Merasa bersalah, Dina menunduk dan mengangguk, "Baik, pak." Ia lalu berdiri dan mohon diri. Namun ternyata pak bos belum selesai.
"Saya belum selesai. Masih ada yang ingin saya bicarakan. Duduk, Dina."
Pak bos bangkit dan berjalan ke kiri, membuka filling cabinet dan mengambil satu dokumen. Dokumen itu tebal dan dipenuhi berkas - berkas. Ia berkata.
"Ini adalah berkas - berkas dari tahun 2019 hingga 2020. Semua investor yang pernah menanam modalnya di perusahaan ini, baik perorangan juga perseroan. Kamu bisa untuk analisis semuanya ini malam ini, bukan?"
Kali ini Dina merasa tak sanggup. Ia berkata terbata - bata. "Tap, tapi, pak, tugas saya untuk membuat laporan neraca keuangan belumlah selesai, juga perbaikan tugas ini. Saya..."
Pak bos memotong, "Tidak sanggup? Ya sudah, kalau tidak sanggup, kamu berhenti saja. Mudah, bukan?"
Dina terdiam dan menunduk. Ia tahu ia tidak bisa berkutik. Namun ia mencoba memberikan alasan.
"Saat ini Mba Harum sedang cuti, workload sedang tinggi - tingginya, pak. Jika saya tidak ada, tentu Renny akan kelimpungan. Bapak membutuhkan saya."
Pak bos tertawa culas. "Apakah kamu tidak tahu bahwa HRD setiap hari memberikan rekomendasi kepada saya untuk rekrutan baru? Sudah banyak yang ingin mengantri di perusahaan ini. Jangan coba - coba melunjak, Dina."
Dina semakin menunduk dan gelisah. Ia menengok ke arah jam dinding. Pukul delapan malam. Mengerjakan tugas dari pak bos akan membuatnya di sini sepanjang malam. Ia tidak bisa berbuat apa - apa selain menuruti kehendak pak bos.
"Baik, pak. Baik. Saya akan coba selesaikan ini semua hari ini."