Minggu pagi selepas sholat subuh aku tertidur di serambi masjid. Beberapa menit mata terpejam rasanya sudah cukup untuk menghilangkan rasa kantuk dan lelah setelah semalaman tidak tidur.
Selepas mandi aku langsung masuk ke komplek Stadion Gelora Bung Karno. Ini adalah kali pertama aku berada di Stadion kebanggaan Indonesia. Berbekal doa, akhirnya aku memasuki Stadion yang juga merupakan tempat dilaksanakannya Tes Ujian Saringan Masuk PKN STAN.
Kanan, kiri, atas, bawah, semua sudah dipenuhi dengan orang yang akan mengikuti ujian saringan masuk STAN. Tanpa dikomando mereka serentak melakukan hal yang sama yaitu membaca buku. Mungkin memperbanyak materi, hal ini membuatku aku semakin grogi. Setelah beberapa kali ke kamar mandi akhirnya aku memantapkan diri. Aku mulai tak peduli dengan orang-orang disekitarku yang masih sibuk belajar. Aku hanya berdoa agar hati ini bisa lebih tenang dalam menghadapi ujian.
Ujian dimulai. Diawal ujian aku masih sangat menikmati setiap soal yang aku kerjakan namun sayang waktu yang semakin berkurang membuatku harus lebih cepat dalam mengarjakan soal yang tersisa. Aku mulai gugup. Hanya doa yang bisa menenangkan hati.
Setelah 150 menit, akhirnya ujian selesai. Rasanya masih sangat tegang. Bukan karena aku tidak yakin dengan jawabanku, hanya saja mungkin memang atmosfir ujiannya demikian. Aku hanya bisa meneruskan perjuanganku lewat untaian doa.
Aku tidak menyangka jika kemudian namaku ikut tercantum pada pengumuman hasil ujian tertulis. Rasanya senang sekaligus haru. Ternyata Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melanjutkan perjuangan ke tahap berikutnya.
Aku mulai menyusun jadwal latihan fisik. Pagi dan sore adalah waktu yang aku pilih untuk mempersiapkan diri menghadapi tes kesehatan dan kebugaran. Perlahan tapi pasti, irama jantungku mulai stabil untuk lari jarak jauh. Simulasi tes kebugaran pun aku lakukan setiap harinya dengan jadwal seperti biasa agar nanti aku lebih siap.
Jadwal tesku hari senin di Rawamangun dan di hari itu pula aku harus berangkat kerja shift malam. Aku berangkat ke Jakarta minggu sore ditemani salah seorang sahabatku. Ia mengantarku hingga Pusdiklat Bea Cukai Rawamangun lalu ia langsung pulang ke Karawang.
Di Jakarta aku kembali bingung harus tidur dimana dan akhirnya aku putuskan untuk tidak tidur lagi. Sungguh kegilaan yang tidak pantas untuk ditiru. Aku duduk semalaman sambil menikmati beberapa cangkir kopi dan bercengkerama dengan pedagang dikawasan kota tua.
Paginya aku beranjak dari stasiun Jakarta kota menuju stasiun Jatinegara menggunakan kereta pertama. Aku lanjutkan perjalananku dengan menggunakan Busway dan turun di halte Rawamangun. Lalu aku berjalan kaki menuju Pusdiklat Bea Cukai.
Ramai sekali. Parkiran juga sangat panjang. Di depan gerbang banyak orang berdesakan, ternyata mereka adalah para orangtua yang mengantar anaknya. Sekitar pukul 07:30 aku memasuki halaman Pusdiklat dan saat aku mendapat nomor antrian ternyata hampir 400. "Aku kira jam segini masih sepi, ternyata malah terakhir," batinku.