Siapa tak kenal dengan batik? Saya rasa setiap lapisan masyarakat di negeri ini tahu apa itu batik. Namun jangan salah, di balik keindahan dan nama besarnya, ternyata batik menyimpan sejuta problematika. Batik sendiri sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang bersifat tak benda. Artinya, batik itu sesuatu yang tidak dapat diraba namun dapat dirasa.
Saya lahir dan besar di Pekalongan. Kota dengan julukan Kota Batik itu memang sudah tak asing lagi bagi kita. Tidak salah jika kemudian Pekalongan disebut sebagai Kota Batik. Pasalnya memang di kota ini terdapat banyak sekali pengrajin Batik. Meskipun Batik lebih identik dengan Kota Jogja dan Solo, Pekalongan rasanya pantas disandingkan dengan kedua kota tersebut.
Pekalongan memiliki beberapa pusat penjualan batik, di antaranya adalah Pusat Grosir Setono, Pusat Grosir Pantura, dan International Batik Centre (IBC) and Craft. Di samping memiliki pusat penjualan batik, Pekalongan juga memiliki beberapa kampung batik yang menjadi pusat industri batik, antara lain Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Setono, dan Kampung Batik Wiradesa.
Ada sebuah keprihatinan yang saya rasakan di mana sebagian orang mungkin tidak mengetahuinya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan batik. Yang menjadi masalah adalah proses produksinya. Di sini saya mulai resah sebab sudah bertahun-tahun saya merasakan namun tak pernah ada perbaikan, yang ada hanya semakin buruknya keadaan.
Limbah Batik Layaknya Racun yang Mematikan
Jika kita melihat warna-warni batik yang beragam, pernahkah kita terpikir bahan pewarnanya? Semua yang digunakan dalam pewarnaan batik itu bahan keras yang bahaya. Setiap hari ada jutaan meter kubik air sisa pewarnaan batik. Bahkan ironinya lagi, sungai, parit, dan saluran-saluran air semua berwarna gelap. Hal ini pula yang akan berakibat pada kualitas air tanah. Bayangkan saja jika sudah puluhan tahun air tanah disiram dengan pewarna batik, jumlahnya tidak pernah menurun dan terus meningkat.
Ada beberapa pengusaha batik yang menggunakan pewarna alami, namun jika dibandingkan dengan yang menggunakan pewarna kimia mungkin tidak ada satu persen dari seluruh jumlah produksi. Alasan mahal, sulit didapat, dan sulit dalam proses, membuat para pengusaha enggan menggunakan pewarna alami. Selain itu, harga produk yang akan melambung juga tidak akan cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Sudah bertahun-tahun saya melihat sungai yang menghitam, melihat parit yang merah pekat, bahkan sudah terbiasa melihat pembuatan batik. Namun, tak ada yang dapat saya lakukan selain berdoa agar pencemarannya tidak cepat merusak lingkungan. Meskipun kenyataannya, lingkungan saya sudah mengalami kerusakan berat.
Upah Pekerja yang Mencekik