Sara merahasiakan rencana pengungsian mereka. Mereka takut ada orang yang tahu rencana mereka, anak-anakpun tidak  diberitahu supaya tidak sengaja membocorkan rencana pengungsian mereka. 

Perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tidak pernah sebelumnya Sara mengalami perjalanan mobil selama itu. Baru  sadar bahwa perjalanan ini bukan perjalanan mengunjungi saudara di suatu tempat seperti biasanya,  tetapi perjalanan pengungsian yang panjang.

6. Rute Perjalanan pengungsian

Dari Afganistan dengan mobil menuju Turki melalui, Iran, Irak, Syria   dan akhirnya sampai di Turki. Sara bercerita, merupakan perjalanan yang amat sangat berat dan melelahkan. Sara bilang berkali-kali hampir saja mati. Pernah di dalam mobil yang sebenarnya cukup untuk 5 orang diisi sampai 12 orang, sampai di bagasipun berisi manusia. Pada saat naik mobil yang sesak ini, hampir-hampir dia tidak bisa bernafas lagi.
Sara bilang "Matilah aku, aku tidak kuat lagi" Saat-saat seperti ini Sara ingat kata-kata bapaknya. „Tuhan  selalu ada dan tidak pernah meninggalkanku  sendiri, mati dan hidup di tangan Tuhan, kalau saatnya  belum tiba, sesulit apapun engkau akan hidup" Kata-kata ini Sara pegang terus. 

Suatu saat mereka harus berjalan menanjaki tebing batu terjal penuh salju. Sara dan adik-adiknya merasa bahwa kakinya  berdarah-darah. Ternyata bukan berdarah tetapi karena terlalu dingin berjalan di atas salju dan kehilangan sepatu, sehingga mati rasa.

Setiap kali Sara menangis ingin pulang, tetapi adik-adik laki-lakinya selalu bilang, aku akan terus meneruskan perjalanan ini, terus sampai di Jerman atau mati.

Pada saat sulit ini Sara ingat kata-kata bapaknya dan ingat bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendiri.

Akhirnya Sara dan keluarganya sampai di Turki. Di Turki  polisi  sudah menghadang dan menghunuskan senjata panjang ke arah Sara, Sara menjerit ketakutan, saat itu dia merasa kematiannya sudah dekat sekali. Lagi-lagi Sara ingat, hidup mati di tangan Tuhan. Pada akhirnya polisi  membiarkan mereka pergi.

7.Naik kapal karet menuju Italia

Dari Turki dengan kapal karet menuju Italia. Kapal penuh sesak, tetapi tetap berangkat. Pada mulanya lancar seperti biasa tetapi kira- kira dua jam kemudian, kapal karet itu  berhenti dan mati. Ternyata kapal itu kehabisan bahan bakar. Kapal terkatung-katung seharian dan akhirnya ditolong oleh penolong dari Italia.

8. Dari Italia menuju Jerman

Di Italia mereka ditampung di kamp pengungsi Lampedusa. Sangat beruntung keluarga Sara tidak terlalu lama menunggu urusan perijinan sebagai pengungsi dari Lampedusa Italia ke Jerman. Akhirnya dari italia dengan beberapa pengungsi lain menuju Jerman.

9. Tinggal di kamp pengungsi di Dietzenbach

Akhirnya Sara tiba di Dietzenbach, sebagai pengungsi. Kamp pengunsi tidak jauh dari rumah kami. Di kamp pengungsi Sara dan semua pengungsi diwajibkan belajar bahasa Jerman. Setelah 6 bulan belajar bahasa Jerman Sara boleh masuk ke sekolah.

Saat ini sara masih terus sekolah dan telah menyelesaikan Real Schule, Real Schule setingkat SMA kejuruan dan saat ini sedang menyelesaikan Ausbildung, atau semacam progran diploma di bidang perdagangan di Supermarket dimana kami bekerja.

10.Hidup mapan di Jerman

Saat ini Sara dan keluarganya telah hidup mapan, kedua adik laki-lakinya juga bersekolah, tinggal di Apartemen tidak di kamp pengungsi lagi. Papanya mendapatkan kursus menyetir bus dari pemerintah Jerman dan  menjadi sopir bus. 

11. Kecemasan keluarga di Afganistan

Keluarga di Afganistan  cemas, kalau di Jerman tidak bisa lagi menjalankan agama yang di anutnya. Sara bilang ternyata tidak, di Jerman masih tetap bisa menjalankan kepercayaannya. Di kampung kami terdapat 3 masjid, masjid Tawhid, mesjidnya orang Turki, Bait-ul-Baqi, mesjidnya orang Marokko dan Masjid Fatih, mesjidnya orang Pakistan. 

Karena pengalaman perjalanan pengungsian yang keras , iman Sara menjadi lebih kuat, percaya bahwa semua ini karena pertolongan Tuhan, sehingga semua menjadi baik.

12. Hal-hal yang indah dan membuat rindu akan afganistan.

Saat-saat yang membahagiakan dia dan membuat dia rindu Afganistan, adalah saat-saat lebaran. Lebaran di Afganistan bersama sanak keluarga besar yang kadang-kadang dia kehilangan. Saat ini  Sara bersyukur, ada di Jerman ,  akan terus belajar dan tidak mau kembali ke Afganistan lagi.

Tiba-tiba suara dari pengumuman bahwa kereta dari Frankfurt menuju Dietzenbach segera tiba. Kami berdua segera meloncat dalam kereta.
Sara berterimakasih boleh bercerita dan saya amat berterimakasih boleh mendengar kisahnya. 

Sebelum berpisah saya peluk lagi gadis cantik itu, sebagai ucapan terimakasih dan bangga atas ke gigihannya. Sara gadis Afganistan  cantik dan pintar.

Dietzenbach, 21 September 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun