Sekolah Lintas Iman (SLI) menjadi sebuah wadah yang menampung anggota-anggota dengan berbagai perbedaan. Â Para anggota dan fasilitator berasal dari latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda. Namun, memiliki kesamaan untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian.
 Perjumpaan yang terjadi dalam sekolah Lintas Iman dapat dimengerti sebagai suatu pertemuan antar individu atau kelompok yang berbeda keyakinan. Pertemuan ini dimediasi oleh fasilitator merupakan dosen dari beberapa universitas di Yogyakarta.
Dalam Sekolah Lintas Iman, para anggota diajak untuk saling berinteraksi, bertukar pikiran, saling mendengarkan, berdiskusi, berdialog, berbagi, menerima dan saling mempengaruhi. Hal ini bertujuan untuk membangun hubungan-hubungan sosial yang akrab, khususnya yang menyangkut relasi antaragama. Perjumpaan dalam Sekolah Lintas Iman (SLI) semacam ini merupakan sebuah proses sosial yang secara sengaja dibentuk untuk merespons realitas sosial yang terjadi di Indonesia.Â
Realitas yang ada ialah masih banyak kasus perselisihan antar agama. Banyak orang yang menganggap bahwa perbedaan adalah musuh suatu bangsa dan harus dimusnahkan. Di dalam hati ada prasangka yang begitu kuat bahwa keyakinan saya lebih benar diluar itu adalah sesat.
Pandangan ini menjadi beda ketika saya masuk dalam Sekolah Lintas Iman. Perbedaan sebetulnya merupakan suatu berkah bukan kutukan. Suatu hal yang menjadi fakta sosial yang harus ditemui dalam kehidupan manusia. Manusia tidak bisa memaksakan diri untuk menghilangkan perbedaan dengan menciptakan suatu konflik. Perbedaan menjadi suatu eksistensi dalam bangsa Indonesia. Manusia hanya mencari suatu jalan bagaimana caranya membangun suatu dialog.
Sekolah Lintas Iman (SLI) menjadi suatu instrument untuk melatih saya membangun suatu dialog dengan para saudara dan saudari yang berbeda. Hadirnya para fasilitator yang bidangnya memumpuni untuk membangun dialog membantu saya agar semakin berkembang, khususnya ilmu pengetahuan seputar dialog dalam perbedaan.
 Salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh Sekolah Lintas Iman adalah memberi kesempatan saya belajar dari tempat yang menjadi sumber langsung. Sehingga dialog menjadi lebih kontekstual tidak mengawang-awang.Â
Hal ini terlihat dari Sekolah Lintas Iman (SLI) memberikan saya suatu kesempatan untuk berkunjung ke berbagai tempat seperti, Pura Jagatnhata Banguntopo, Universitas Kristen Dutawacana, Gereja Kristen Jawa Gondokesuman, Pesantren Kaliopak, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.Â
Kunjungan ini menjadi salah satu bentuk dalam menjalin persaudaraan dalam perbedaan. Adanya perbedaan sekaligus membenarkan adanya fakta bahwa setiap manusia memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan keyakinannya. Ekspresi ini tentu saja berdasarkan apa yang dipahami oleh setiap orang. Apa yang diyakini menjadi dasar dari apa yang diimani.Â
Saya secara pribadi merasa bahwa perjumpaan dalam perbedaan menjadi suatu hal yang sangat penting. Dalam perbedaan saya dituntut untuk mampu menerima perbedaan, menghargai apa yang dipercayakan oleh orang lain, bersedia untuk bersikap adil terhadap sesama. Â Hal ini bertujuan agar terciptanya suatu kerukunan dan perdamaian.
Pada prinsipnya adalah kesediaan membuka diri untuk berdialog sebagai prinsip dasar dalam merawat kerukunan dan menghindari potensi konflik di tengah-tengah perbedaan. Dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan menuntut suatu kerendahan hati untuk saling mendengarkan. Hal ini bertujuan agar terciptanya suatu kedamaian dalam berdialog. Hal ini menjadi penting karena bertujuan untuk membangun relasi yang akrab ketika, kebenaran yang satu berjumpa dengan kebenaran yang lain. Â Komunikasi yang sehat ialah memberikan kesempatan untuk setiap anggota berbicara, membuat keputusan, menampilkan diri dan yang lain membuka diri untuk mendengarkan.
Tema sentral yang masih sangat intens dibicarakan dan dikaji dalam Sekolah intas Iman adalah seputar dunia politik di Indonesia, yaitu: "Mendorong dan mengawal lahirnya pemimpin Indonesia yang berintegritas dan berwawasan kebangsaan". Untuk melancarkan tema ini, para fasilitator mengundang beberapa pihak yang memang ahli dalam bidang politik.Â
Saran saya, agar semakin menarik apabila diakhir pertemuan ada sebuah forum diskusi. Hal ini bertujuan untuk melahirkan gagasan kritis. disamping itu mempererat dialog masing-masing anggota. Kekritisan lahir dari sebuah dialog. Lebih menariknya lagi kalau yang berdialog adalah mereka yang memiliki perbedaan.Â
Masing-masing memberikan pandangannya tentang politik dari sudut pandang keykinannya, kemudian menggabungkan menjadi satu hingga membentuk suatu gagasan kritis. lahirnya gagasan kritis, sekaligus mencegah lahirnya suatu politik identitas yang diyakini dapat menjadi kontroversi dan perdebatan. Politik identitas merupakan suatu pendekatan dalam politik yang pusat perhatiannya lebih pada identitas suatu kelompok, yakni etnis, agama, gender, orientasi seksual dan budaya.
 Politik identitas seringkali mengabaikan kesamaan dan persatuan yang lebih luas di antara masyarakat dan sekaligus memperkuat pemisahan dan konflik di Indonesia. Disamping itu juga dengan adanya politik identitas dapat menghilangkaan sutau dialog yang terjalin diantara masyarakat yang berbeda keyakinan.
Sejauh ini tema yang diangkat menambah wawasan saya, bahwa faktanya bahwa setiap agama- agama diajak untuk melibatkan diri dalam dunia perpolitikan. Hal ini berupaya agar mencapai suatu keharmonisan dalam dinamika politik. Melibatkan diri bukan berarti ikut gabung menjadi calon, tetapi ikut bersikap kritis terhadap politik yang terjadi.Â
Weber, menyatakan bahwa agama adalah sumber dinamika perubahan sosial, dan bukan hanya sekadar sebagai penguat stabilitas masyarakat.[1] Hal ini mau mengartikan bahwa agama memiliki perananan yang sangat penting dalam memajukan suatu bangsa. Dalam realitas agama seharusnya memberikan suatu makna hidup. Kebutuhan untuk memberikan makna dalam berhadapan dengan aneka macam kesulitan hidup.[2] Agama juga bisa menjadi salah satu jalan keluar ketika berhadapan dengan lingkungan sosial, ekonomi dan politik.Â
Harapannya untuk membentuk suatu tujuan yang baik. Artinya menciptakan perdamaian dan keharmonisan. Oleh sebab itu nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam masyarakat.[3] Perubahan disini tentu saja bernilai baik, yang mengedepankan kesejahteraan umum (bonnum Commune). Sebaliknya bukan untuk tujuan kesenangan pribadi atau suatu golongan tertentu.
Â
Sekolah Lintas Iman menjadi salah satu wadah yang melatih para anggotanya untuk menggunakan agama sebagai jalan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan umum. Hal Ini tentu saja berkaitan dengan bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki keragaman dalam keyakinan. Hal ini menjadi suatu fakta realitas sosial yang harus diterima.Â
Sekolah Lintas Iman berusaha meluruskan pengertian perbedaan agama bukan sebagai hal yang jelek, kutukan, tidak membangun bangsa dll. Harapannya, perjumpaan dalam Sekolah Lintas Iman tidak hanya menjadi suatu agenda rutin. Artinya setiap anggota hanya menjalankan sebatas formalitas saja. Akibatnya perjumpaan menjadi jauh dari harapan dan hanya menghasilkan suatu kerukunan semu.
Daftar Pustaka
[1] Max Webber, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 33
[2] Max Webber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 76
[3] Max Webber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 161
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H