Â
Yang Transenden diimani (dipercaya/diyakini) sebagai yang mempunyai peran dalam chaos yang dialami. Dalam proses penghubungan dengan Yang Transenden ini manusia berusaha memahami Tuhannya dengan seluruh keberadaannya. Pemahaman yang secara menyeluruh, khususnya dengan pemikiran manusia yang menghasilkan, sering disebut sebagai filsafat ketuhanan (theodice). Theodice (theodicea) berasal dari ungkapan Yunani: theos yang berarti Tuhan dan dike yang berarti keadilan atau pembenaran atau pembelaan dalam proses pengadilan.[11] Sebab itu theodice berarti pembelaan Allah (genetivus objectivus): hal membela Allah berkenaan keburukan, termasuk di dalamnya penderitaan yang terjadi di dunia.[12]
Daftar Pustaka
[1] Yani Kusmarani, Teori Chaos: sebuah Keteraturan Dalam Keacakan, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2008. Hlm. 3. Di unggah dari: http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196601131990012-YANI_KUSMARNI/TEORI_CHAOS.pdf
[2] Alan Woods & Ted Grant, Reason in revolt: Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern (Yogyakarta: IRE Press, 2006)
[3] Hisyam Dwijaya DKK, Makalah: Kemana tuhan Ketika Manusia Berteriak tentang Kebenaran Atas Agamanya, Universitas Budi Luhur, Fakultas Teknik, 2019. Di unggah dari: https://www.academia.edu/40826483/Makalah_Dimanakah_Tuhan_Ketika_Manusia_Berteriak_Tentang_Kebenaran_Atas_Agamanya
[4] Nova Ritonga, teologi Penderitan: Mengajarkan Konsep Penderitaan Berdasarkan Alkitab, Jurnal Pendidikan Kristen dan Gereja: Mawar Saron, Volume 3, Nomor 1, Maret 2020. Hlm. 106
[5] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 256
[6] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 256
[7] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 256
[8] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 284