Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Review Buku] "Max Havelaar"

5 Januari 2019   10:13 Diperbarui: 5 Januari 2019   12:43 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Max Havelaar dimulai dari karakter seorang makelar kopi di kota Amsterdam, Belanda, yang bernama B. Droogstoppel. Tuan Droogstoppel merupakan pebisnis kopi yang sukses, hidup berkelimpahan, dan memiliki keluarga baik -- baik serta taat kepada Tuhan. 

Dalam menjalankan bisnisnya ia selalu mengedepankan kebenaran, kejujuran, dan tentu saja, untung dan rugi. Jika ada sesuatu yang berada di luar penalarannya, maka Droogstoppel tidak segan -- segan untuk mempertanyakan dan mencari kebenarannya.

Pada suatu ketika, Tuan Droogstoppel menemui seseorang yang berpenampilan kumuh, mengenakan syal pada lehernya. Setelah mengingat -- ingat, ia mengenalnya sebagai teman masa kecilnya. Namun kini setelah melihat penampilan sahabatnya, yang kita sebut saja Mr Sjaalman karena mengenakan syal, Droogstoppel menghindarinya karena sahabatnya itu terlihat miskin dan tidak baik untuk kelangsungan bisnisnya. 

Perkiraan Droogstoppel tepat, karena keesokan harinya ia menemukan tumpukan manuskrip di depan rumahnya. Manuskrip -- manuskrip itu kepunyaan Sjaalman, dan ia memintanya untuk menerbitkan buku. Pada awalnya Droogstoppel tertarik, karena beberapa catatan di dalamnya adalah tentang informasi perdagangan kopi Hindia Belanda, seperti kopi Cirebon. 

Namun ternyata, setelah ia meminta kerabatnya untuk menyusun manuskrip -- manuskrip menjadi keutuhan cerita, ditemukan suatu kisah kelam yang terjadi jauh di daratan timur sana. Di sinilah kisah yang sebenarnya tentang Max Havelaar dimulai.

Max Havelaar mengisahkan tentang seseorang bernama sama, yang merupakan seorang asisten residen (wakil Belanda untuk pemerintahan kolonial, setara dengan bupati) di Hindia Belanda. Pada awalnya ia merupakan asisten residen di Natal, kemudian dipindahkan menuju Lebak karena permasalahan dengan Gubernur Jenderal. 

Menjabat mulai dari sangat muda, Max Havelaar mempertahankan idealisme dalam karakternya. Ia tidak tahan dengan penderitaan orang. Seringkali ia menderita karena mengorbankan diri, seperti meminjamkan uang kepada seseorang yang terjerat hutang rentenir. Akibatnya Max Havelaar dan istrinya hidup miskin. Namun ia tetap mempertahankan prinsip hidupnya.

Max Havelaar bukanlah orang bodoh. Ia tahu keputusannya sering merugikan diri sendiri. Ketika ia mulai menjabat sebagai asisten residen Lebak, ia mengumpulkan bupati dan para demang, kemudian mengucapkan sumpah untuk mempertahankan kebenaran sekuat tenaga. Menurut saya inilah salah satu kisah penting di buku ini. 

Orang -- orang menilai bahwa Max Havelaar merupakan buku yang membuka mata tentang kolonialisme di Indonesia. Sebagian besar buku sejarah (termasuk buku -- buku yang saya baca ketika SD dulu, hehe), menyatakan bahwa Belanda BERTANGGUNG JAWAB PENUH atas kolonialisme di Indonesia. Kenyataannya tidak seperti itu. Ucapan Max Havelaar di depan para pemangku jabatan pribumi memberi kesan bahwa mereka pun ikut andil dalam menindas rakyatnya sendiri.

Ucapan ini diperkuat dengan kisah -- kisah selanjutnya, seperti ketika bupati harus mempekerjakan ratusan orang di kebun tanpa bayaran untuk membayar upah kepada Belanda, dan ia sendiri mendapat porsi yang cukup besar. Gaya hidup mewah bupati membuatnya harus menyediakan pesta besar ketika Bupati Cianjur datang berkunjung, lagi -- lagi dengan mempekerjakan orang tanpa upah. 

Dan Max Havelaar memahami bahwa hidupnya dalam bahaya, ketika ia mengetahui bahwa asisten residen sebelumnya ada kemungkinan diracun oleh salah satu demang, akibat berupaya mempertahankan keadilan.

Keunikan lainnya, Max Havelaar suatu kali memberikan perumpamaan lukisan: seseorang mengintip dari lubang tembok kastil dan melihat di dalamnya ada seorang wanita yang hendak dihukum gantung. Sang pengintip menyangkal sekuat tenaga fakta yang tersaji di depan matanya. Perumpamaan ini merupakan kiasan bagi orang Eropa atas Hindia Belanda. 

Pada buku ini Eropa diwakilkan dengan Tuan Droogstoppel yang menyangkal sekuat tenaga kebenaran yang ditampilkan oleh Mr Sjaalman, dan menghubungkannya dengan keadilan Tuhan.

Kisah Saidjah dan Adinda yang dikisahkan Max Havelaar kepada teman -- teman sekompatriotnya adalah kisah yang sangat sedih. Berumur masih sangat muda, berulang kali ketidakadilan terjadi pada kedua orang ini. Namun, perampasan seakan sudah menjadi suatu kewajaran bagi umat Jawa. Kisah ini dibebat dengan percintaan yang merundung duka pada akhirnya. Dan semua akibat kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Max Havelaar ditutup dengan sang asisten residen yang memberikan surat pengunduran diri kepada Gubernur Jenderal karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang terjadi kepada pribumi. Pertentangan batin Max Havelaar di sini adalah ketidakmampuan dirinya untuk membela khalayak, mengaku bahwa diri sendiri hanyalah orang tidak berdaya menentang sistem. Sementara itu kolonialisme tetap berlangsung dan masih akan berjalan kurang lebih seratus tahun lagi.

Max Havelaar ditulis oleh E. D. Dekker dengan nama pena Multatuli. Multatuli sendiri adalah mantan asisten residen Lebak, maka Max Havelaar adalah pengejawantahan dirinya. Teknik penulisan Max Havelaar cukup unik. Multatuli mengisahkan dirinya sebagai Mr Sjaalman yang hidup sangat miskin, (memang benar demikian setelah ia kembali ke Belanda), yang menulis buku dan memberikan manuskrip bukunya ke berbagai macam penerbit (seperti yang terjadi di dalam cerita dengan Droogstoppel), kemudian Mr Sjaalman menulis tentang Max Havelaar. 

Teknik yang saya sebut sebagai writing-ception ini mengagumkan dan cukup unik. Gaya bahasanya memusingkan pada awalnya, namun jika pesannya dimengerti oleh pembaca maka dampaknya tidak akan terlupakan. Saya tidak melebih -- lebihkan. Max Havelaar adalah salah satu buku yang saya puas dalam membacanya.

Sebaik -- baiknya buku adalah yang menyampaikan pesannya dengan baik. Terima kasih, Multatuli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun