Akhir akhir ini sering terdengar berita penyanderaan. Masih berdengung di telinga kita, pelaut Indonesia kembali disandera di Filipina. Padahal baru berapa minggu yang lalu sandera dari kelompok abu Sayyaf dibebaskan. Kini sudah disandera lagi yang lain.
Ketua DPR, Ade Komarudin juga ikut berstatement “hal ini harus ada perhatian khusus, jadi tidak lagi disandera terus ditebus dengan uang lalu bisa disandera lagi.” Apapun yang beliau katakan intinya positif kok.
Bicara soal sandera menyandera, Indonesia juga bisa menyandera warganya sendiri. Alasannya tentu harus kuat, jika tidak bisa bisa negara ini dituntut balik. Sektor penerimaan negara paling besar memiliki kewenangan itu. Pajak menjadi organisasi khusus yang dapat melakukan penyanderaan. Emangnya abu Sayyaf aja yang bisa nyandera?
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan perintah penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang bandel. Kok bisa bandel? Karena Wajib Pajak ini pada gak mau bayar pajak. Penyanderaan atau biasa disebut gijzelling adalah upaya terakhir yang dapat dilakukan Fiskus dalam melakukan penagihan aktif kepada Wajib Pajak bandel.
Apa itu penagihan aktif? Penagihan adalah serangkaian tindakan agar wajib pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Jadi kalau negara yang nyandera, pasti gak akan sewenang wenang kaya abu Sayyaf. Menyandera Wajib Pajak bukanlah perkara gampang. Kasus penyanderaan juga termasuk jarang terjadi, tapi bukan berarti tidak pernah.
Sebagai contoh, di Kalimantan Barat pada tahun 2015 ada penyanderaan terhadap wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jumlah yang cukup banyak, namun masih terbilang wajar untuk wajib pajak orang pribadi.
Untuk dapat disandera, Wajib Pajak harus memiliki utang pajak sekurang kurangnya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jadi bagi para pegawai maupun para buruh, kalian tidak usah khawatir.
Biasanya penyanderaan ini dilakukan pada Pengusaha yang bandel maupun Pengusaha yang masa bodoh sama kewajiban perpajakannya, yang ujung ujungnya malah bikin utang pajaknya numpuk.
Apa saja serangkaian tindakan yang harus ditempuh untuk dapat menyandera Wajib Pajak?
Pajak Terutang
Kita awali dari proses bisnisnya dulu. Pajak ini sifatnya seperti utang yang akan ditagih kemudian hari. Secara kenyataan, para Wajib Pajak tidak pernah meminjam uang kepada negara namun karena pajak sendiri memiliki pengertian "Kontribusi Wajib" yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang jadi setiap warga negara harus patuh padanya.
Oleh sebab itu di dalam pajak ada istilah "Pajak yang Terutang", pajak inilah yang kemudian menjadi kewajiban Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk dilunasi.
SKP dan STP
Surat Ketetapan Pajak (SKP) merupakan surat ketetapan yang dibuat oleh fiskus yang isinya menetapkan kewajiban seorang untuk membayar pajak. Dalam proses normal, jika Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melapor kewajiban perpajakannya dengan benar dan tepat waktu, maka fiskus tidak akan menerbitkan surat ketetapan pajak ini sebab sistem self assessment mewajibkan fiskus untuk percaya terhadap apa yang dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Surat ketetapan yang akan ditindak lanjuti sebagai dasar penagihan aktif adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Surat Tagihan Pajak (STP) dikeluarkan apabila Surat Ketetapan Pajak tidak direspon oleh Wajib Pajak. Surat Tagihan Pajak ini akan menjadi awal penagihan yang dilakukan oleh fiskus.
Jatuh Tempo
Setelah dikeluarkan Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak memiliki kesempatan hingga satu bulan untuk melunasi utang pajaknya. Biasanya sebelum waktu satu bulan ini terlewati, Wajib Pajak akan mendapatkan himbauan dari fiskus untuk membayar utang pajaknya. Namun jika tidak dilunasi maka tindakan penagihan akan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Surat Teguran
Setelah tanggal jatuh tempo, Wajib Pajak masih diberi kesempatan hingga tujuh hari untuk dapat melunasi utang pajaknya. Namun jika dalam waktu tujuh hari setelah tanggal jatuh tempo Wajib Pajak tetap tidak mau membayar utang pajaknya, maka fiskus dapat mengeluarkan Surat Teguran. Setelah diterbitkannya Surat Teguran, Wajib Pajak masih diberi kesempatan hingga 21 hari untuk membayar utang pajaknya.
Surat Paksa
Jika dalam jangka waktu 21 hari setelah diterbitkannya Surat Teguran Wajib Pajak tidak kunjung melunasi utang pajaknya maka fiskus dapat melakukan upaya paksa. Upaya ini didasari dengan Surat Paksa yang dikeluarkan oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Terdaftar. Surat Paksa dianggap sah disampaikan apabila dibacakan dihadapan Wajib Pajak dan disaksikan oleh dua orang saksi yang telah dewasa.
Karena harus dibacakan, maka Surat Paksa ini tidak boleh dikirim lewat Pos atau jasa ekspedisi. Surat Paksa ini disampaikan oleh Juru Sita Pajak atau bagian Seksi Penagihan. Tidak jarang pula ada Wajib Pajak yang mengusir fiskus yang datang, jadi menyampaikan Suart Paksa memiliki tantangan tersendiri. Surat Paksa ini memiliki kekuatan hukum yang sama seperti putusan hakim pengadilan.
Penyitaan
Wajib Pajak kembali akan diberi kesempatan untuk melunasi utang pajaknya. Jangka waktu pelunasan adalah 2x24 jam sejak Surat Paksa disampaikan. Biasanya Wajib Pajak yang sadar akan melunasi utang pajaknya namun tidak jarang pulang ada Wajib Pajak bandel yang tetap tidak mengindahkan Surat Paksa yang disampaikan.
Penyitaan hanya dapat dilakukan apabila ada Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Wajib Pajak harus menolak apabila ada fiskus datang dan menyita barang barang miliknya tanpa dapat menunjukkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Ada banyak kemungkinan yang dihadapi oleh fiskus saat melakukan penyitaan. Diusir, tidak dibukakan pintu, dimarah marahi, dihadapkan dengan preman, hingga di todong senjata seperti sudah menjadi hal biasa. Kesulitan inilah yang sering terjadi, melakukan penyitaan tidak semudah membuat artikel ini. Namun inilah resiko yang harus dihadapi oleh para pelaksana undang-undang.
Lelang
Sebelum dilaksanakannya Lelang, Wajib Pajak masih diberi kesempatan selama 14 hari untuk melunasi utang pajaknya. Sebenarnya tujuan dilakukannya penyitaan bukan untuk langsung melelang barang yang disita. Penyitaan tersebut hanya sebagai jaminan agar Wajib Pajak atau Penanggung Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Namun jika memang kembali tidak ada respon dari Wajib Pajak, maka lelang dapat dilakukan. Jika hasil lelang masih tidak cukup untuk melunasi utang pajak, maka fiskus dapat kembali melakukan penyitaan.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasarkan permintaan dari pejabat (kepala KPP) di tempat wajib pajak terdaftar kepada Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh menteri atas permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan.
Pencegahan ini dilakukan untuk menghindari niat buruk Wajib Pajak yang bermasalah untuk kabur ke luar negeri. Pencegahan ini dilakukan paling lama selama enam bulan dan dapat diperpanjang hingga enam bulan. Jika pencegahan ini tidak dapat membuat Wajib Pajak sadar dan melunasi utang pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan upaya terakhir yaitu dengan Penyanderaan.
Penyanderaan
Ini merupakan upaya terakhir pemerintah untuk mendapatkan haknya, dalam hal ini adalah Direktur Jenderal Pajak. Penyanderaan sendiri memang sangat jarang terjadi. Hal ini disebabkan karena memang hanya Wajib Pajak yang memiliki sikap Masa Bodoh terhadap kewajiban perpajakannya yang akan disandera. Penyanderaan ini juga dimaksudkan untuk memberikan deterrent effect terhadap Wajib Pajak yang lain.
Penyanderaan sendiri dapat dilakukan paling lama selama enam bulan dan dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Itu artinya masa penyanderaan yang dilakukan oleh DJP paling lama hanya satu tahun. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak hanya akan dibebaskan dari penyanderaan saat ia telah melunasi semua utang pajak beserta biaya penagihannya.
Penyanderaan terhadap Wajib Pajak bandel ini, dilakukan di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Wajib Pajak bandel yang disandera akan mendapatkan sel khusus dan terpisah dari Nara Pidana yang lain. Hal ini dilakukan karena kasus yang dihadapi Wajib Pajak bandel bukanlah kriminal umum seperti Nara Pidana lain melainkan kasus khusus yang perlu penanganan dan perlakuan khusus.
Mengingat panjangnya proses dan lamanya waktu yang harus ditempuh oleh DJP, maka para pelaksana undang undang juga sangat berhati hati jika ingin menyandera Wajib Pajak. Mengingat semua proses penagihan juga harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya gugatan yang mungkin timbul akibat kesalahan prosedur.
Jadi, masihkah anda bandel dan tidak peduli dengan perpajakan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI