A. Pendahuluan
“Indonesia itu sangat terpusat di Jakarta” merupakan sepenggal kalimat yang pernah dilontarkan oleh Abdur Arsyad, seorang komedian. Ia mempertanyakan fungsi dari gedung kementerian desa tertinggal yang ditempatkan di Jakarta.
Baginya penempatan tersebut ibarat membuat orang- orangan sawah tetapi ditempatkan di laut. Maka tempatkanlah segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Kementerian desa tertinggal tempatkanlah di desa tertinggal. Bukti lain ialah penyiaran berita di media Indonesia. Baginya, media di Indonesia lebih banyak menyiarkan yang berisi keluhan orang Jakarta, polusi, banjir, macet, mencret dan sebagainya. Dibilang kelebihan air banjir itu di liput sedangkan di timur kekurangan air itu luput. Selama pembangunan masih dibeda-bedakan, Indonesia akan jauh dari kata “sejahtera”.
B. Konsep Pemimpin menurut Paulo Freire
Konsep pemimpin menurut Paulo Freire (Filsuf) didasari oleh pemikirannya mengenai konsep dialog. Konsep dialog bagi Freire ialah suatu interaksi antar manusia yang membebaskan, baik dalam tataran filosofis maupun sosiologis, untuk menyelesaikan permasalahan keduniawian yang ia sebut sebagai situasi batas.[1] Ia yakin bahwa dialog inilah yang akan menghantarkan manusia pada pembebasan dari penindasan sistem sosial, politik dan ekonomi.[2]
Dalam konteks revolusi, Freire mengungkapkan bahwa pemimpin revolusi yang memaksakan rakyatnya untuk berpandangan yang sama terkait dengan hal duniawi padahal rakyatnya memiliki pandangan yang khas dari masing- masing pribadi, pemimpin revolusi tersebut sudah memiliki tipe anti-dialog. Hal ini dikarenakan relasi seorang pemimpin dengan rakyatnya itu harus vertikal dalam berdialog. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Jika relasinya horizontal maka yang terjadi antara pemimpin revolusi dan rakyatnya bukanlah suatu dialog untuk mencapai evolusi tetapi anti-dialog. Pemimpin revolusi akan memposisikan dirinya paling tinggi dan mengklaim bahwa dirinya paling tahu segalanya akan situasi hingga pada akhirnya menganggap rakyatnya paling rendah yang tidak bisa berbuat sesuatu karena tidak memiliki solusi serta tidak mengerti akan situasi.
Anti-dialog selalu dilakukan oleh kaum penindas sebagai cara menghadapi kaum tertindas untuk tetap melanggengkan hegemoni sosial, politik dan ekonomi mereka.[3] Praktik anti-dialog seringkali dilakukan oleh kaum politisi. Bagaimana mereka menyatakan sesuatu hal yang tidak bisa dipahami oleh rakyat karena kata- kata yang dilontarkan tidak sesuai dengan realitas atau keadaan yang sebenarnya terjadi. Singkat kata, bahasa mereka hanya sebatas retorika asing yang mengasingkan rakyat.
Menurut Paulo Freire, seorang pemimpin seharusnya memiliki konsep pendidikan yang berpusat pada emansipasi, keadilan sosial, dan kemanusiaan. Paulo Freire adalah seorang pendidik dan filsuf Brasil yang terkenal dengan karyanya tentang pendidikan pembebasan. Freire percaya bahwa pemimpin seharusnya memegang peran yang progresif dalam mendorong perubahan sosial yang positif. Pemimpin harus bekerja sama dengan masyarakat, memahami masalah dan kebutuhan mereka, dan memberdayakan mereka untuk mengatasi ketidakadilan dan kesenjangan sosial.
Menurut Freire, seorang pemimpin seharusnya memahami pentingnya dialog dan komunikasi yang demokratis. Pemimpin harus bersedia mendengarkan pendapat dan pandangan orang lain, serta membangun hubungan saling percaya dengan mereka. Freire menekankan pentingnya membentuk kesadaran kritis di kalangan masyarakat, sehingga mereka dapat melihat dan mengatasi ketidakadilan struktural yang ada. Freire juga menekankan pentingnya pendidikan pembebasan dalam proses kepemimpinan. Pemimpin seharusnya menjadi fasilitator pembelajaran, membantu orang-orang untuk mengembangkan pemahaman yang kritis terhadap dunia mereka dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam mengubah kondisi sosial yang tidak adil.
Secara keseluruhan, pemimpin menurut konsep Paulo Freire adalah seseorang yang membantu masyarakat mengatasi ketidakadilan sosial, membangun kesadaran kritis, dan memperjuangkan keadilan serta pembebasan dari penindasan.
C. Analisis
Pembangunan merupakan proses menuju suatu perubahan yang mencakup seluruh aspek yakni, politik, ekonomi, infrastruktur, Pendidikan, teknologi dan kebudayaan. Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).[1] Menjadi bagian dari usaha negara mengartikan bahwa ada harapan timbulnya partisipasi antara kedua bela pihak yakni pemerintah dan rakyat.
Indonesia merupakan negara kesatuan dengan keragaman wilayah yang berjejerkan beribu pulau dari Sabang sampai Merauke. Untuk menjaga kesatuan ini, pembangunan harus merata di berbagai wilayah. Jika hanya mengutamakan beberapa wilayah maka akan terjadi suatu ketimpangan pembangunan. Apabila ketimpangan pembangunan dalam suatu negara telah terjadi maka akan menghambat aspek lainnya. Contoh, perbandingan pembangunan infrastruktur yang ada di kota sekitar ibu kota negara dengan yang ada di kota-kota yang jaraknya jauh dari ibu kota. Di kota yang dekat dengan ibu kota negara pembangunan infrastrukturnya memadai. Belanja tidak memakan waktu. Cukup menyeberang jalan ditemukan pasar, mall, swalayan, dan toko lainnya. Menjual barang, tinggal membuka handphone memasukan item yang hendak di jual melalui aplikasi. Berbeda dengan di kota yang jauh dari ibu kota negara. Mau belanja harus memakan waktu berjam-jam, duduk di atas motor atau angkutan umum untuk menemukan pasar, hal ini juga kalau di pasar tersedia apa yang hendak dibelanjakan. Kalau tidak tersedia kembali ke rumah dengan tangan hampa. Secara tidak langsung ketimpangan pembangunan akan menindas rakyat.
Tugas seorang pemimpin revolusioner tidak perlu mendatangi masyarakat untuk membawa pesan “penyelamatan” namun, mendatangi mereka melalui dialog mengenai situasi objektif mereka dan kesadaran mereka akan situasi tersebut.[2]
D. Kesimpulan
Pembangunan yang merata itu ada partisipasi antara pemerintah dan rakyat. keduanya disatukan melalui dialog. Sehingga tidak tercipta keterpusatan dalam pembangunan. Keterpusatan dalam pembangunan infrastruktur akan menimbulkan ketimpangan pada aspek lain sekaligus menindas rakyat.
E. Daftar Pustaka
Freire, Paulo (2019), Pendidikan Kaum tertindas, Yogyakarta: Narasi. Diterjemahkan oleh Yuhda Wahyu Pradana ke dalam bahasa Indonesia dari buku asli Paulo Freire, Pedagogy of the oppressed, London: The continuum International publishing, 1993.
Kurniawan, Mi’raj Dodi (2021), Pembaharuan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire, Malang: Intrans Publishing
Digdowiseiso, Kumba (2019), Teori Pembangunan, Jakarta Selatan: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional (LPU-UNAS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H