Mohon tunggu...
Theodorus Tjatradiningrat
Theodorus Tjatradiningrat Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendeta dan Gembala Jemaat di GPdI House Of Blessing Jakarta

Saya seorang yang suka membaca, menonton film (sendiri atau bersama keluarga) dan ngopi bareng teman-teman di kala senggang. Saya senang bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan karena saya dapat belajar banyak hal dari mereka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setia dan Jujur dalam Perkara-Perkara yang Kecil (Lukas 16:10)

10 Februari 2023   23:54 Diperbarui: 11 Februari 2023   19:17 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Bibit tanaman yang masih kecil nantinya akan tumbuh menjadi besar. Sumber: Unsplash / Daniel Oberg

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10)

Kompasianer yang terkasih, ayat ini adalah sambungan dari ayat 1-9 yang telah saya bahas sebelumnya dalam judul: "Cerdik di Masa Kritis", dan konteks ayat ini terdapat pada satu perikop (ayat 10-18). Konteks utuhnya nanti akan saya bahas pada artikel berikutnya.

Di sini Yesus mengajarkan bahwa kita semua harus menjadi pribadi yang setia, baik dalam melakukan perkara-perkara kecil maupun perkara-perkara besar. Banyak orang yang membaca ayat 10 tidak secara utuh, mereka sering berkata: "Kalau mau dipercayakan perkara yang besar, setialah pada perkara yang kecil." Hanya sampai di situ saja.

Padahal Yesus tidak hanya berbicara tentang seseorang yang harus setia pada perkara-perkara kecil saja, tetapi kesetiaan itu harus berlanjut pada perkara-perkara besar juga. Pada kalimat berikutnya dikatakan tentang 'tidak benar', yang dari teks Yunani adikos yang artinya 'tidak jujur.' Kata adikos juga dipakai pada ayat 11 yang diterjemahkan 'tidak jujur.'

Menurut saya, 'tidak jujur' lebih tepat karena di ayat 1-9 berbicara tentang bendahara yang tidak jujur. Jadi, meskipun ayat 10 kalimatnya dalam bentuk negatif, tapi maksudnya dalam bentuk positif. Dengan demikian, setia dan jujur adalah dua hal yang harus melekat dalam diri seorang pengikut Kristus. Setia dan jujur harus dilakukan secara konsisten.

Kata 'setia' dari KBBI artinya 'teguh hati', dan kata jujur artinya 'lurus hati.' Keteguhan hati diperlukan dalam menjalani proses untuk mencapai cita-cita atau impian hidup. Ada banyak halangan yang bisa membuat seseorang menjadi lemah, putus asa dan mundur dari proses kehidupannya.

Berlaku setia atau teguh hati diperlukan untuk membuat seseorang meyakini bahwa ia pasti bisa menjalani proses kehidupannya. Kata setia sendiri berasal dari teks Yunani pistos, dari akar kata pistis yang artinya iman. Jadi, seseorang yang teguh hati bukan hanya memiliki semangat, tetapi keteguhan hatinya itu karena ia beriman kepada Tuhan.

Sedangkan jujur atau lurus hati diperlukan untuk menyeimbangkan setia atau teguh hati itu. Contohnya, bendahara dalam perumpamaan di ayat 1-9 adalah orang yang setia, tapi ia tidak jujur. Itu sebabnya, Yesus menegaskan bahwa orang beriman harus setia dan jujur dalam pekerjaannya sehari-hari, dan itu dimulai dari perkara-perkara yang kecil.

Kesaksian dari saya. Saya adalah pendeta dan gembala jemaat dari sinode Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Saya tamat Sekolah Alkitab pada tahun 2001. Sinode kami menerapkan sistem kaderisasi dalam kepemimpinan gereja lokal.  Seorang tamatan Sekolah Alkitab akan ditempatkan di sebuah gereja lokal untuk magang atau tugas praktik sebelum ia menjadi seorang gembala jemaat.

Seorang hamba Tuhan yang magang atau praktik disebut pengerja. Pada tahun 2001-2002 saya ditempatkan di kota Malang, Jawa Timur, dan bertugas di sebuah gereja selama satu setengah tahun. Di sana, saya bukan sebagai pelayan mimbar, tetapi sebagai sopir bagi gembala dan keluarga, juga sopir untuk menjemput dan mengantar pulang jemaat lanjut usia dan anak-anak Sekolah Minggu.

Selain itu, saya ditugaskan untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak berkaitan dengan pelayanan mimbar seperti: membersihkan kolam ikan, mengantar pengerja-pengerja perempuan ke pasar, mengambil galon-galon air minum, menyapu dan mengepel gereja, dan mengangkat pasir untuk pembangunan pastori. Membezuk dan mendoakan jemaat yang sakit, itulah pelayanan gerejawi saya.

Tiga bulan sebelum masa tugas saya berakhir, saya mendapat kesempatan sebagai pelayanan mimbar. Saya ditugaskan di sebuah desa yang belum ada listrik dengan jalannya yang offroad, akses ke jalan raya yang ada angkutan umum harus dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Saya melayani sebagai gembala sementara karena gembala jemaat gereja itu pulang kampung untuk menikah.

Setelah tugas praktik di Malang, saya ditarik gereja asal saya di Jakarta Selatan untuk membantu di situ. Saya melayani selama satu setengah tahun lagi. Tugas saya adalah sebagai pemain musik (drumer), membezuk jemaat, menulis dan mencetak warta jemaat, dan berkhotbah di ibadah pemuda remaja dan di ibadah syukur jemaat.

Pada tahun 2004, saya menjadi pengerja pada seorang gembala yang mempunyai dua gereja lokal: di Jakarta Selatan (ibadah pagi) dan di Jakarta Barat (ibadah sore). Di situ, saya melayani selama tujuh tahun. Tugas saya lebih fokus ke pelayanan pastoral seperti: khotbah di hari Minggu dan di Komisi-Komisi Jemaat, membezuk jemaat, pelayanan baptisan air, dan konseling pernikahan.

Pada tahun 2011, gembala merekomendasikan saya ke Majelis Wilayah Jakarta Selatan dan dilanjutkan ke Majelis Daerah DKI Jakarta untuk dilantik menjadi gembala jemaat. Jadi, tepat sepuluh tahun setelah lulus dari Sekolah Alkitab saya ditetapkan sebagai gembala jemaat. Sepuluh tahun saya menjalani proses dan pembelajaran kepemimpinan melalui didikan tiga orang gembala yang berbeda.

Sebetulnya, dalam perjalanan sepuluh tahun itu ada tawaran-tawaran kepada saya untuk "potong kompas" dari teman-teman seangkatan dan dari sinode gereja yang lain. Mereka menawarkan jalan pintas untuk menjadi seorang gembala tanpa saya harus berlama-lama berpraktik sebagai pengerja. Namun, saya terus menerus menolak karena saya memegang teguh ajaran Tuhan Yesus.

Saya bersedia dan rela menjadi pengerja selama sepuluh tahun karena saya percaya waktu dan caranya Tuhan adalah yang terbaik. Mendapat gelar Pendeta pun saya mengikuti aturan yang berlaku di sinode kami. Dari jenjang Pendeta Pembantu (Pdp, 2003), Pendeta Muda (Pdm, 2007), dan Pendeta (Pdt, 2012) saya dapatkan setelah sebelas tahun saya melayani.

Saya menolak jalan pintas untuk mendapatkan semuanya itu. Dan sekarang, saya menikmati pelayanan sebagai gembala jemaat, penginjil melalui vlog dan audio di berbagai platform, dan penulis di Kompasiana. Dari pelayanan yang sepele, saya berlaku setia dan jujur kepada Tuhan, gembala, pimpinan sinode, dan jemaat yang saya layani, maka saya bersyukur ketika sekarang dipercayakan Tuhan pelayanan yang lebih besar. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun