Saya tinggal di Dietzenbach suatu desa 15 Kilometer dari Frankfurt. Â Terletak di negara bagian Hessen. Banyak pendatang tinggal di kota kami, lebih dari 40 bangsa dengan berbagai agama dan kepercayaannya.Â
Karena itu di kota kami  Selain gereja Katholik dan gereja Protestan,  terdapat tiga masjid. Fatih Moschee merupakan masjidnya orang - orang Turki, Tawhid Moschee merupakan masjidnya orang-orang Maroko dan Bait ul-Baqi merupakan masjidnya orang - orang Pakistan.Â
Teman-teman kerjaku selain orang-orang Jerman, orang-orang Polandia, Itali, Afganistan, Turki dan Maroco. Teman-teman Turki, Maroco orang Muslim dan mereka pada bulan Ramadhan ini berpuasa. Sedangkan temanku orang Afganistan beragama Hindu. Aku heran, saya kira semua orang Afganistan beragamaa Islam, ternyata tidak. Â
Suatu saat temanku yang orang Turki mengundangku untuk berbuka puasa, kami berenam semua ibu-ibu dan putrinya, sedangkan bapak-bapak dan putranya pergi ke Mesjid.
Sebagai makanan pembuka kami makan sup Linsen, kemudian Yaprak Sarmasi atau daun anggur gulung diisi dengan nasi, Bulgur salat, Kirchen salat, salat mentimun dengan keju domba, oliven dan bergedel panggang berbentuk pipih panjang dari daging sapi dicampur danging kambing,roti putih bundar besar  atau Dönner dan Lahmacun atau pizanya orang Turki. Hmm..semua enak.Â
Saya sungguh menikmati keramahan dan lesatnya masakan Turki. Â Ada beberapa kemiripan kebiasaan Turki dan Indonesia. Hal ini sungguh menyenangkan dan terasa sebagai saudara, meskipun Indonesia dan Turki begitu jauh. Hal-hal yang mirip dan membuatku semakin kerasan di tengah-tengah keluarga Turki tersebut.
1. Menyuguhkan teh dengan nampan.
Pada saat sahabatku menawarkan teh saya langsung mau. Sore hari sesudah seharian puasa diawali dengan teh hangat di udara musim semi yang belum hangat, teh hangat sangat nikmat.Â
Pada saat tuan rumah, Filiz temanku membawa nampan berisi gelas teh, gelas kecil khusus untuk teh ala Turki, aku heran dan senang, karena cara menyuguhkan teh dengan nampan mirip sekali di tanah air.Â
Spontan aku bilang "oh...seperti di Indonesia, menyuguhkan teh dengan nampan" Temanku menjawab senang "oh ya, seperti di Indonesia?" aku bilang "ya....mirip sekali" temanku senang juga bahwa hal sederhana ini membuat aku seakan di rumah, seakan di tanah air.
2. Duduk di lantai
Pada saat kami minum teh kami duduk di sofa sambil cerita-cerita tentang Indonesia tentunya juga tentang Turki. Menyenangkan sekali menceritakan bagaimana Ramadhan di Indonesia.Â
Pada saat makan tiba, mereka menawarkan mau duduk dan pindah di meja makan atau tetap di sofa saja. Aku sebagai tamu ikut saja, bagaimana kebiasaan keluarga. Akhirnya diputuskan tetap di ruang tamu dan makanan di atur di meja tamu saja. Akhirnya kami duduk di lantai diatas karpet tebal.Â