Gunung Prau 6 mei 2016 (Photo from Amin Solihin)
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Dari kutipan di atas jelas di gambarkan bahwa seorang Soe Hok Gie mendaki gunung untuk lebih mencintai tanah air Indonesia. Lalu apa tujuan dari para pendaki gunung sekarang?Banyak yang mengatakan bahwa “Tidak semua pendaki gunung adalah Pencinta alam dan Pencinta alam tidak harus seorang pendaki gunung.”
Ternyata pikiran para pendaki sekarang jauh dari apa yang pernah dipikirkan oleh seorang Soe Hok Gie. Banyak pendaki sekarang hanya mengikuti tren, awal tren pendaki dadakan ini adalah setelah dirilisnya film 5 cmyang kala itu laris manis di bioskop. Berawal dari film itu pula munculah pendaki pendaki alay, pendaki kekinian, dan banyak lagi pendaki pendaki yang benar benar tanpa pengetahuan pendakian. Mereka juga tidak pernah memperdulikan keselamatan diri.
Tujuan pendakian mereka bukan untuk mencintai tanah air Indonesia ataupun merasakan lebih dekat kehidupan masyarakat di kaki gunung. Mereka mendaki hanya untuk diri sendiri dan yang paling disayangkan adalah kerusakan yang ditimbulkan dari para pendaki ini. Jika dalam satu gunung ada lebih dari 1000 orang dalam waktu yang bersamaan, maka bisa dibayangkan seberapa banyak sampah yang di bawa dan yang di tinggalkan.
Ada banyak sekali perubahan di dunia pendakian saat ini, khususnya untuk gunung gunung di pulau Jawa. Mungkin masa terakhir kita dapat merasakan ketenangan di gunung adalah di tahun 2010 atau 2011. Sebab untuk hari biasa gunung bisa di bilang sangat sepi bahkan dulu gunung hanya ramai saat ada pendakian massal. Jumlahnya sungguh sangat jauh di banding dengan keadaan pendaki sekarang, dulu pendakian massal pesertanya hanya sekitar 100-250 orang saja. Jumlah itu dulu sudah termasuk sangat banyak, tapi sekarang? Jauh melampaui dari sebuah pendakian massal.
Bahkan saya masih ingat pendakian yang saya lakukan di awal tahun 2012, itu pun masih sangat sepi. Hanya ada kami ber-8 dan 2 warga lokal yang ikut mendaki. Selama perjalanan kami benar benar merasakan lebatnya hutan, dinginnya angin malam, dan mencekamnya suasana malam di dalam hutan. Tapi saat ini? Seperti perkemahan atau jambore yang diadakan oleh kwartir ranting atau kwartir cabang.
Yang membuat saya terheran heran saat teman yang sehari hari berada di pondok pesantren dan sudah bertahun tahun disana, tiba tiba kemarin ikut ikutan mendaki. Tak tanggung tanggung Gunung Semeru yang menjadi tempat pendakiannya. Alat alat Pendakian saya semua di pinjam, padahal saya sudah banyak mengingatkannya untuk membekali diri sebelum melakukan pendakian namun yang namanya gejolak remaja sangat susah untuk di control.
Yang sudah tidak lagi mengherankan adalah untuk saat libur panjang seperti sekarang ini. Sudah dapat dipastikan ini seperti panen rejeki bagi mereka mereka yang mempunyai bisnis di balik pendakian. Alat alat pendakian sekarang sudah dapat di sewakan kepada siapa saja, kapan saja, dan berapa lama, asal sesuai dengan kesepakatan maka Styleseorang pendaki sudah melekat pada diri seseorang yang tidak tahu menahu tentang pendakian.
Gunung yang sangat favorit di pulau Jawa antara lain, Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Ciremai, Gunung Prau, Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, Gunung Bromo dan tentunya Gunung Semeru dengan puncaknya Mahameru. Di gunung Semeru pula seorang Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya dan menjadi korban pertama pendakian gunung tersebut.