Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Bangga akan Batik? Saya Tidak!

27 Juli 2016   12:38 Diperbarui: 2 Oktober 2018   09:39 2362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa tak kenal dengan batik? Saya rasa setiap lapisan masyarakat di negeri ini tahu apa itu batik. Namun jangan salah, di balik keindahan dan nama besarnya, ternyata batik menyimpan sejuta problematika. Batik sendiri sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang bersifat tak benda. Artinya, batik itu sesuatu yang tidak dapat diraba namun dapat dirasa.

Saya lahir dan besar di Pekalongan. Kota dengan julukan Kota Batik itu memang sudah tak asing lagi bagi kita. Tidak salah jika kemudian Pekalongan disebut sebagai Kota Batik. Pasalnya memang di kota ini terdapat banyak sekali pengrajin Batik. Meskipun Batik lebih identik dengan Kota Jogja dan Solo, Pekalongan rasanya pantas disandingkan dengan kedua kota tersebut.

Pekalongan memiliki beberapa pusat penjualan batik, di antaranya adalah Pusat Grosir Setono, Pusat Grosir Pantura, dan International Batik Centre (IBC) and Craft. Di samping memiliki pusat penjualan batik, Pekalongan juga memiliki beberapa kampung batik yang menjadi pusat industri batik, antara lain Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Setono, dan Kampung Batik Wiradesa.

Ada sebuah keprihatinan yang saya rasakan di mana sebagian orang mungkin tidak mengetahuinya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan batik. Yang menjadi masalah adalah proses produksinya. Di sini saya mulai resah sebab sudah bertahun-tahun saya merasakan namun tak pernah ada perbaikan, yang ada hanya semakin buruknya keadaan.

Limbah Batik Layaknya Racun yang Mematikan

sumber www.wiwinrizakurnia.blogspot.com
sumber www.wiwinrizakurnia.blogspot.com
Ada banyak sekali riset untuk dapat mengolah limbah batik, namun hasilnya nihil. Kalaupun ada itu hanya sebatas riset, tak pernah diproduksi massal. Akibatnya, proses bisnis batik terus berjalan apa adanya. Bertahun-tahun limbah menumpuk dan semakin mencemari lingkungan.

Jika kita melihat warna-warni batik yang beragam, pernahkah kita terpikir bahan pewarnanya? Semua yang digunakan dalam pewarnaan batik itu bahan keras yang bahaya. Setiap hari ada jutaan meter kubik air sisa pewarnaan batik. Bahkan ironinya lagi, sungai, parit, dan saluran-saluran air semua berwarna gelap. Hal ini pula yang akan berakibat pada kualitas air tanah. Bayangkan saja jika sudah puluhan tahun air tanah disiram dengan pewarna batik, jumlahnya tidak pernah menurun dan terus meningkat.

Ada beberapa pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami, namun jika dibandingkan dengan yang menggunakan pewarna kimia mungkin tidak ada satu persen dari seluruh jumlah produksi. Alasan mahal, sulit didapat, dan sulit dalam proses, membuat para pengusaha enggan menggunakan pewarna alami. Selain itu, harga produk yang akan melambung juga tidak akan cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Sudah bertahun-tahun saya melihat sungai yang menghitam, melihat parit yang merah pekat, bahkan sudah terbiasa melihat pembuatan batik. Namun, tak ada yang dapat saya lakukan selain berdoa agar pencemarannya tidak cepat merusak lingkungan. Meskipun kenyataannya, lingkungan saya sudah mengalami kerusakan berat.

Upah Pekerja yang Mencekik

sumber www.batiktrustme.com
sumber www.batiktrustme.com
Kita sudah tidak asing lagi mendengar harga batik tulis yang bisa melambung tinggi. Namun, apakah kita tahu berapa upah di balik harga tinggi tersebut? Saya sudah bertahun-tahun hidup di lingkungan para pembatik, bahkan beberapa kali saya berkunjung ke rumah produksi Batik.

Sebenarnya terdapat kesamaan dari para pengusaha tersebut. Kesamaannya adalah sama-sama memberikan upah murah kepada para pembatik. Upah rata-rata pembatik hanya berkisar antara Rp 10.000,00 hingga Rp 30.000,00 per hari. Bahkan masih banyak pengusaha batik yang memberikan upah satuan. Misalkan untuk pewarnaan batik dengan teknik colet, biasanya dihargai antara Rp 500,00 hingga Rp 1.500,00 per kainnya.

Para pengusaha batik tidak pernah menghiraukan Upah Minimun Kerja. Ini pula yang menyebabkan para pekerja mereka masih mendapat upah yang minim. Selain itu, tidak ada asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi hari tua. Mereka hanya bekerja dan bekerja.

Di Pekalongan sendiri, lapangan pekerjaan di bidang batik-membatik sangatlah banyak. Namun, sangat sedikit anak muda yang mau terjun dalam bidang pekerjaan tersebut. Upah yang minim dan risiko yang besar membuat para pemuda enggan berada di dunia perbatikan. Para pekerja batik rata-rata sudah berusia tua. Andaikan ada para usia muda yang bekerja, pasti karena mereka dahulu putus sekolah atau hanya berijazah SD atau SMP.

Membatik Lebih Bahaya daripada Merokok

sumber www.blitartourism.com
sumber www.blitartourism.com
Kenapa saya sebut demikian? Dalam pembatikan ada yang melalui tulis, ada pula yang melalui cap. Profesi dalam pembuatan ini setiap hari akan menghirup asap dari lelehan malam (lilin batik) yang dipanaskan. Kandungan yang lebih kompleks daripada asap tembakau membuat para pembatik seakan menjalani profesi yang mematikan.

Dalam penelitian yang dilakukan mahasiswi UNY, krisdiyanti (2011) disebutkan bahwa ada beberapa risiko yang dihadapi oleh para pembatik. Di antaranya, tangan melepuh terkena tetesan lilin batik 74,5%, terkena percikan api 69,4%, terkena wajan yang panas 71,4%, terkena percikan air mendidih 79,6%. sesak napas 65,3%, menghirup asap lilin batik 62,2%, pusing karena pencahayaan 33,7% dan pusing saat berinteraksi dengan aroma zat kimia 70,4%, bersin-bersin 40,8%, tangan alergi 69,4%, mata terkena asap 74,5%.

Di balik nama besarnya, batik menyimpan risiko yang begitu besar bagi pembuatnya. Persentase di atas rata-rata menunjukkan lebih dari 60%, itu berarti bahaya di atas kerap melanda para pembatik. Asap malam (lilin batik) sendiri dapat menyebabkan batuk kronis, sesak napas, bronkitis kronis, asma, serta kelainan fungsi paru. Asap rokok tidak jelas terlihat dampaknya hingga perokok tua, namun asap dari lilin batik ini akan jelas berdampak bagi pekerja. Ini menandakan bahwa dalam proses batik terdapat bahaya dan risiko yang sangat besar.

Saya sendiri bukan tidak cinta akan budaya bangsa ataupun tidak bangga akan batik. Pasalnya saya juga pernah bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan dengan program keahlian Desain dan Produksi Kria Tekstil konsentrasi Batik. Ini membuat saya paham akan sisi positif dan negatif bagi pekerja.

Banyak di antara sisi positif tersebut hanya dinikmati oleh pemilik usaha, sedangkan bahaya dari proses membatik tersebut lebih ditanggung oleh pembatik. Masih terlalu jauh jarak antara pendapatan pemilik dengan upah yang diberikan, membuat saya enggan bergelut lebih jauh dengan dunia batik. Persaingan yang ketat, kadang membuat pengusaha bersaing dengan tidak sehat.

Namun di balik semua itu, saya berharap ada sebuah solusi dari para pengusaha ini, yakni menyejahterakan para pekerjanya dan ikut dalam pelestarian lingkungan sehingga ke depannya Batik bisa tetap hidup dan tidak mematikan kehidupan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun