"Bahkan ayahmu pun belum naik tahkta. Kau bermaksud mendahului ayahmu?" Kalimat tersebut diakhiri dengan sebuah tawa dan diikuti tawa dan cemoohan seluruh rakyat yang mendengarkan di kerumunan.
Sang pemuda tidak dapat mengendalikan emosinya. Ia berlari menuju tepi panggung, melompat, dan menerjang ke arah kerumunan. Perkelahian tidak dapat dihindarkan. Ia memukul dan menendang ke segala arah, berusaha menjatuhkan setiap orang yang ia temui dengan bogem mentahnya. Balasan pun ia terima, beberapa orang di kerumunan mulai menghujamkan pukulan dan tendangan ke arahnya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama setelah tiga orang dengan memakai baju besi berlari ke arah kerumunan, mengeluarkan pedang, dan berusaha melerai sang pemuda dengan kerumunan.
"Cukup! Hentikan semua ini. Sekarang bubar!" ujar salah seorang berpakaian besi.
Rakyat yang berada di kerumunan tersebut kemudian membubarkan diri dan melanjutkan kegiatan mereka seperti biasa, meninggalkan sang pemuda bersama para penjaganya. Sang pemuda masih tersujud, berusaha memulihkan keadaan. Darah segar mengalir dari mulutnya.
"Kau ini, sudah kuperingatkan. Persiapkan dulu perkataanmu, baru melangkah menuju panggung pasar. Lihat apa yang terjadi saat kau main asal tembak saja. Setidaknya bogem dan tendangan tadi menjadi peringatan."
Salah seorang penjaga bertubuh besar membantu mengangkat sang pemuda berdiri. Ototnya yang kuat dan besar mampu mengangkat sang pemuda hanya menggunakan satu lengan saja.
"Aku tidak apa -- apa. Cukup. Aku bisa berjalan sendiri."
Seorang penjaga lainnya berucap,"Benar -- benar khotbah yang buruk. Apa -- apaan tadi? Aku tidak dapat menangkap intinya."
Ketiga orang lainnya menatap penjaga tersebut. Yang ditatap kemudian melanjutkan perkataanya.
"Dan tentunya khalayak yang buruk pula. Mereka harusnya mendukung putra mahkota dalam menjunjung semangat kebersamaan di Kerajaan Kutai."
"Hina kerajaan ini dan kepalamu tidak akan tinggal lama di atas tubuhmu itu."