"Masalah biasa, pak. Duit. Nebula baru saja melahirkan, tapi suaminya juga baru diPHK. Mereka butuh uang. Sementara pekerjaannya cuma pegawai laundry. Yah, begitulah. Kami sering mendengar Pak Tukiman berteriak "Tanya saja kepada orang tuamu" berkali -- kali. Tidak enak, pak. Kami tahu karakter Pak Tukiman. Orangnya penyabar. Maka jika ia sudah seperti itu, berarti Nebula sudah kelewat batas."
"Betul, betul, pak." Orang di antrian kembali menyahut, kali ini seorang pemuda belasan tahun.
Aku kembali mendesah karena kasus menjadi sulit jika sentimen bermain. Charles paham ini, ia mengambil alih. "Ada bukti bahwa Nebula datang ke kamar Pak Tukiman pagi ini antara jam delapan hingga jam sepuluh?"
Orang di antrian menyahut, kali ini ibu -- ibu judes, "Ada pak. Aku melihat sekelebat bayangannya dari balik pintu. Ia masih memakai baju yang sama seperti malam kemarin. Baju dress hitam panjang. Malam kemarin, mereka bertengkar hebat."
Aku menatap Bu Aminah meminta jawabannya, namun ia menunjuk ibu -- ibu judes, "Kalau Yoanna sudah berkata, aku percaya padanya. Matanya setajam elang. Kupingnya setajam kucing. Tidak ada penglihatan atau gosip yang luput dari inderanya."
"Ibu sendiri, apa ibu melihat Nebula pagi ini?"
"Tidak, aku tidak melihatnya. Pintuku tertutup. Tapi aku bisa mencium aroma parfumnya dari balik pintu. Itu benar -- benar Nebula datang mengunjungi Kiman. Aku bisa memastikannya."
Aku sedikit menepuk meja tanda kekesalan, "Baiklah, apa ada lagi keterangan yang ibu ingin sampaikan?"
"Ada lagi, pak. Sekitar seminggu lalu Nebula membawa anaknya, terbungkus selimut, untuk menarik simpati dari Pak Tukiman. Berisik sekali, pak, anak itu. Menangis sepanjang lorong. Tetangga -- tetangga pun keluar kamar semuanya."
"Bagaimana hasil dari pertemuan itu?"
"Kami tidak tahu, Kiman tidak mau membicarakannya dengan kami. Namun melihat Nebula keluar dengan tampang kusut, aku tahu ia tidak dapat duit Pak Tukiman. Pasti. Aku berani jamin."