Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sariwanadhira, Sang Putri Raja

27 Mei 2020   10:00 Diperbarui: 27 Mei 2020   09:58 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Tolong kalian bersiap -- siap. Besok kita akan mengadakan upacara untuk menghormati mendiang anakku. Umumkan kepada para pendeta kuil dan kepada seluruh bupati kerajaan Sriwijaya agar menyiapkan peralatan dan menghadiri upacara besok sore." kata raja yang dibalas dengan anggukkan Vijayasastra dan kepala dayang. 

Dharanindra memanggil Sanggabuana, patihnya. "Aku ingin menyiapkan sebuah catatan, mungkin surat, untuk anakku Samagrawira, yang sedang dalam perjalanan dari Medang. Aku ingin kau menyimpan catatan ini dan memberikan padanya pada saat aku telah tiada atau ketika kerajaan dalam kondisi terdesak. Dengan kata lain, surat warisan. Sekarang, mari kita menuju ruanganmu untuk menulis surat tersebut."

Sanggabuana mengangguk. Mereka berjalan pelan menuju ruang patih, meninggalkan dayang -- dayang yang sedang meminyaki dan memberikan wewangian kepada jasad Sariwanadhira. Raja tidaklah tahu bahwa sang patih langsung menyerahkan catatan itu esok harinya kepada Samagrawira yang baru datang dari tanah Jawa bersama Balaputradewa.

Dharanindra menoleh sesaat melihat Sariwanadhira, membayangkan upacara besok. Aku tidak akan menunjukkan wajah sedih di depan rakyatku. Mereka akan mengerti. Namun Dharanindra bukanlah tuan atas takdirnya. Samagrawira datang tepat keesokan harinya bersama pasukan lautnya, hanya untuk menyaksikan seluruh rakyat berkabung meratapi sang raja dan adiknya berpulang ke khayangan. Serta sebuah surat yang ditinggalkan raja membuatnya menangis keras -- keras dan berteriak di akhir upacara "NUSANTARA ADALAH MILIK SRIWIJAYA!" yang disambut gegap gempita seluruh pendeta, bupati, dan prajurit yang menghadiri upacara.

Sanggabuana menyiapkan perkamen dan mencelupkan bulu ke dalam tinta hitam. Ia menoleh kepada raja tanda siap untuk menulis surat. Raja mengangguk dan mendiktekan setiap perkataan untuk kemudian ditulis menjadi sebuah surat oleh Sanggabuana. Sebuah surat yang akan menyebabkan perang terhebat di tanah Jawa dua puluh tahun mendatang.

 Untuk Anakku, Samagrawira, atau Rakai Warak, semenjak engkau berada di Kerajaan Medang.

Hari ini aku menyaksikan adikmu terbunuh. Ya, adikmu. Di depan mataku sendiri. Anehnya, aku tidak berusaha menyalahkan siapapun. Entah siapa yang melepaskan Rahwana, pembunuhnya. Namun aku mengampuni mereka. Tahukah engkau mengapa? Karena nyawa satu orang terlalu sayang untuk ditukar dengan seluruh penduduk Kerajaan Sriwijaya. Mungkin engkau marah karena engkau menganggap aku tidak menghargai nyawa adikmu. Marahlah, karena percuma, aku pun sudah tiada saat engkau membaca tulisan ini. Tetapi Kerajaan Sriwijaya tetap ada. Percayalah, aku sangat sayang dengan anak bungsuku itu. Oleh karena itu aku mengutus engkau, bukan dia, untuk berkelana ke tanah Jawa.

Kerajaan Sriwijaya besar. Perhatikan kalimat itu, anakku. Aku tidak menyertakan awalan atau kata lain di depan kata besar, karena memang Kerajaan Sriwijaya adalah yang terkuat di nusantara. Aku yakin engkaupun akan menjadi raja yang besar, aku tahu didikanku tidak pernah salah. Aku pun ingin Balaputradewa menjadi penerus cita -- cita ini: bahwa Kerajaan Sriwijaya telah besar dan akan selalu besar. Aku tahu bahwa ia sedang menikmati masa mudanya, begitu pula dengan Samaratungga yang aku instruksikan menjadi pemimpin sementara di tanah Jawa.

Aku tidak meminta engkau untuk menyatukan Nusantara. Sriwijaya terlalu lemah untuk itu. Tahu semboyan kita: dimanakah lawan dapat bersembunyi, jika pulau sudah dikepung? Masih banyak pulau lain yang belum terjelajahi oleh kekuatan laut Sriwijaya, sekalipun kepintaran melaut kita adalah yang termaju di Nusantara. Selain itu, masih ada duri dalam daging seperti musuh lamaku, Kudungga, yang berulang kali mengatur kapal -- kapal perangnya ibarat nyamuk bising yang menganggu.

Yang aku minta adalah, anakku, perkuatlah kekuatan pasukan daratmu, dan itu akan menjadi rahasia kita saat menyerang. Aku yakin musuh akan terkejut saat mengetahui kekuatan laut dan kekuatan darat Kerajaan Sriwijaya sama kuatnya. Vijayasastra akan membantumu dalam melatih, serta Sanggabuana akan menjadi patihmu.

Terakhir, aku mencintai kerajaan ini. Dari Langsa hingga Malayur, aku menyukai orang -- orangnya. Ah, satu lagi saran dariku saat engkau jadi pemimpin, berpihaklah kepada orang -- orang lemah, maka mereka berbalik akan mencintai engkau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun