Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Penjual Mainan

9 September 2020   16:11 Diperbarui: 9 September 2020   16:19 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: denpasarkota.go.id

"Seratus ribu, mi. Ini untung kita yang paling besar dalam seminggu. Bisa bayar uang sekolah Ansyori!"

"Lalu bagaimana dengan utang Pak Nurmadi? Kapan kita mau bayar?"

Perasaanku langsung tidak enak. "Ya, itu bisa kita pikirkan lain kali, Mi. Masih ada hari esok."

Ansyori yang menyadari bahwa orang tuanya mungkin akan bertengkar lagi langsung pergi ke belakang, lenyap dari pandangan. Sementara itu Mimi masih belum selesai dengan tuduhannya.

"Tadi pagi anak Pak Nurmadi, si Deden, sudah datang ke rumah ini. Dia gedor -- gedor pintu depan. Kencang sekali, loh, pak. Untungnya Ansyori masih di sekolah. Lalu, kau tahu aku ada di mana? Aku ada di belakang, sedang mencuci. Aku ketakutan setengah mati! Aku tidak berani membuka pintu."

Titik air mata mulai mengucur turun dari wajah Mimi. Aku tidak tega melihatnya, segera mendekap tubuhnya ke dalam pelukanku. Namun, ia menyergah dan mendorong tubuhku.

"Kita tidak bisa hidup seperti ini terus, bang. Pikirkan! Pikirkan bagaimana kita bisa hidup kelak, bagaimana masa depan dari Ansyori. Toko mainan konyolmu itu tidak bisa menghasilkan banyak! Tutup saja, dan cari usaha yang lain."

Di tengah emosi yang meluap ia berbalik badan dan hendak melangkah ke belakang. Namun kemudian ia menatapku kembali dan berteriak, "Pikirkan!" sebelum akhirnya benar -- benar melangkah ke belakang, ke balik tembok.

Aku menarik napas dalam. Ruang tenggorokanku sudah basah oleh air, tanda sebentar lagi aku pun juga akan menangis. Namun kucoba tahan sekuat tenaga. Kartun spongebob masih tayang di tv. Kali ini aku benar -- benar yakin, karena aku melihat Tuan Crab memegang segepok duit dollar di kantornya. Ia terlihat bahagia sekali. Ah, seandainya aku bisa menjalankan usaha seperti Tuan Crab yang laris manis. Aku pun melangkah menuju belakang.

Tidak ada Mimi, istriku yang sakit hati itu. Mungkin ia sedang berada di kamar dan menangis. Yang ada adalah Ansyori, sedang makan kuah di mangkok, di atas meja makan. Ia terlihat merenung, menyendok kuah dengan enggan. Aku memundurkan kursi, dan duduk di sebelahnya.

"Ayah tidak apa -- apa, kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun