Mohon tunggu...
Silva Hafsari
Silva Hafsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa HI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Suka menulis di tengah hujan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Kenali Sexual-Consent agar Hubunganmu Tetap Sehat

9 Juli 2022   08:45 Diperbarui: 9 Juli 2022   08:47 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Akhir-akhir ini perbincangan mengenai seks sedang ramai dibicarakan karena maraknya pula kasus kekerasan seksual maupun isu yang berkaitan dengannya.

Berangkat dari sana, kesadaran serta kepedulian masyarakat mengenai seks semakin diperhatikan baik dengan cara mengenalkan sex education sejak dini, nilai-nilai etika dalam berhubungan dan batasan-batasan tentang hal yang boleh atau tidaknya dilakukan oleh seseorang yang belum melangsungkan pernikahan.

Kegiatan sosialisasi itu dapat dimulai dari unit keluarga, antar teman, hingga penyuluhan oleh instansi pemerintah.

Tidak hanya itu, istilah-istilah dalam seks semakin beragam dan naik ke permukaan sehingga secara tidak langsung kita perlu mengetahui dan memahaminya. Seks tidak melulu harus dipandang kotor atau bahkan menjadi pembahasan yang tabu dibicarakan karena hakikat seks sendiri tidak akan terlepas dari kehidupan manusia.

Bagi mahkluk bertulang belakang seperti manusia, seks adalah kegiatan yang pasti dilakukan dan terjadi namun bukan berarti dapat dilakukan seenaknya.

Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar istilah “Sexual-Consent” yang kini cukup ramai menjadi perbincangan namun hanya segelintir orang yang mengetahui makna sebenarnya istilah itu. Lantas, apa itu “Sexual-Consent”?

Dilansir dari tulisan seorang dosen Ilmu Hukum Universitas Prasetiya Mulya di The Conversation, Kartika Paramita, menjelaskan bahwa konsep consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Konsep perjanjian atau consent ini menurut Filsuf Amerika Serikat (AS), John Kleinig sudah ada sejak era Renaissance Eropa di abad ke-15.

Jika kita memandang sexual consent sebagai bentuk dari sama-sama rela untuk melakukan suatu hubungan badan, bisakah konsep ini menjadi pemicu tumbuh suburnya free-sex di luar penikahan atau menjadi sebuah pelanggaran hukum?

Mengingat Indonesia adalah negara yang TIDAK membenarkan kegiatan seks apapun bentuknya jika tanpa ikatan resmi secara hukum.

Terlepas dari itu, konsep sexual-consent sebenarnya membawa pemahaman ramah dalam melakukan suatu hubungan guna menghindari berbagai macam kekerasan seksual. Bermula dari slogan anti pelecehan seksual yang dibuat oleh Canadian Federation of Student atau CFS pada kisaran tahun 90-an, “no means no.” dengan harapan guna membangun kesadaran mahasiswa mengenai kekerasan seksual.

Serupa pula dengan slogan yang dikembangkan oleh sekelompok perempuan di Perguruan Tinggi Swasta Antioch, Ohio pada tahun 1991, berbunyi “yes means yes”. 

Kedua istilah itu menekankan kesadaran pentingnya mengenai persetujuan dalam hubungan seksual. Menurut Kartika, banyak orang yang akhirnya menganggap konsep consent dalam hubungan seksual, membenarkan free-sex selama kedua belah pihak memberikan consent padahal hal itu bukanlah sebuah pembenaran.

Karena consent hanya dapat diberikan kepada seseorang yang dikatakan dewasa dan memiliki kapasitas sesuai age of consent serta tidak menghalalkan tindakan apapun yang melanggar hukum contohnya free-sex atau menggunakan jasa pekerja seks yang jelas-jelas sebuah tindakan melanggar hukum.

Sexual-consent menanamkan kerelaan antara kedua belak pihak untuk secara sadar melakukan hubungan seksual tanpa ada paksaan jika kemudian ditemukan keterpaksaan atau salah satu pihak tidak menyetujui terjadinya hubungan seks, maka dapat dimaknai sebagai pemerkosaan, pelecehan, bahkan Marital Rape (Pemerkosaan dalam pernikahan)—berarti hubungan seksual itu dilakukan secara terpaksa dan hanya diinginkan oleh satu pihak, baik suami atau istri. 

Maka terlepas dari siapapun yang melakukannya, seksual-consent memang menjadi sebuah kewajiban.

Dengan kehadiran Sexual-Consent sesama pasangan dapat meningkatkan afeksi, komunikasi, dan usaha kerja sama untuk saling membahagiakan serta meningkatkan aspek emosional dan fisik untuk memenuhi kebutuhan psikologis, sehingga terwujudnya sebuah kegiatan seks yang indah dan ramah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun