Titik berangkat ketika menyampaikan kritik agama, Feuerbach dan Marx memiliki dasar yang sama yaitu tentang humanisme. Artinya manusia itu harus dikembalikan ke asalnya yang sejati. Seperti yang dikatakan oleh Feuerbach bahwa manusia dewasa harus melepaskan khayalan keagamaan agar cita- cita untuk mencapai kesejatiaannya manusia dapat tercapai. Disamping itu Marx juga berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk sosial namun masih terkungkung oleh struktur sosial.Â
Hal ini menyebabkan manusia tidak dapat menemukan kesejatiannya dalam struktur sosial tersebut. Untuk menghilangkan struktur sosial dan kelas- kelas dalam masyarakat, marx berpendapat bahwa manusia harus Kembali ke dalam kesejatiannya yakni, suatu masyarakat tanpa kelas dan menghilangkan berbagai khayalan tentang janji- janji agama.
Â
Memiliki titik berangkat yang sama yakni Humanisme, Freud juga ikut mengkritik agama. Dimana agama menurutnya agama sebagai pelarian neurotis dan infantil dari realitas.[6] Ketika berhadapan dengan tantangan dunia, manusia hanya bisa bersembunyi dan mencari keselamatan di Tuhan yang sebenarnya tidak kelihatan dan nyata. Sikap seperti ini merupkan ciri khas dari orang- orang neurotis dan infantil. Kalau mau menjadi lebih mampu untuk berhadapan dengan tantangan dunia manusia tidak harus lari bersembunyi dan meminta keselamatam tetapi harus keluar untuk membebaskan diri dari neurosis. Neurosis ini menjadi inti dari teori psikoanalisisnya Freud. Neurosis itu sendiri merupakan perasaan- perasaan dan tingkah laku aneh yang tidak sesuai dengan tantangan dalam kenyataan yang dihadapi. Orang yang mengidap neurosis ini tahu bahwa reaksinya itu tidak sesuai namun ia tidak mampu mengubahnya.
Â
Kritik yang dilontarkan oleh ketiga kritikus seperti Feuerbach bahwa Allah hanya sebagai proyeksi dan agama sebagai alienasi, Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu dan Freud yang mengatakan bahwa agama sebagai pelarian neurotis dan infantil dari realitas memang tidak bisa disangkal karena apa yang dikatakan oleh Nietzsche bahwa pada dasarnya manusia merupakan binatang pemuja dimana manusia memang sadar akan kelemahannya dan membutuhkan suatu pegangan. Memiliki kepercayaan yang penuh akan Tuhan itu memang menjadi suatu yang harus bagi manusia.
Â
Memiliki suatu pegangan merupakan bagian dari kebebasan manusia itu sendiri. Manusia bebas memilih apa yang ia butuhkan untuk menjalani hidup di dunia. Dalam konsep kebebasan, Sartre memebedakan antara berada pada dirinya sendiri (entre ein soi) dan berada bagi dirinya sendiri (entre pour soi). Manusia itu sang entre pour soi. Ia tidak mempunyai hakikat yang pasti, terlempar dalam eksistensi. Eksistensinya mendahului esensinya. Ia bebas, tidak terdeterminasi. Ia memproyeksikan diri melalui kebebasan karena lewat kebebasan itu sendiri ia menjadi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 281
[2] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 282