Angin bertiup semilir di pantai Surangga, menghembuskan aroma laut yang tajam ke daratan. Seorang gadis mungil berusia belasan memanggul keranjang di punggungnya, memungut kerang -- kerang kecil yang tersebar di pasir, berserak tidak beraturan.
Tangannya yang mungil hampir tidak ada bedanya dengan pengait besi yang ia gunakan untuk memungut kerang -- kerang itu. Di sore hari, Tuan Tono akan datang, lalu memberinya upah lima ribu per kilogram sesuai dengan yang ia kumpulkan hari itu.
Namanya Dina. Rumahnya tidak jauh dari pantai itu, di sebuah tebing yang menjorok ke laut, di bawah sebuah pohon waru besar yang melindungi rumah dari angin kencang. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang juga pemungut kerang, juga adiknya yang masih kecil, masih berusia lima tahun.
Adiknya, Anjani, walaupun masih kecil, suka berjalan -- jalan ke tempat jauh. Dina kadang dibuat pusing olehnya. Hari ini, ibunya mengawasinya seharian, sambil bekerja memungut kerang.
Langit ungu kebiruan bercampur dengan lembayung merah menjadi pemandangan yang indah di sore itu. Beberapa orang terlihat bercengkerama di pinggir pantai. Ada yang bermain bola plastik, ada yang bermain ombak, ada yang bermain layangan. Ada orang tua, ada anak -- anak.
Semuanya terlihat ceria. Dina tersenyum senang. Walaupun ia tidak bermain -- main, namun memerhatikan orang -- orang itu bahagia adalah sebuah kesenangan tersendiri. Tidak pernah, atau jarang, ia menyaksikan orang menangis di pinggir pantai. Lagipula, hari ini pungutannya ada banyak. Ia sudah membayangkan duit dua puluh ribu di akhir petang nanti.
Duit dua puluh ribu itu bisa berarti banyak. Sudah lama ia membayangkan untuk makan es krim lolipop Inferno seharga lima belas ribu. Tapi kemudian dia ingat bahwa adiknya sudah sering merengek untuk dibelikan mobil ambulans. Mainan yang kalau digesek ke belakang, tiba -- tiba bisa meluncur ke depan dengan kencang. Dina menghembuskan napas. Mungkin es krim bisa dinanti minggu depan.
Dina berjalan dengan bersenandung. Judulnya Musim Kemarau. Dinyanyikan oleh Angelina Bara. Ia punya kasetnya, sering ia dengar malah hari di radio kepunyaannya. Ia menemukan radio itu di pinggir pantai, di sela -- sela tumpukan dahan pohon. Mungkin ada yang membuangnya.Â
Mungkin sisa -- sisa terbawa arus ombak. Dina tidak peduli, radio itu kepunyaannya sekarang. Ia melirik beberapa orang yang memainkan handphone dan sering membayangkan seperti apa rasanya mendengarkan lagu dari barang aneh itu.
Hatinya sedang senang. Sesekali ia berjalan dengan melompat. Sesekali berjingkrak. Namun keceriaannya terpecah. Sebuah teriakan terdengar. Dari arah timur, sekumpulan anak menunjuk -- nunjuk ke arah laut. Nampaknya mereka sedang bermain bola, ada bola plastik di salah satu tangan anak -- anak itu. Namun telunjuk mereka membawa bencana. Seorang anak timbul tenggelam di tengah laut. Dan ia cukup jauh.
Orang -- orang segera berkerumun. Wajah mereka terlihat panik dan cemas. Beberapa sudah berteriak -- teriak. Anak itu pun terbawa semakin jauh ke tengah. Namun tidak ada satu pun yang menghambur ke laut. Arus cukup kencang, dan ombak juga sama. Tidak ada, bahkan orang dewasa, yang berani terjun ke laut. Hanya ada dua orang.
Sepertinya itu orang tuanya, pikir Dina, karena mereka terlihat sangat khawatir. Namun dua orang dewasa ini hanya sampai sebatas pinggul saja. Arus ombak terlalu ganas. Entah mengapa sore itu angin bertiup sangat kencang sehingga ombak pun meninggi. Biasanya tidak seperti itu.
Namun Dina tahu bahwa ia dapat mengatasi ombak itu. Ia adalah perenang handal. Seluruh hidupnya dihabiskan di pantai. Teman -- temannya sering memujinya karena ia bisa mengambil kerang di dasar laut yang cukup jauh dari tepi pantai.
Tanpa pikir panjang ia pun segera berlari ke arah laut, ke arah bocah yang nyaris terbawa arus. Kini hanya tinggal tangannya yang timbul tenggelam.
Dina memastikan dengan matanya posisi sang anak sebelum ia menceburkan diri ke dalam laut. Pada saat tubuhnya menyentuh air, ia baru ingat bahwa masih ada keranjang di punggungnya. Dengan berat hati, ia melepaskan keranjang itu untuk terbawa arus air. Ia juga kini melupakan es krim lima belas ribunya, juga mobil ambulans keinginan adiknya. Ia berenang dan terus berenang, mencari anak tenggelam di dalam air. Ketemu! Di sana dirinya.
Arus yang kencang membuatnya berusaha dua kali lebih melelahkan daripada biasanya. Terlebih kini ia membawa tubuh sang anak. Pada akhirnya ia berhasil membawanya ke tepi pantai sambil melawan arus. Ia sangat lelah dan berharap orang -- orang berterima kasih padanya. Namun bukan itu yang didapatkannya.
Orang -- orang berkerumun di sekitar bocah, memeriksanya apakah ia kekurangan sesuatu atau mengalami cedera. Ketika ia terbatuk -- batuk dan memuncratkan air, orang bersorak gembira. Artinya ia tidak apa -- apa. Pelukan demi pelukan didapatkannya. Ia lalu digendong dan digelandang menjauh dari pantai bersama kerumunan orang, termasuk teman dan keluarganya.
Namun Dina ditinggalkan seorang diri. Tidak ada yang berterima kasih padanya. Tidak ada yang memeluknya. Tidak ada yang menghampirinya dan juga ikut bersedih karena ia tidak jadi dapat dua puluh ribu pada hari itu. Perlahan -- lahan, ia merasakan kekuatannya hilang.
Di pinggir ombak kencang, ia terduduk dan menangis. Ombak pun perlahan -- lahan menariknya ke tengah. Ia merasa tidak ada yang peduli dengannya. Kalau ia mati pun, tak apa -- apa. Toh, dunia tidak akan mengakuinya.
Ia mau mengakhiri hidupnya. Arus laut akan membawanya menuju alam baka. Hanya tinggal kepalanya, dan sesudahnya adalah kegelapan. Namun, di penglihatan terakhirnya di dunia, ia melihat sesuatu yang unik. Anjani sedang berjingkrak -- jingkrak di kejauhan.
Nampaknya ia baru pulang dari mengunjungi gua. Mungkin ibunya juga kecolongan untuk mengawasinya. Anjani terlihat gembira. Ia memegang sesuatu di tangannya. Dan Dina tahu itu. Itu adalah mobil ambulans impiannya! Entah dari mana ia bisa mendapatkan itu. Siapa yang membelikannya?
Dina ingin tahu. Dina ingin tahu siapa yang sudah membelikannya mobil ambulans. Dina ingin mengenal siapa yang sudah berbaik hati membelikan sebuah pembelian yang begitu berharga. Apakah itu orang tuanya? Mungkin saja. Tapi Dina ingin tahu.
Dan bersamaan dengan itu, ia mengangkat dirinya dari dalam air. Ia paham bahwa ia akan mendengar adiknya tertawa senang dalam satu jam ke depan. Ia tahu bahwa ia akan bercerita tanpa henti. Ia merindukannya.
Ketika ia berjalan menjauh dari air pantai, ia menemukan keranjang miliknya. Entah bagaimana itu bisa terdampar kembali ke pantai, padahal arus cukup kencang. Entah bagaimana pula, isinya masih utuh. Malahan bertambah berat.
Ada beberapa kerang tambahan. Namun Dina tidak peduli. Baginya saat ini, kisah adiknya adalah segalanya. Dengan memanggul keranjang, ia berjalan kembali. Arahnya pasti.
Ia kembali bersenandung. Judulnya berbeda. Kali ini Rumah Pantai. Masih karangan Angelina Bara. Kini arahnya jalannya pasti. Ia sedang menuju ke rumah.
***
***
Tulisan lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H