Mohon tunggu...
Ferry_Darmin
Ferry_Darmin Mohon Tunggu... Lainnya - Fakultas Teologi, Program Studi Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak Semua Hal Harus Dikatakan tetapi Harus Dimengerti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Titik Pijak Para Kritikus Agama: Feuerbach, Marx, dan Freud

19 November 2024   19:23 Diperbarui: 19 November 2024   19:44 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Idealisme merupakan istilah yang mengacu pada salah satu aliran di dalam sejarah filsafat Barat modern yang berpandangan bahwa kenyataan akhir yang sungguh-sungguh nyata itu adalah pikiran (idea) dan bukanlah benda di luar pikiran kita (materi).[1] Hal ini dikarenakan realitas itu hampir sama luasnya dengan pikiran (idea) oleh karena itu yang real itu rasional dan sebaliknya yang rasional itu merupakan yang real.

 Yang berada di luar pikiran seperti, alam, masyarakat, perlatan dan sebagianya itu tidak memiliki status ontologis. Berbeda dari rasionalisme yang lebih epistemologis, yakni ajaran tentang pengetahuan, idealisme adalah sebuah pandangan metafisik, yakni tentang realitas.[2] Pandangan idealisme ini kekmudian dikritik oleh beberapa filsuf dan mengubahnya dengan materialisme.

 

Materialisme merupakan istilah yang mengacu pada salah satu aliran di dalam sejarah filsafat Barat modern yang berpandangan bahwa kenyataan yang sungguh- sungguh nyata itu adalah materi, sedangkan kesadaran atau pikiraan kita hanyalah gejala- gejala sekunder dari proses- proses material belaka.[3] 

Pikiran (idea) itu tidak memiliki status ontologis karena ia tidak ada tanpa proses material tersebut. Seperti apa itu proses material itu, Marx berpendapat bahwa kerja sosial yakni berbagai hubungan produksi dan berbagai sarana dalam ekonomi kapitalis. Materialisme berpendapat bahwa agama, hukum, sains, filsafat dan seterusnya, tidak lain daripada gejala-gejala samping belaka dari proses ekonomi.[4] 

 

Feuerbach merupakan salah satu filsuf materialisme yang mengkritik agama. Baginya allah hanya sebagai proyeksi dan agama sebagai alienasi.  Pernyataan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa kekuatan manusia itu terbatas dan tidak sempurna. Tetapi manusia memproyeksikan dirinya. 

Proyeksi diri yang dimaksudkan oleh Feuerbach ialah manusia membayangkan adanya sebuah kenyataan yang memiliki kekauatan- kekuatan hakiki yakni berpikir tentang kesempurnaan, menghendaki kebaikan dan mengalami cinta. Kepemilikan atas kekuatan ini bersifat tidak terbatas.

 

Marx setuju akan Pendapat Feuerbach bahwa manusia memang mengasingkan diri dalam agama. Tetapi, marx lebih jauh lagi mempertanyakan mengapa manusia mengalienasikan dirinya dalam agama. Menurut Marx, kondisi- kondisi material tertentulah yang membuat manusia mengalienasikan diri dalam agama.[5] Yang dimaksud dengan kondisi material tertentu ini merupakan kerja sosial yakni berbagai hubungan produksi dan berbagai sarana ekonomi kapitalisme dalam masyarakat.

 

Titik berangkat ketika menyampaikan kritik agama, Feuerbach dan Marx memiliki dasar yang sama yaitu tentang humanisme. Artinya manusia itu harus dikembalikan ke asalnya yang sejati. Seperti yang dikatakan oleh Feuerbach bahwa manusia dewasa harus melepaskan khayalan keagamaan agar cita- cita untuk mencapai kesejatiaannya manusia dapat tercapai. Disamping itu Marx juga berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk sosial namun masih terkungkung oleh struktur sosial. 

Hal ini menyebabkan manusia tidak dapat menemukan kesejatiannya dalam struktur sosial tersebut. Untuk menghilangkan struktur sosial dan kelas- kelas dalam masyarakat, marx berpendapat bahwa manusia harus Kembali ke dalam kesejatiannya yakni, suatu masyarakat tanpa kelas dan menghilangkan berbagai khayalan tentang janji- janji agama.

 

Memiliki titik berangkat yang sama yakni Humanisme, Freud juga ikut mengkritik agama. Dimana agama menurutnya agama sebagai pelarian neurotis dan infantil dari realitas.[6] Ketika berhadapan dengan tantangan dunia, manusia hanya bisa bersembunyi dan mencari keselamatan di Tuhan yang sebenarnya tidak kelihatan dan nyata. Sikap seperti ini merupkan ciri khas dari orang- orang neurotis dan infantil. Kalau mau menjadi lebih mampu untuk berhadapan dengan tantangan dunia manusia tidak harus lari bersembunyi dan meminta keselamatam tetapi harus keluar untuk membebaskan diri dari neurosis. Neurosis ini menjadi inti dari teori psikoanalisisnya Freud. Neurosis itu sendiri merupakan perasaan- perasaan dan tingkah laku aneh yang tidak sesuai dengan tantangan dalam kenyataan yang dihadapi. Orang yang mengidap neurosis ini tahu bahwa reaksinya itu tidak sesuai namun ia tidak mampu mengubahnya.

 

Kritik yang dilontarkan oleh ketiga kritikus seperti Feuerbach bahwa Allah hanya sebagai proyeksi dan agama sebagai alienasi, Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu dan Freud yang mengatakan bahwa agama sebagai pelarian neurotis dan infantil dari realitas memang tidak bisa disangkal karena apa yang dikatakan oleh Nietzsche bahwa pada dasarnya manusia merupakan binatang pemuja dimana manusia memang sadar akan kelemahannya dan membutuhkan suatu pegangan. Memiliki kepercayaan yang penuh akan Tuhan itu memang menjadi suatu yang harus bagi manusia.

 

Memiliki suatu pegangan merupakan bagian dari kebebasan manusia itu sendiri. Manusia bebas memilih apa yang ia butuhkan untuk menjalani hidup di dunia. Dalam konsep kebebasan, Sartre memebedakan antara berada pada dirinya sendiri (entre ein soi) dan berada bagi dirinya sendiri (entre pour soi). Manusia itu sang entre pour soi. Ia tidak mempunyai hakikat yang pasti, terlempar dalam eksistensi. Eksistensinya mendahului esensinya. Ia bebas, tidak terdeterminasi. Ia memproyeksikan diri melalui kebebasan karena lewat kebebasan itu sendiri ia menjadi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 281

[2] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 282

[3] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 284

[4] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 284

[5] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 229

[6] Fransz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: kanisius (2006), hlm. 85

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun