Sebenarnya terdapat kesamaan dari para pengusaha tersebut. Kesamaannya adalah sama-sama memberikan upah murah kepada para pembatik. Upah rata-rata pembatik hanya berkisar antara Rp 10.000,00 hingga Rp 30.000,00 per hari. Bahkan masih banyak pengusaha batik yang memberikan upah satuan. Misalkan untuk pewarnaan batik dengan teknik colet, biasanya dihargai antara Rp 500,00 hingga Rp 1.500,00 per kainnya.
Para pengusaha batik tidak pernah menghiraukan Upah Minimun Kerja. Ini pula yang menyebabkan para pekerja mereka masih mendapat upah yang minim. Selain itu, tidak ada asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi hari tua. Mereka hanya bekerja dan bekerja.
Di Pekalongan sendiri, lapangan pekerjaan di bidang batik-membatik sangatlah banyak. Namun, sangat sedikit anak muda yang mau terjun dalam bidang pekerjaan tersebut. Upah yang minim dan risiko yang besar membuat para pemuda enggan berada di dunia perbatikan. Para pekerja batik rata-rata sudah berusia tua. Andaikan ada para usia muda yang bekerja, pasti karena mereka dahulu putus sekolah atau hanya berijazah SD atau SMP.
Membatik Lebih Bahaya daripada Merokok
Dalam penelitian yang dilakukan mahasiswi UNY, krisdiyanti (2011) disebutkan bahwa ada beberapa risiko yang dihadapi oleh para pembatik. Di antaranya, tangan melepuh terkena tetesan lilin batik 74,5%, terkena percikan api 69,4%, terkena wajan yang panas 71,4%, terkena percikan air mendidih 79,6%. sesak napas 65,3%, menghirup asap lilin batik 62,2%, pusing karena pencahayaan 33,7% dan pusing saat berinteraksi dengan aroma zat kimia 70,4%, bersin-bersin 40,8%, tangan alergi 69,4%, mata terkena asap 74,5%.
Di balik nama besarnya, batik menyimpan risiko yang begitu besar bagi pembuatnya. Persentase di atas rata-rata menunjukkan lebih dari 60%, itu berarti bahaya di atas kerap melanda para pembatik. Asap malam (lilin batik) sendiri dapat menyebabkan batuk kronis, sesak napas, bronkitis kronis, asma, serta kelainan fungsi paru. Asap rokok tidak jelas terlihat dampaknya hingga perokok tua, namun asap dari lilin batik ini akan jelas berdampak bagi pekerja. Ini menandakan bahwa dalam proses batik terdapat bahaya dan risiko yang sangat besar.
Saya sendiri bukan tidak cinta akan budaya bangsa ataupun tidak bangga akan batik. Pasalnya saya juga pernah bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan dengan program keahlian Desain dan Produksi Kria Tekstil konsentrasi Batik. Ini membuat saya paham akan sisi positif dan negatif bagi pekerja.
Banyak di antara sisi positif tersebut hanya dinikmati oleh pemilik usaha, sedangkan bahaya dari proses membatik tersebut lebih ditanggung oleh pembatik. Masih terlalu jauh jarak antara pendapatan pemilik dengan upah yang diberikan, membuat saya enggan bergelut lebih jauh dengan dunia batik. Persaingan yang ketat, kadang membuat pengusaha bersaing dengan tidak sehat.
Namun di balik semua itu, saya berharap ada sebuah solusi dari para pengusaha ini, yakni menyejahterakan para pekerjanya dan ikut dalam pelestarian lingkungan sehingga ke depannya Batik bisa tetap hidup dan tidak mematikan kehidupan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H