Mohon tunggu...
Theresia Pietra Maharani
Theresia Pietra Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Subsidi BBM untuk Nelayan

1 Juni 2024   09:47 Diperbarui: 1 Juni 2024   09:52 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 1: Data jumlah nelayan Indonesia. Sumber: katadata (2022)

Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga tak heran jika banyak dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Demi melindungi nelayan local, pemerintah menciptakan Undang-Undang No 7 Tahun 2016 yang berisi tentang perlindungan nelayan dengan pembuatan stasiun pengisian bahan bakar hingga kemudahan akses pada bahan bakar, salah satunya dengan memberikan subsidi BBM.

Pemerintah lebih lanjut menuangkannya dalam Perpres No 191 Tahun 2014 dimana nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran maksimum 30 Gross Ton ke bawah berhak mendapat subsidi solar setelah melakukan verifikasi dan mendapat surat rekomendasi dari Kepala Pelabuhan atau Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah karena menurut Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA), sebanyak 90% nelayan berada dalam kategori nelayan kecil yang menghabiskan penghasilannya sekitar 60-70% pada bahan bakar untuk melaut. Tentunya hal ini berpengaruh pada taraf kehidupan nelayan Indonesia yang 11.34% hidupnya berada dibawah garis kemiskinan akibat menghabiskan penghasilannya pada bahan bakar.

Terdapat tiga kategori nelayan, diantaranya: Yang pertama yakni nelayan buruh atau kerap dikenal sebagai nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Selanjutnya, terdapat nelayan yang memiliki alat tangkap, namun alat tangkapnya tersebut dioperasikan oleh orang lain atau disebut juga dengan nelayan juragan. Yang terakhir, nelayan yang memiliki peralatan tangkap dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain atau disebut juga nelayan perorangan.

Diantara ketiga kategori nelayan tersebut, kemiskinan banyak dialami oleh nelayan perorangan dan buruh dimana kedua kategori tersebut merupakan kelompok mayoritas sehingga citra kemiskinan sangat melekat dengan kehidupan nelayan.

Bukankah hal yang mengenaskan jika bahwasannya menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia terdapat dalam peringkat kedua sebagai negara penghasil ikan di dunia, namun kehidupan nelayan masih dibawah garis kemiskinan? Padahal, nelayan lah yang menjadi ujung tombak perikanan Indonesia.

Dilansir dari laporan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahwasannya jumlah nelayan di Indonesia terus menurun sejak 2018 dan pada tahun 2020 jumlah nelayan hanya mencapai angka 2.23 juta orang yang berarti menurun sebanyak 10.44% dari tahun sebelumnya. Setidaknya terdapat dua hal yang mengakibatkan mengapa jumlah nelayan di Indonesia menurun.

Seperti yang kita ketahui, kehidupan nelayan sangat bergantung pada cuaca di laut dimana jika cuaca tidak bersahabat, maka nelayan tidak dapat melakukan aktivitas melautnya. Krisis iklim yang terjadi membuat nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan dalam satu tahun sehingga hal ini mendorong nelayan yang ada di Indonesia beralih profesi.

Masih mengenai krisis iklim, menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change Tahun 2022, peningkatan suhu mendorong ikan dari wilayah tropis bermigrasi yang tentu nantinya akan berdampak pada pendapatan, baik pada nelayan ataupun negara. Tak hanya itu, nelayan juga harus menghadapi tantangan dalam ekspansi industry di wilayah pesisir.

Seperti apa yang terjadi pada perkampungan nelayan di Cilincing yang menjadi dampak dari adanya reklamasi Teluk Utara Jakarta. Sejak proyek reklamasi berlangsung, kegiatan nelayan terpantau semakin berkurang akibat menyempitnya wilayah tangkapan sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada hasil tangkapan mereka yang semakin sedikit, padahal justru hasil tangkapan itulah yang menjadi sumber kehidupan bagi nelayan Cilincing.

Selain proyek reklamasi, pemerintah juga mendorong ekspansi proyek pertambangan yang menyebabkan pencemaran pada kawasan perairan. Pasalnya, pemerintah telah merencanakan proyek pertambangan hingga tahun 2040 di wilayah sekitar pesisir seluas 12.985.477 hektar.

Dalam sebuah jurnal penelitian mengenai dampak aktivitas pertambangan timah laut terhadap ekonomi masyarakat nelayan, disebutkan bahwa adanya tambang timah mengakibatkan penurunan pendapatan pada nelayan akibat limbah yang dihasilkan dari proyek pertambangan yang seharusnya dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan. Para nelayan juga mengaku adanya proyek tambang timah di pesisir laut mengurangi daya tangkap nelayan dan semakin jauhnya jarak melaut.

Selain itu, sumber daya manusia di wilayah pesisir yang rendah juga membuat masyarakatnya menjadi kurang terampil dalam hal melaut. Usaha perikanan yang didominasi oleh skala kecil dengan penggunaan alat penangkapan ataupun perahu yang masih sederhana mengakibatkan rendahnya produktivitas nelayan sehingga pendapatan yang diperoleh pun kerap tidak optimal.

Ada pula kekhawatiran yang dirasakan akibat sulitnya pengalihan kegiatan ekonomi ke laut sebab para anak nelayan tidak lagi tertarik dalam menekuni pekerjaan kenelayanan. Jika hal tersebut terjadi, maka kegiatan di darat akan semakin padat sementara laut yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertinggal dan sia-sia.

Perumusan masalah dalam kasus ini sehingga pemerintah membuat kebijakan subsidi BBM bagi nelayan adalah akibat kemiskinan yang terjadi pada nelayan. Hal ini terjadi oleh beberapa faktor, diantaranya: terjadinya krisis iklim, ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan, serta rendahnya sumber daya manusia dalam hal melaut.

Hal ini menjadi sebuah permasalahan karena berdasarkan data yang ada, jumlah nelayan di Indonesia semakin berkurang akibat kehidupan nelayan yang ternyata jauh dari kata cukup. Tak hanya itu, dengan adanya krisis iklim dan ekspansi industry daratan di kawasan pesisir membuat nelayan ingin beralih profesi sehingga nilai ekonomi sumber daya laut akan terabaikan.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 batasan permasalahan sehingga mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM bagi nelayan:

  • Taraf kehidupan nelayan Indonesia yang hidupnya berada dibawah garis kemiskinan akibat menghabiskan penghasilannya pada bahan bakar.
  • Terjadinya krisis iklim sehingga pendapatan nelayan semakin sedikit dan mendorong terjadinya peralihan profesi nelayan.
  • Adanya ekspansi industry seperti proyek reklamasi dan pertambangan di kawasan pesisir yang merugikan para nelayan.
  • Sumber daya manusia di kawasan pesisir yang masih terpantau rendah dalam hal melaut sehingga tidak mencapai hasil yang optimal.
  • Putusnya regenerasi kenelayanan pada anak nelayan akibat kegiatan di darat yang semakin padat.

Terdapat sebuah tujuan penyusunan agenda dalam kebijakan subsidi BBM untuk nelayan yang dibuat oleh pemerintah yakni untuk meningkatkan taraf kehidupan nelayan Indonesia yang 11.34% hidup dibawah garis kemiskinan akibat menghabiskan penghasilannya pada bahan bakar. Selanjutnya, tujuan penyusunan agenda dalam kebijakan subsidi BBM juga dibuat agar Indonesia terus mempertahankan posisinya pada peringkat dua sebagai negara penghasil ikan di dunia akibat jasa para nelayan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun