Pelbagai diskusi mengenai penghapusan hak veto sangatlah menarik, bukan menjadi hal baru---bahasan tersebut selalu menjadi isu yang ramai menuai komentar.Â
Pihak pendukung beranggapan hilangnya hak veto terhadap para negara super-power adalah jalan menuai kebebasan negara di dunia untuk berkontribusi dalam agenda perdamaian tanpa terikat dengan hak prerogatif dari kelima negara terkuat, yaitu Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, Prancis, dan China. AS dan Rusia.Â
Lantas, benarkah hak veto masih menjadi solusi jika menuai hierarki dalam sistem internasional?
Hak veto dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bukan tidak berperan penting dalam menciptakan perdamaian namu terkadang menjadi penghalang untuk memutuskan perpecahan, seperti konflik Palestina-Israel.
PBB sudah berusaha keras mengeluarkan berbagai draft resolusi damai, seperti  UN Security 242 tentang "Land for Peace", pasal tersebut menegaskan satu cara untuk memutus rantai peperangan adalah dengan tidak menganggu wilayah negara.Â
Pun Israel dan Palestina berkonflik hingga saat ini didasari karena dispute wilayah, kedua belah pihak sama-sama merebutkan wilayah geografis yang terletak di antara Laut Mediterania dan Sungai Jordan, Gaza.
Mayoritas 24 negara mendukung penyerangan Israel tergolong kejahatan kemanusiaan internasional, sedangkan 14 negara lain menyatakan abstain termasuk AS, sebuah tindakan  tidak  andil dalam perdebatan. Namun sampai saat ini, konflik kedua negara tetap berlanjut.
Organisasi Internasional
Organisasi Internasional (OI) di dunia tidak hanya United Nations (UN) saja, di tengah pertumbuhan OI yang semakin beragam---UN menjadi salah satu induk IO terbesar. Serta wadah kerjasama guna menyelesaikan permasalahan di tengah sistem anarki.
UN memiliki program kerja utama, yaitu : Peace Keeping, Peace Building, dan Peace Making.Â
Di awal berdirinya UN, tahap pertama peace-keeping adalah satu tugas yang gencar dilakukan. Â Tujuan ini merupakan respon dari perang agar dapat berhenti dan tidak terulang.Â