Diary, di hari yang cerah langit biru, matahari bersinar terang, hamparan salju, sungguh menawan, tetapi dingin menusuk tulang, aku lihat temperatur di Handyku menunjukkan suhu minus 5 derajad.
Aku dan berberapa orang Indonesia dan beberapa orang Jerman, teman-teman ibu Nina mengantar ke liang lahat. Ibu Nina seorang pensiunan perawat di suatu rumah sakit di Frankfurt. Dia datang ke Jerman awal tahun 1970 an, lahir dan menempuh pendidikan perawat di Palembang.Â
Sekitar tahun 1970 banyak perawat-perawat dari Indonesia datang ke Jerman atas undangan pemerintah Jerman, untuk bekerja, karena kekurangan tenaga perawat di rumah -rumah sakit.Banyak dari mereka menikah dengan orang Jerman, menikah dengan orang Indonesia atau bangsa lain dan ada yang tidak menikah. Ibu yang baru saja meninggal itu ibu  Nina (bukan nama sebenarnya) tidak menikah. Â
Ibu Nina merupakan salah satu dari orang Indonesia yang meninggal sendirian. Aku katakan orang Indonesia, karena orang Jerman lebih banyak lagi. Ibu Nina adalah Orang Indonesia ke empat yang aku kenal, meninggal dalam kesendirian, 2 di antaranya di apartemennya dan tidak segera ketahuan , 2 yang lain di rumah sakit.
Ketahuan setelah temannya menelpun tetapi tidak diangkat, di bel di apartemen atau rumahnya, tidak dibukakan pintu. Akhirnya temannya  memanggil polisi untuk dibuka dengan paksa dan ditemui sudah meninggal. Dari sini aku melihat betapa pentingnya suatu persahabatan.Â
Di Jerman  di negri orang, tanpa suami tanpa anak-anak, pada akhirnya teman dekatlah saudarannya. Teman dekatlah yang mengunjungi saat sakit dan saat kematiannya. Apalagi di masa pandemi, saudara dari Indonesia tidak bisa segera mendapatkan visa dan datang untuk mengunjungi.
Beruntung Ibu Nina punya sahabat baik ibu Ria (bukan nama sebenarnya). Ibu Ria sahabat baik ibu Nina sungguh orang baik, dia mengurus sejak masih belum sakit. Ibu Ria menjadi Patientenverfügung, atau dengan kata lain, mendapat kepercayaan dari ibu Nina, seandainya terjadi hal-hal penting yang berhubungan dengan dokter & penyakitnya , ibu Ria  ini yang memutuskan, apa bila ibu Nina atau orang yang sakit tidak bisa berkomunikasi lagi. Pendeknya menjadi partner bicara dokter.
 Suatu sore hari Ibu Ria dan saya baru saja mengunjungi teman lain yang sedang sakit, sebelum pulang kami mampir di rumah makan China yang kebetulan milik orang Indonesia jadi kami ngobrol sampai malam. Tiba-tiba Handy ibu Ria berdering, ibu  Nina menelpon ibu Ria. Ibu Nina kesakitan dan di rumahnya tidak ada obat lagi.
Saat itu ibu Nina sudah mulai sakit, tetapi belum parah dan belum ditemukan penyakitnya.Segera malam itu juga aku antar mencari apotek jaga, untuk membeli obat ibu Nina. Di sini aku melihat sahabat itu sangat penting. Saling menolong dalam kesulitan.
Hari ini ibu Nina telah pergi, tidak merasakan sakit lagi. Ibu Ria yang sudah janda itu, suaminya meninggal 2 tahun lalu tidak lagi harus naik bus dan Strassenbahn untuk mengunjungi ibu Nina di rumah sakit. Dengan penuh kasih ibu Ria mengunjungi sahabatnya, kadang membawa mie goreng , empek-empek, buatan sendiri kesukaan  ibu Nina.Â
Sekarang urusan apartemen  ibu Nina, surat-surat dengan asuransi-asuransi yang banyak itu, asuransi kesehatan, asuransi hari tua,asuransi pensiun, dan masih banyak surat-surat lagi yang ibu Ria masih harus kerjakan.Â