Pk 21.20.
"Mahmud Syahmuni sialan! Mahmud sialan! Sampah!"
Di sebelahku, Charles tiada hentinya mengumpat. Kami berjalan selangkah demi selangkah, di sebuah trotoar perumahan yang menanjak naik. Angin kencang bertiup, membuatku menutup badan rapat -- rapat dengan jaket kulitku. Charles tidak memakai jaket, melainkan jas polisi biasa. Itulah asal mula kutukannya, yang pertama.
Yang kedua, mobil kami tidak boleh masuk perumahan ini. Ya, cukup aneh. Walaupun aku telah menunjukkan ID polisi. Padahal komplek perumahan ini tidak elit -- elit amat. Aku yang tidak ingin berlama -- lama karena ingin segera melihat TKP, akhirnya mengalah dengan sekuriti depan. Lagipula, Mahmud bilang rumah itu cukup dekat, jadi kutinggalkan mobil di depan. Kenyataannya, jalan menanjak dan angin menjadi beban penghalang kami.
Yang ketiga, sudah jam sembilan malam. Gelap. Hujan. Angin. Kadang guntur. Bahkan kami berjalan dengan bantuan senter, walau ada penerangan di kanan kiri. Ini adalah cuaca terburuk dalam menjalankan tugas detektif.
Tubuhku termasuk lemah. Sejam saja aku berdiam dalam cuaca seperti ini, aku yakin lusa pasti sakit. Setengah dari diriku setuju dengan Charles yang mengumpat akibat telepon dari Mahmud sejam yang lalu, bahwa telah terjadi pembunuhan.
Dengan mengabaikan keluhan -- keluhan Charles, akhirnya kami tiba di rumah yang dimaksud. Rumah itu cukup besar, terdiri dari dua tingkat. Tebakan pertamaku adalah rumah itu bukanlah rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya, karena semua masih terlihat seperti baru.
Di tengah remang -- remang lampu taman, aku melihat rumput yang rapi, cat rumah yang masih putih, pintu kayu yang berwarna cokelat terang. Mungkin penghuninya hanya memakai untuk pelesiran saja.
Mahmud menunggu kami di pintu gerbang dengan muka mengernyit. Kata -- kata pertamanya langsung memantik emosi.
"Kalian tidak memakai mobil ke sini?"